![]() |
| Menikmati kopi pagi |
(*Tulisan ini diambil dari catatan facebook tanggal 11 September 2017)
Bangun tidur, teman saya pecinta Chelsea ini sudah gelisah. "Ayo kita jalan sekarang", pintanya.
Sabar. Melakukan aktivitas #JalanPagi tidak boleh buru-buru. Butuh ketenangan dan kejernian berpikir. Bila salah mengambil keputusan, risikonya tidak main-main. Bisa sangat fatal. Minum kopi dan makan kompiang dulu. Rileksasi dulu.
Setelah merasa siap, kami mulai bergerak. Tiba di lokasi, saya mendekati seorang pemuda yang tampaknya sedang menunggu angkutan umum. Saya menanyakan seorang bapak yang biasanya sudah berada di sana setiap pagi. Saya menyebutkan ciri-cirinya secara rinci. Pemuda tadi mengaku belum melihat orang yang saya maksudkan sejak tadi. "Mungkin belum datang, Kak".
Saya gelisah. Kalau tidak dibutuhkan seperti sekarang, bapak itu biasanya mudah ditemui. Saking mudahnya, kadang dia yang pertama menegur kita. Nah, saat saya mencari dia, susahnya minta ampun. Teman saya juga terliht gelisah.
Kami akhirnya memutuskan terus berjalan, cari alternatif lain. Kali ini kami menuju ke Liliba, tepatnya di Bundaran PU. Jalanan pagi ini lumayan padat, sedikit terjadi kemacetan di sekitaran jembatan Liliba hingga Bundaran PU. Pelan-pelan, saya berusaha melewati kemacetan itu.
"Barangnya masih ada ?", saya buru-buru bertanya pada seorang pemuda yang berdiri di pinggir jalan, tidak jauh dari Bundaran PU. Padahal belum turun dari sepeda motor. Belum sempat matikan mesin.
Saya kecewa saat tahu barang yang kami cari sudah habis. "Saya cuma ambil 60 eksemplar hari ini, sudah ludes sejak pagi", jelas pemuda. "Kalau butuh barang lain, ini masih ada", lanjutnya.
Saya pura-pura tidak mendengar kalimatnya yang terakhir, langsung duduk di jok motor, menghidupkan mesin, lalu 'gass' lagi. Saya teruskan pencarian ke lokasi lain. Kali ini targetnya terminal Oebobo. Sial. Di sana juga nihil. Saya disarankan oleh seorang kondektur bis agar mencari di perempatan Patung Kirap.
Saya mengikuti saran tersebut. Dari jauh saya perhatikan, di samping traffic light, seorang perempuan paruh baya memegang barang yang saya cari. Saya meminggirkan motor, memberinya uang, mengambil barang itu, kemudian buru-buru pulang ke rumah.
Setiba di rumah, kami segera membukannya. Pada halaman 5, Koran Pos Kupang, ada informasi yang kami cari. Kami membaca dengan dengan cepat, pengumuman hasil test Tenaga Pendamping Profesional program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa. Nama yang kami cari, tertera di sana. Saat itulah baru kami tersenyum lega.
Selamat untuk teman Agustinus Sutrisno (Gusty Arch Sutrisno) yang sudah lulus test tahap pertama. Sukses untuk proses selanjutnya. Mantap.
Pengalaman jalan pagi ini, semakin meyakinkan saya agar segera berlangganan koran. Tidak cerdas rasanya bila kita mencari atau membeli barang yang harganya murah, sementara biaya perjalanannya lebih mahal. Padahal bila berlangganan, sudah harganya lebih murah, kita pun hanya menunggu di depan rumah.
Selain itu, saya juga berpikir dan sadar, ternyata sebuah Desa butuh pendamping. Kalau Desa yang besar saja butuh pendamping, masa kamu tidak ??? Bila Anda serius membutuhkan pendamping, coba hubungi Nana Rian. Dia siap mendampingi. Tentunya bila Anda dan dia sama-sama mau damping - mendampingi.

0 Komentar