![]() |
Teman-teman yang bajingan, namun menyenangkan |
(*Tulisan ini diambil dari catatan facebook tanggal 18 September 2017)
Saat sahabat-sahabat saya datang, saya langsung perkenalkan dengan novel "Para Bajingan Yang Menyenangkan". Saya hanya jelaskan sebentar, lalu membiarkan mereka baca sendiri. Bajingan. Pada akhirnya mereka juga mau disebut atau disapa bajingan.
Kami sepakat, novel yang ditulis Mas Puthut EA itu menggambarkan kekonyolan kami juga semasa SMA hingga kuliah. Memang kisahnya tidak persis sama, tapi kekonyolan dan kebajingannya hampir sama. Jadi, apa yang dirasakan penulis, sangat dekat dengan yang kami rasakan sebagai pembaca.
Salah seorang bajingan, Jenn Warat, berinisiatif membaca novel itu untuk kami semua. Memang saya sudah tuntas membacanya, tapi masih belum bosan mendengar kisahnya kembali. Apalagi setiap membaca percakapan yang konyol, Jenn segera meniru kalimat mereka, lalu kami ngakak bersama. Malam minggu kemarin, menjadi malam tawa buat kami. Saking capeknya ketawa, kami meminta agak ada jeda beberapa saat. Kemudian Jenn membaca lagi. Kami mendengarkan dengan khusuk. Lalu terbahak-bahak bersama. Istirahat sejenak, dan seterusnya.
Kami tertawa puas, sebab baru menyadari kalau kekonyolan kami dahulu ternyata belum ada apa-apanya. Ibarat kata kalau dibuatkan level, kekonyolan kami masih 1 atau 2 saja. Sementara kekonyolan para bajingan dalam novel tèrsebut, kayaknya mencapai angka tertinggi, sepuluh.
Meski kekonyolan kami dulu tidak seberapa, saya coba mengisahkan sedikit di sini. Sebenarnya banyak, tapi jika dituliskan semuanya, bisa-bisa jadi novel nantinya, terlalu panjang.
Bajingan yang pertama, Mas Gusty Arch Sutrisno. Saat SMA dia tinggal tidak jauh dari tempat saya tinggal. Dia tinggal bersama pamannya di Kakor-Ruteng, sedangkan saya tinggal sama Bapak kecil di Pau Ngawe-Ruteng.
Setiap pagi, dia selalu singgah menjemput saya di rumah. Jalan kaki. Dia sangat ramah, menyapa Bapa dan Mama kecil saya terlebih dahulu, dan rela menunggu bila saya belum siap. Bila semuanya beres, kami berpamitan dengan orang rumah.
Mungkin baru melangkah 5 meter dari rumah, kami sama-sama mengeluarkan bungkus rokok. Kami mengambil sebatang, selibkan dibibir, kemudian segera membakar dengan korek sambil mengisap dengan nafsu. Asap dikepulkan ke udara dari mulut, sebagian ditarik kembali melalui hidup, lalu memainkan lidah sehingga asap keluar lewat mulut berbentuk bulatan.
"Ses Ruteng ho e, toe ngance toe rongko" (Ruteng terlalu dingin, tidak bisa kalau tidak rokok), itulah pembelaan kami bila ada yang menyoal kebiasaan merokok.
"Bro, toe dendut agu ses kreng, ko ?" (Teman, tidak mengantuk dan dingin ko), saya memastikan sama Gusty.
"Toko niad ga ?" (Tidur di mana sudah), jawabnya seperti sudan tahu apa yang saya maksud.
Kami sepakat singgah di salah satu kost teman, tempat biasanya kami berkumpul. Keputusan kami tepat, di sana sudah berkumpul para bajingan yang lain.
"Toe ngo sekolah ko ?" (Tidak ke sekolah), saya dan Gusty pura-pura memastikan saja.
Salah seorang menyeletuk, "Manga ata urus'n negara ho ge, neka nukung bail sekolah hitu" (Sudah ada yang urus negara ini, tidak usah terlalu rajin ke sekolah). Kami ketawa. Pertanda sepakat.
Pintu kost ditutup rapat, hanya jendela yang dibuka sedikit untuk ventilasi udara. Baju seragam ditanggalkan kemudian digantung baik-baik biar tidak kusut. Lalu kami tidur. Ada yang bermain kartu, merokok, menghayal cepat kaya, makan mie yang dicampur pucuk labu hasil curian, dan hal tidak berguna lainnya.
