Jalan Pagi (25)*

Jalan Pagi (25)
Burung
(*Tulisan ini diambil dari catatan facebook tanggal 16 November 2017)

Gibran bangun pukul 05.00, lalu main-main sendiri. Saya tahu tapi pura-pura tidur. Dia berguling, kemudian tangannya meraba-raba ke wajah saya. Saya bergeming. Dia pegang-pegang terus sambil berceloteh kecil.
Saya sangat kaget dan terpaksa bangun saat dia mencakar dengan kukunya yang sudah mulai panjang lagi. Cakarannya kuat dan tidak segera dilepas. Saya terpaksa menarik tangannya. Saya pura-pura marah. Dia malah tersenyum.
Bila kondisinya demikian, tidak mungkin berusaha membuatnya tidur kembali. Matanya terbuka lebar dengan raut wajah yang tampak segar. Waktunya bermain bersama. Bukan waktu yang tepat untuk menambah jam tidur.
Biar tidak bosan bermain di tempat tidur, saya mengajaknya #JalanPagi di sekitar komplek perumahan. Ada tempat favorit kami berdua, yaitu teras rumah tetangga yang berasal dari Jawa.
Di teras rumah itu, digantung sekitar 6 kandang burung. Jenis burung yang dipelihara cukup beragam. Bentuk tubuh, warna bulu, suara kicauannya berbeda-beda.
Kami masuk saja dengan bebas meski tuan rumah tidak kelihatan. Kami tidak sungkan lagi, karena sudah sangat akrab. Mereka sudah tahu, saya dan Gibran biasa melihat-lihat burung tiap pagi. Yah.., nasib tidak punya burung yang bisa berkicau, terpaksa melihat burung Mas-Mas Jawa saja.
Bicara soal burung Mas Jawa, ada hal menarik yang perlu kita telusuri bersama. Di Kupang atau NTT pada umumnya, bila kita melihat ada kandang burung tergantung di rumah, kita bisa menebak kalau pemiliknya orang Jawa. Saya pernah beberapakali memastikan hal itu, dan selalu benar.
Sewaktu saya merantau ke Jawa, di sana pun sama. Setiap rumah hampir memiliki burung. Tidak berlebihan bila kita mengatakan orang Jawa identik dengan burung, dan burung identik dengan orang Jawa.
Suatu kali, saya pernah menanyakan tetangga orang Jawa tadi, "Kenapa sebagian besar orang Jawa suka memelihara burung ?"
Dia katakan sekedar hobi saja. Orang tua zaman dulu biasa pelihara burung, ya kami pun ikut melakukannya.
Saya kurang puas dengan jawabannya dan terus bertanya mengenai motivasi lain. Dia pun menceritakan hal asyik lainnya dalam memelihara burung.
Pertama, bisa dijadikan hiburan murah di rumah. Suara burung cukup menghibur dan membuat kita rileks seperti berada di hutan yang banyak burungnya.
Kedua, bisa menambah pendapatan keluarga. Burung-burung itu bisa diikutkan lomba. Bila menang, bisa dapat hadiah uang. Selain itu, burang jawara biasanya ditawari orang dengan harga tinggi.
"Harga burung itu berapa, Mas ?"
Tergantung. Bisa 3 juta, 5 juta, 10 juta, dan bisa lebih dari itu juga.
"Hah, burung harganya jutaan, Mas ?"
Ia, khususnya burung yang juara lomba dan punya sertifikat.
"Apaa ? Burung juga punya sertifikat ?"
Ada lembaga khusus yang mengurus sertifikasi burung yang berkualitas.
Hmm, dalam benak saya berpikir, inilah kenapa saat ini manusia ikut-ikutan disertifikasi. Guru disertifikasi, perawat disertifikasi, dosen disertifikasi, wartawan disertifikasi, dll. Ternyata terinspirasi dari sertifikasi burung, hehehe...
Saya kemudian bercerita pada Mas Jawa tadi, kalau di NTT ini banyak sekali burung. Tapi, jarang sekali -bahkan tidak ada- yang mau memeliharanya di rumah. Kami hanya pelihara ayam dan bebek, karena keluarga burung itu yang memiliki badan yang cukup seksi untuk dimakan. Kalau memelihara burung-burung kecil, kami merasa itu pekerjaan yang sia-sia. Mau dimakan sangat tanggung ukurannya. Mau dijual pun, harganya sangat murah. Entah mengapa begitu di tangan orang Jawa, nilai jualnya bertambah.
Selama ini kami tidak menganggap burung sebagai peliharaan bernilai ekonomi. Kami fokus ternak sapi, kerbau, kuda, dan babi. Bisnis burung belum dilirik sama sekali.
***
Saya terus mencari alasan kenapa orang Jawa menyukai burung. Jawaban yang saya rasakan agak puas berasal dari seorang budayawan Jawa, Mbah Sujiwo Tejo.
Ternyata memelihara burung bagi orang Jawa merupakan budaya yang tidak bisa dipisahkan dalam hidup mereka, khususnya para lelaki.
Mbah Tejo menjelaskan, ada 5 keutamaan lelaki Jawa yang harus dimiliki:
1. Wismo, yang diartikan rumah tempat tinggal
2. Turonggo, yang diartikan kendaraan
3. Kukilo, yang diartikan burung
4. Curigo, yang diartikan sesuatu yang diandalkan seperti memiliki keris/bakat/ilmu/dsb.
5. Wanito, yaitu wanita (pacar atau istri).

(Catatan: bila saya salah menulis, mohon dikoreksi karena saya mendengar ucapan lisannya Mbah Tejo. Bisa saja saya salah mendengar).
Penjelasan Mbah Tejo itulah yang cukup masuk akal. Burung itu identik dengan lelaki Jawa yang disebut Kukilo tadi. Sebab, bila tidak memiliki burung, masikah seorang lelaki disebut laki-laki ??? Wanitapun bisa menilai seseorang itu "laki" benaran itu dari burungnya. Bukan dari minuman e*tra j*ss yang iklannya berusaha diidentikan dengan "laki".
Cek baik-baik para lelaki, apakah memiliki burung ?

Posting Komentar

0 Komentar