Jalan Pagi (27)*

Jalan Pagi (27)
Gibran bersama Pa Guru
(*Tulisan ini diambil dari catatan facebook tanggal 22 November 2017)

Kadang-kadang sehabis #JalanPagi / jogging, saya dipanggil seorang tetangga untuk minum kopi. Begitu dia lihat saya lewat di depan rumahnya, dia keluar ke teras, "Kaka, singgah minum kopi dolo !?"
Ajakan yang sangat tulus seperti itu, sulit saya tolak. Saya akan bilang, "Ok Pa Guru, setelah jogging 30 menit, saya singgah nanti".
Kami biasa memanggilnya Pa Guru. Memang beliau seorang guru dan baru-baru ini diangkat sebagai kepala sekolah di SD GMIT Nauen (Nauwen ?), Kab. Kupang.
Memang dia lebih banyak tinggal di Nauwen. Tapi, tiap akhir pekan atau setiap ada urusan dinas di Oelamasi, beliau biasanya beristirahat di RSS Baumata.
Sejak awal tinggal di sini, kami langsung akrab. Berteman dengan beliau sangat menyenangkan. Beliau tidak memilih bergaul, bahkan dengan anak muda seperti saya.
Usianya terpaut jauh di atas saya. Itulah yang membuat saya menyapanya "Bapa". Dia sangat menghargai siapa saja termasuk saya yang-hanyalah-butiran-debu ini.
Selain baik hati, kepribadiannya sangat menarik. Itulah yang membuat dia banyak dikenal dan mengenal orang.
Saya masih ingat, saat pertama kali dia tinggal di sini, dia datang menyalami saya dan memperkenalkan dirinya. Tanpa saya banyak bertanya, beliau sudah bercerita banyak tetang dirinya. Dia mengatakan kalau dirinya adalah seorang guru dan selalu ditempatkan di pelosok. Pertama kali bertugas sebagai guru, di ditempatkan di Sabu Raijua. Setelah itu dipindahkan ke Kab. Kupang, di Nauen.
"Nauen itu di mana, Bapa ?", saya bertanya karena baru mendengar nama daerah itu.
"Jauh sekali kaka", katanya sambil mengernyitkan dahi, "ada ratusan kali yang harus kita lewati bila ke sana. Kalau banjir, kami susah sudah, sonde bisa jalan".
"Kenapa tidak buat jembatan saja, Bapa ?"
"Kaka, kalau kita hitung anggaran untuk buat jembatan di sana, mau jual satu NTT ini pun tidak akan cukup. Pemerintah kayaknya su lupa dengan kami juga".
Sejak itu, kami berelasi dengan baik. Saya mengajaknya minum kopi di rumah sambil bertukar pikiran soal hidup berumah tangga, mendidik atau mengajar dan hal lainnya. Begitupun sebalik, beliau seringkali mengajak saya ngopi di rumahnya. Saking akrabnya, saya pun terpengaruh dengan kebiasaannya mengunyah sirih-pinang. Saat ini, minimal sekali dalam seminggu saya ikut mengunyah sirih-pinang bersamanya.
Beliau sangat baik, suka memberi dan tidak pelit. Suatu kali, sehari setelah acara kenduri bapak mantunya, beliau datang ke rumah. Saat itu hari minggu pagi, kami masih tidur. Saya mendengar ada yang menggedor pintu dapur. Begitu dibuka, saya kaget melihat Pa Guru membawa kepala babi yang masih utuh.
"Waduh bapa, kepala babi dari mana ini ?"
"Babi yang dipotong untuk acara kenduri kemarin, kepalanya masih saya simpan".
"Terus, bagaimana ?"
"Kita masak dan makan to, Kaka !"
Beliau sendiri yang potong kepala babi itu. Saya hanya bersedia memasaknya saja. Waktu itu Gibran dan mamanya masih di Manggarai. Mau tidak mau, saya menjadi kokinya saat itu.
Saya masak potongan kepala babi itu hanya dengan bumbu sederhana. Menurut Pa Guru, rasanya sangat enak. Kami undang tetangga lain, lalu makan hingga habis.
Kami juga saling berbagi bila ada "makan enak". Misalnya saat masak kolak, kami akan antar sebagian ke rumah Pa Guru. Begitupun sebaliknya, Pa Guru sering kali memberi kami banyak hal. Bahkan kalau mau dihitung, beliau paling banyak memberi dibanding kami.
***
Pagi ini, saya sengaja mengajak Gibran ikut nongkrong di beranda rumah Pa Guru. Saya lakukan itu setelah melihat kepala Pa Guru sudah diplontos. Nah, persis kepalanya Gibran, bukan ? Saya meminta keduanya foto bersama.
Pa Guru memang sering mencukur rambutnya hingga plontos. Mungkin hal itu ada hubungannya dengan sikap nyentriknya bila berpapasan. Bila kami berpapasan, biasanya mengambil sikap sempurna, lalu saling memberi hormat. Layaknya para tentara.
"Pa Guru macam tentara saja", kata saya suatu kali.
"Ia kaka, banyak orang yang bilang begitu. Gara-gara itu, saya sering menjadi pemimpin upacara kalau apel di kantor dinas".
Singkatnya, selaian ramah dan baik hati, Pak Guru ini juga lucu dan menyenangkan. Saya tidak bosan berinteraksi dengannya. Dialah orang yang selalu menghadirkan suasana kampung (saling menyapa, saling berbagi, minum kopi bersama, dll) di kota yang mulai apatis ini.

Posting Komentar

0 Komentar