Jam 13.00 kami mulai merapikan diri kembali. Kami menggunakan seragam kembali, lalu pulang dengan langkah gontai, seolah-olah lelah setelah belajar yang serius. Tiba di rumah, saya disambut dengan baik, lalu disuruh makan siang dan istirahat. Saya tanya, ternata Gusty juga diperlakukan begitu saat tiba di rumah. Mereka tidak tahu kalau kami bolos sekolah. Hal itu terjadi berkali-kali.
Badjingan kedua, Jenn. Saya kenal dia saat masuk asrama di SMA Sta. Familia Lembor. Saat itu dia sudah dikeluarkan dari asrama. Meski begitu, namanya sering disebut teman seangkatannya. Mereka bilang dia nakal, makanya dkkeluarkan dari asrama. Saat itu saya penasaran dengan bentuk kenakanalannya.
Teman-temannya bercerita, dia malas ke sekolah. Kerjanya cuma tidur di asrama. Uniknya, meski cuaca di Lembor cukup panas, dia selalu menggunakan selimut tebal saat terik. Tapi, dia tidak gerah sama sekali. Padahal semua teman lain selalu berkeringat bila tidur siang. Dia aman saja, tidak berkeringat sama sekali.
Tapi entah kenapa, mungkin keracunan tidur, dia pernah jatuh dari tempat tidur bertingkat. Tiga gigi seri-nya patah. Mulut berdarah. Semenjak itu dia makin lucu, meski sekedar mengumbar senyum, lawan bicaranya langsung ketawa atau minimal tersenyum geli.
Kami akhirnya bertemu, saat minum sopi di salah satu kios di Wae Nakeng. Malam itu kami mabuk. Tertawa. Bergermbira. Rasanya selalu menyenangkan suasana seperti itu.
Saya dan Jenn bersama lagi di Kupang sekitar tahun 2008. Meski tidak tinggal se-kost atau tidak berdekatan juga, kami sering saling mengunjungi satu sama lain.
Suatu pagi, saya ke kost-nya. Dia sedang mandi. Saya masuk saja ke kamarnya yang memang jaranh dikunci. Saya langsung tiduran di kasur sambil dia selesai mandi. Dia agak kaget, saat tahu saya sudah di sana. Saya cek, mau ke mana sampe bangun dan mandi pagi. Mau kuliah, jawabnya. Oke, kalau begitu saya pulang dulu. Dia menahan, di sini saja katanya. Kemudian tetap menggunakan pakian rapi, menggunakan lotion, minyak rambut dan parfum. Sisa sepatu yang belum dia pakai. Entah kenapa, dia tiba-tiba melompat ke kasur, lalu mengambil selimut untuk menutupi badannya.
"Hae, tidak jadi kuliah ?"
"Ta, ngonde laing senget tombo de Dosen ye. Istirahat deit", jawabnya santai.
Hari itu kami tidur-tiduran saja di kost. Sebulan kemudian dia berhenti kuliah, lalu pindah ke Malang. Di sana, dia kuliah ulang lagi.
***
Saat ini, kedua bajingan itu sudah berubah. Kariernya baik. Bila mengingat masa SMA, rasanya tidak percaya mereka bisa sehebat sekarang. Keduanya juga sudah menikah. Masing-masing memiliki satu anak. Keduanya, saya kira seorang bapak yang baik, tidak bajingan lagi. Selama berada di Kupang, keduanya selalu menyempatkan diri menelepon istri dan anaknya. Mungkin keduanya bisa disebut sebagai family-man. Luar biasa.
Sebentar lagi keduanya menjadi pendamping desa, khususnya mengurusi bidang teknik infrastruktur sesuai keahlian mereka. Mereka mengaku, lewat cara itulah mereka bisa tunjukkan pengabdiannya kepada bangsa dan negara. Saya selalu geleng-gelang kepala. Heran sekaligus banggsa memiliki sahabat yang berniat membangun bangsa mulai dari daerah. Salut.
***
Sementara kami sedang membaca novel, sahabat kami atau tepatnya salah seorang bajingan yang lain, membuat tulisan yang membuat kami makin ngakak. Malam itu, langsung dari Sesetan, Denpasar-Bali, teman kami Viano Barera menulis di facebook-nya, intinya sedang mengadakan sayembara jodoh bagi yang masih jomblo.
Bajingan benar-benar. Benar-benar bajingan. Tapi, menyenangkan. Sebab, kami bisa tertawa meski dalam situasi sulit sekalipun. Menertawakan diri sendiri, sambil terus menghayal bisa cepat kaya hanya dengan tidur-tiduran. Ah, rasanya belum tega tumbuh dewasa...
0 Komentar