![]() |
Gibran Suhardin |
(*Tulisan ini diambil dari catatan facebook tanggal 10 Desember 2017)
Melihat Gibran mam bubur pagi ini, saya teringat kenangan bersama Mama Sin di kampung.
Sewaktu kelas 3 sekolah dasar, adek kami yang bungsu lahir. Saya diajarkan mama ikut merawat atau menjaganya.
Saat adek berusia 6 bulan, mama membuat bubur dari beras merah. Berasnya hasil tanam sendiri di sebidang tanah belakang rumah. Hasilnya sedikit, tapi cukup untuk kebutuhan kami. Bahkan ada lebihnya, kadang diberikan kepada keluarga lain.
Sambil mengaduk bubur, mama mengungkapkan rasa syukurnya karena tidak harus membeli lagi. Semuanya diambil dari hasil kebun di sekitar rumah.
"Kami juga dulu begitu kah, Mama ?", tanya saya penasaran.
"Ia, kamu juga dulu makan bubur saat seusia adek mu, tapi waktu itu belum ada beras merah", jawab Mama.
"Kalau Kak Fedi ?"
"Sama, diberi bubur juga".
"Kalau Kak Ellyn ?"
"Wah, waktu Kaka Ellyn lahir, kita belum begitu sejahtera. Mau makan nasi itu sulit. Cuma jagung yang selalu tersedia".
"Jadi, Kak Elin bisa makan jagung sejak bayi ?"
"Jagung keras itu saya kunyah dulu sampe benar-benar lumat, lalu diberikan ke mulutnya. Itu namanya 'mamang' orang Mangarai bilang".
"Waduh, Ka Elin tidak jijik makan dari mulut mama ?"
"Dia kan belum pajam dengan jijik. Lagi pula semua anak semasa itu hidup dengan cara begitu"
Waduh, pantas Ka Elin terlihat lebih tegar menjalani hidup.
***
Lain kesempatan, mama berkisah lagi tentang masa lalunya.
"Ellyn dan Fedi itu pintar, karena saat mereka dalam kandungan, bapa mu rajin mencari ikan di sungai. Saat hamil, mama sering makan ikan, udang, dan belut hasil tangkapan bapa".
"Terus, bagaimana dengan saya ? Kenapa saya tidak begitu pintar ?".
"Kamu juga pintar, tapi waktu itu bapa tidak lagi bisa menangkap ikan di sungai. Banyak orang yang menyebar racun disungai, makanya populasi ikan berkurang drastis"
"Bapa ikut meracuni ikan ?"
"Tentu saja tidak. Bapa menangkap ikan dengan jerat yang terbuat dari bambu. Bapa hanya ambil ikan besar, sedangkan yang masih kecil dibiarkan berkembang".
"Berarti saya dulu tidak makan ikan ?"
"Tetap makan, tapi ikan yang beli di pasar. Kamu sama dengan adekmu ini, hadir saat hidup agak sejahtera. Kita sudah bisa rutin membeli ikan di pasar. Bapa tidak perlu repot menangkap ikan di sungai lagi".
"Tapi, saya dan adek bisa pintar juga kah, Ma ?"
"Bisa, kalau kalian mau belajar".
Mengingat cerita itu, saya pun memperhatikan Gibran yang sedang asik menelan bubur. Perhatian saya fokus pada kepalanya yang botak-bulat-besar itu. Saya ingat, sewaktu mamanya hamil, suka sekali makan bakso dan salome / cilok. Waduuuhhhhhh....
0 Komentar