Jalan Pagi (28)*

Jalan Pagi (28)
Suasana jalan pagi
(*Tulisan ini diambil dari catatan facebook tanggal 23 November 2017)

Selain menikmati pemandangan indah; selain menghirup udara segar yang belum tercemar; selain menggerakan tubuh agar lebih semangat (serta masih banyak manfaat lainnya); ada satu hal yang ingin saya bahas hari ini sebagai bagian dari manfaat #JalanPagi.
Setiap jogging atau jalan pagi, saya selalu mendengarkan radio dari hp dengan bantuan pelantang suara ke telinga (headseat). Awalnya saya tidak memiliki saluran (channel) favorit. Saya pindah-pindah channel untuk mendapatkan siaran yang disukai. Sampai akhirnya mulai terpola, setiap jam 05.30, saya mendengarkan Radio Suara Kabupaten Kupang (RSKK) dengan frekuensi FM 100,8 MHz.
Ada program yang saya sukai, namanya "Tapin Paku". Jika tidak salah, nama program itu diambil dari bahasa Timor yang berarti, "Menyalakan pelita".
Dari namanya itu, kita bisa menebak kalau program itu berisi informasi dan motivasi agar pendengar bisa tercerahkan dan semangat melakukan aktivitas yang baik serta bermanfaat. Menerangkan pelita para pendengar agar berjalan dalam terang.
Sependek yang saya dengar selama ini, program ini biasa diisi oleh Bupati Kab. Kupang, Bpk. Ayub Titu Eki. Beliau biasanya memberi nasehat agar masyarakatnya bisa hidup lebih baik. Pak Ayub selalu merujuk Alkitab, buku atau hasil penelitian dan ajaran nenek moyang orang Timor sebagai pembanding setiap wejangannya. Bahasa yang beliau gunakan, sangat sederhana. Seperti bahasa harian masyarakat Kab. Kupang. Saya suka menyimak cara bicaranya. Saya juga yakin, inilah program favorit masyarakat Kab. Kupang (Perlu disurvei untuk memastikan kebenarannya).
Ada juga tokoh lain yang mengisi acara tersebut seperti pendeta, kepala dinas, dan tokoh masyarakat Kab. Kupang. Seperti hari ini, Tapin Paku menghadirkan seorang Bapak yang bernama Vitalis Nenobahan (Semoga tidak salah mendengar dan tidak salah menuliskan namanya).
Saya tidak tahu Bapak Vitalis itu siapa dan dari mana ? Saya tidak mendengarkan acaranya sejak awal. Tapi, dalam pembicaraannya, beliau selalu menyebut nama Lelogama. Mungkin beliau merupakan tokoh penting di daerah sana.
Suara yang terdengar berat dan pelan, menunjukkan beliau sudah sepuh. Pembicaraannya juga menandakan beliau sudah sangat senior. Beliau sering menyinggung gaya hidup anak-anak masa kini, beda sekali dengan hidup mereka zaman dulu.
Banyak hal yang beliau singgung tentang hebatnya cara hidup masa lalu. Baginya, cara hidup zaman dulu dirasa lebih baik bila dibanding saat ini. Saya akan menyaripatikan hal-hal yang menarik saja di sini, khusus untuk Anda pembaca serial jalan pagi ini.
Pertama, zaman dulu selalu kerja bergotong-royong. Jalan atau fasilitas umum desa, dibangun secara bergotongroyong. Begitupula kalau mau membuka lahan baru atau membangun rumah.
Kedua, masyarakat zaman dulu itu rajin-rajin. Mereka berkebun dan beternak. Tanam apa saja di kebun. Beliau menganjurkan agar anak muda saat ini ikut program pemerintah, "Tanam paksa, paksa tanam". Kalau belum berkebun dan tidak beternak, lebih baik jangan kawin. Itu nanti hanya bikin repot diri sendiri dan orang lain.
Ketiga, masih berkaitan dengan poin 2, beliau katakan masyarakat jangan harap bantuan pemerintah hanya untuk makan. Makanya harus tanam. Kalau tanam jagung, ubi, pisang, dll., tidak mungkin kita lapar. Sehingga bantuan pemerintah itu hanya untuk fasilitas umum saja seperti jalan, jembatan, sekolah, dll. Kalau pemerintah yang ikut kasi makan kita, ya nanti tidak maju-maju.
Keempat, beliau sangat menentang aturan yang berkaitan dengan HAM. Bila anak-anak kita nakal, pergi mencuri barang orang, apa kita tidak boleh bina sendiri ? Saya biasanya akan pukul, atau beri binaan agar mereka berubah. Lalu, muncul komentar, pukul anak itu melanggar HAM. Hahh..? Apa itu HAM ? Kalau saya bisa bahasa Inggris, saya akan omong ke PBB supaya pikir baik-baik itu HAM. Atau khusus di desa saya, tidak perlu itu HAM. Kita harus membina anak-anak kita biar tertib. Kalau mereka dibiarkan saja, mereka semakin menjadi-jadi dan semakin kurang ajar.
Kelima, beliau mengaku kalau dulu tidak ada penyakit aneh-aneh. Mereka sehat-sehat saja. Kalau sakit sedikit, mereka ambil akar pepaya, pukul-pukul sedikit, kemudian masak, lalu airnya diminum. Itu penyakit lari semua. Mereka juga mengaku tidak minum air masak, tapi tidak ada yang sakit perut. "Entah perut kami terbuat dari apa, saya juga tidak mengerti", katanya sambil terkekeh.
***
Saya hanya menuliskan 5 hal tersebut. Masih banyak hal lain, tapi kalau terlalu panjang, Anda akan lelah membacanya. Sila mengartikan sendiri nasehat-nasehat tersebut.
Selama mendengarkam beliau, saya kadang tersenyum bahkan tertawa sendiri. Saya merasa lucu dengan gaya bicara serta beberapa gagasan yang beliau sampaikan. Tapi, setelah saya renung-renung, ada benarnya juga. Ada baiknya kita perlu mempelajari cara hidup orang tua zaman dulu.
Ambil yang baiknya dan perbaiki yang kurang baik. Sebab, kalau kita ikuti semuanya tanpa pemilahan, malu juga dengan gelar terbaru, "Kids zaman now".

Posting Komentar

0 Komentar