![]() |
Suasana pasar Penfui-Kupang, NTT |
(*Tulisan ini diambil dari catatan Facebook tanggal 8 September 2017)
Saya jalan pagi ke pasar hari ini. Hal itu saya lakukan, tentu saja setelah ritual biasanya. Bangun. Berdoa. Urusan di kamar mandi/Wc. Membaca informasi terkini. Jogging.
Tiba di pasar Penfui, saya tidak langsung membeli apa yang saya butuhkan. Saya memilih untuk berkeliling dulu, sambil mengobservasi atau melihat-lihat pedagang dan pembeli berinteraksi, serta memperhatikan lingkungan sekitarnya.
Setelah bolak-balik satu putaran di pasar yang tidak begitu panjang itu, saya teringat akan catatan redaksi Media Indonesia edisi kemarin (Kamis, 7/9) yang berjudul "Krisis Petani Muda". Tulisan itu berisi keresahan tentang petani di Indonesia yang didominasi kaum tua (lansia). Sedikit sekali anak muda yang ingin menjadi petani. Bahkan sarjana lulusan ilmu pertanian pun, ogah menjadi petani. Sindiran Pak Jokowi saat memberi sambutan di IPB kemarin sangat tepat, kalau lulusan kampus petanian itu lebih memilih kerja di bank atau sektor non-pertanian lainnya, terus yang jadi petani siapa ???
Keresahan itu beralasan. Indonesia, kita kenal juga sebagai negara agraris. Bila petaninya menyusut, hasil pertanian yang menjadi kebutuhan pokok kita tentu ikùt berkurang. Risikonya kita bisa mati kelaparan atau terpaksa membeli dengan harga yang mahal. Ironis, kita bisa seperti tikus yang mati di lumbung padi.
Pengamatan saya saat jalan pagi hari ini, ternyata bukan hanya petani, penjual dan pembeli hasil pertanian yang ada di pasar juga didominasi oleh orang-orang tua. Saya perhatikan, penjual sayur di pasar Penfui didominasi Ibu-ibu dan beberapa orang bapa yang diperkirakan masuk usia lansia. Tandanya cukup jelas. Rambut sudah banyak beruban, kulit tampak berkeriput, dan sebagainya.
Sekali lagi, pembeli juga rata-rata orang tua. Memang tidak semuanya, sebab masih terlihat mamah-mamah muda atau papah muda seperti saya. Ehem...
Selama berada di pasar, saya sangat jarang berpapasan dengan anak muda. Padahal saya sangat mengharapkanya. Melihat yang muda-muda itu menyegarkan jiwa. Entah mereka di mana saat pagi-pagi seperti ini ?
Keresahan makin lengkap. Ternyata bukan hanya dari sisi penghasil bahan pertanian, para penjuaĺ dan pembeli hasil pertanian pun didominasi orang tua. Kalau orang-orang tua itu sudah tiada, apakah ada penggantinya ? Mudah-mudahan saja, sebab bila tidak, ini sudah tanda senjakala kehidupan.
Saya lantas berpikir, apakah anak muda tidak pandai menjual ? Saya pun teringat para penjual di mall, khususnya lagi penjual barang-barang elektronik. Mereka bukan saja muda, tapi dipoles sedemikian rupa, sehingga makin menarik. Saking menariknya, kadang kita melihat para sales muda itu hingga10 menit, sedangkan barang dagangannya cuman sepintas saja. Mengapa metode seperti itu tidak dipindahkan ke pasar ?
Saya yakin, bila penjual sayur di pasar seperti para sales barang elektronik (hp) di mall, semakin banyak anak muda ingin beli sayur ke pasar. Mereka akan membujuk mama dan bapanya, agar tugas belanjar sayur ke pasar menjadi tugasnya sebagai anak muda. Keren...
Saya terus berpikir, meski saya pun tahu itu hanya berpikir yang sia-sia. Saya melakukannya sambil berjalan mengitari pasar. Tampak beberapa penjual memandangi saya dengan aneh. Tatapan mereka seolah-olah mau mengatakan, "Ini orang dari tadi bolak-balik tapi tidak beli apa-apa. Tau dia mau ke pasar sini buat apa ? Orang tawarkan sayur juga, dia malah cuek bebek".
Lamunan (sedang berpikir) saya buyar seketika saat mendengar ada yang berteriak, "Daun muda Pak, daun muda..."
Tentu saja saya langsung tergoda, ada 'daun muda'.
Saya segera membalikkan tubuh. Kecewa seketika. Seorang ibu yang cukup berumur mengangkat seikat kankung sambil tersenyum, giginya merah, masih tersisa sirih pinang, "Daun muda neh, pak...".
Saya terpaksa tersenyum juga, membalas senyumannya, kemudian merogoh saku untuk menebus daun muda itu. Esok, saya akan jalan pagi lagi. Mencari daun muda lagi...
Saya jalan pagi ke pasar hari ini. Hal itu saya lakukan, tentu saja setelah ritual biasanya. Bangun. Berdoa. Urusan di kamar mandi/Wc. Membaca informasi terkini. Jogging.
Tiba di pasar Penfui, saya tidak langsung membeli apa yang saya butuhkan. Saya memilih untuk berkeliling dulu, sambil mengobservasi atau melihat-lihat pedagang dan pembeli berinteraksi, serta memperhatikan lingkungan sekitarnya.
Setelah bolak-balik satu putaran di pasar yang tidak begitu panjang itu, saya teringat akan catatan redaksi Media Indonesia edisi kemarin (Kamis, 7/9) yang berjudul "Krisis Petani Muda". Tulisan itu berisi keresahan tentang petani di Indonesia yang didominasi kaum tua (lansia). Sedikit sekali anak muda yang ingin menjadi petani. Bahkan sarjana lulusan ilmu pertanian pun, ogah menjadi petani. Sindiran Pak Jokowi saat memberi sambutan di IPB kemarin sangat tepat, kalau lulusan kampus petanian itu lebih memilih kerja di bank atau sektor non-pertanian lainnya, terus yang jadi petani siapa ???
Keresahan itu beralasan. Indonesia, kita kenal juga sebagai negara agraris. Bila petaninya menyusut, hasil pertanian yang menjadi kebutuhan pokok kita tentu ikùt berkurang. Risikonya kita bisa mati kelaparan atau terpaksa membeli dengan harga yang mahal. Ironis, kita bisa seperti tikus yang mati di lumbung padi.
Pengamatan saya saat jalan pagi hari ini, ternyata bukan hanya petani, penjual dan pembeli hasil pertanian yang ada di pasar juga didominasi oleh orang-orang tua. Saya perhatikan, penjual sayur di pasar Penfui didominasi Ibu-ibu dan beberapa orang bapa yang diperkirakan masuk usia lansia. Tandanya cukup jelas. Rambut sudah banyak beruban, kulit tampak berkeriput, dan sebagainya.
Sekali lagi, pembeli juga rata-rata orang tua. Memang tidak semuanya, sebab masih terlihat mamah-mamah muda atau papah muda seperti saya. Ehem...
Selama berada di pasar, saya sangat jarang berpapasan dengan anak muda. Padahal saya sangat mengharapkanya. Melihat yang muda-muda itu menyegarkan jiwa. Entah mereka di mana saat pagi-pagi seperti ini ?
Keresahan makin lengkap. Ternyata bukan hanya dari sisi penghasil bahan pertanian, para penjuaĺ dan pembeli hasil pertanian pun didominasi orang tua. Kalau orang-orang tua itu sudah tiada, apakah ada penggantinya ? Mudah-mudahan saja, sebab bila tidak, ini sudah tanda senjakala kehidupan.
Saya lantas berpikir, apakah anak muda tidak pandai menjual ? Saya pun teringat para penjual di mall, khususnya lagi penjual barang-barang elektronik. Mereka bukan saja muda, tapi dipoles sedemikian rupa, sehingga makin menarik. Saking menariknya, kadang kita melihat para sales muda itu hingga10 menit, sedangkan barang dagangannya cuman sepintas saja. Mengapa metode seperti itu tidak dipindahkan ke pasar ?
Saya yakin, bila penjual sayur di pasar seperti para sales barang elektronik (hp) di mall, semakin banyak anak muda ingin beli sayur ke pasar. Mereka akan membujuk mama dan bapanya, agar tugas belanjar sayur ke pasar menjadi tugasnya sebagai anak muda. Keren...
Saya terus berpikir, meski saya pun tahu itu hanya berpikir yang sia-sia. Saya melakukannya sambil berjalan mengitari pasar. Tampak beberapa penjual memandangi saya dengan aneh. Tatapan mereka seolah-olah mau mengatakan, "Ini orang dari tadi bolak-balik tapi tidak beli apa-apa. Tau dia mau ke pasar sini buat apa ? Orang tawarkan sayur juga, dia malah cuek bebek".
Lamunan (sedang berpikir) saya buyar seketika saat mendengar ada yang berteriak, "Daun muda Pak, daun muda..."
Tentu saja saya langsung tergoda, ada 'daun muda'.
Saya segera membalikkan tubuh. Kecewa seketika. Seorang ibu yang cukup berumur mengangkat seikat kankung sambil tersenyum, giginya merah, masih tersisa sirih pinang, "Daun muda neh, pak...".
Saya terpaksa tersenyum juga, membalas senyumannya, kemudian merogoh saku untuk menebus daun muda itu. Esok, saya akan jalan pagi lagi. Mencari daun muda lagi...
0 Komentar