![]() |
Gua Fatuboki - Kupang, NTT |
(*Tulisan ini diambil dari catatan facebook tanggal 31 Oktober 2017)
Jogging atau #JalanPagi hari ini, saya melewati rute yang jauh dari biasanya. Saya melewati Jalan Antonov di RSS Baumata hingga ke lembah Fatuboki. Di sana terdapat pemandangan yang lumayan unik. Dua buah bukit batu karang, mengapiti jalan raya. Batu bagian kiri memiliki lubang besar (gua). Saya pernah berkeinginan masuk ke dalam, tapi tidak jadi, takut tersesat dan tak tau arah jalan pulang.
Menurut cerita warga sekitarnya, gua itu merupakan bagian dari sejarah perlawanan terhadapan penjanjah dari Belanda dan Jepang dulu. Bila ada peperangan, orang biasa berlindung dalam gua tersebut.
Saya semakin yakin dengan cerita tersebut karena tidak jauh dari sana -bila kita menelusuri terus jalan raya- kurang lebih 1 km kemudian kita bisa menemukan sebuah tugu di sisi kiri jalan.
Plang namanya dituliskan "Tugu Jepang". Lalu, ada satu papan lagi yang berisi informasi UU yang melarang dengan tegas orang yang berniat merusak cagar budaya tersebut.
Saya menilai, tugu itu sangat tanggung. Tidak terlalu tinggi dan tidak besar. Saya membayangkan, tentara Jepang yang bertugas menjajah di Kupang dulu, kurang disuplai anggaran yang memadai. Itulah sebabnya mereka hanya bisa membangun tugu pendek saja. Kebiasaan itu masih ditiru cukup lama oleh pemerintah setelah merdeka. Kecuali masa pemerintahan Jokowi, pembangunan skala besar di NTT mulai terlihat.
Tugu itu juga dipagari oleh besi. Pintunya selalu digembok. Saya seringkali melewati di sana, dan belum pernah melihat ada petugas yang membuka / merawatnya. Hal itu membuat saya tidak tahu secara jelas, kenapa orang Jepang dulu membuat tugu seperti itu ?
Saya hanya mendapat keterangan dari beberapa warga yang kebenaran informasinya masih diragukan. Diceritakan kalau di sana merupakan tempat pembuangan abu mayat tentara Jepang. Bila ada tentara yang gugur di medan perang, mayatnya dibakar, lalu abunya disimpan atu dibuang di tugu tersebut. Benar kah ? Semoga ada di antara pembaca tulisan ini yang lebih memahami sejarah sewaktu penjajahan Jepang di Kupang, bisa memberikan pencerahan.
Cerita di atas, cukup relevan dengan temuan lain di wilayah Bukit Cinta Penfui (sekitaran Bandara El Tari). Di sana kita bisa menemukan banyak bunker yang diberi keterangan milik tentara Jepang.
Bunker yang dimaksud merupakan bangunan yang mirip terowongan. Sedikit saja bagian dari bunker yang muncul di atas permukaan tanah. Terdapat lubang-lubang kecil yang mungkin berfungsi sebagai tempat mengintip musuh atau menempatkan laras senapan. Perkiraan saya, tentara Jepang akan masuk ke dalam bunker tersebut sehingga terhindar dari peluru atau senjata musuh.
Saya coba meraba bunker tersebut, kokoh sekali. Saya coba memukulnya dengan batu besar, tidak pecah sedikit pun. Malah, batu yang saya gunakan sebagai pemukul itu yang pecah. Saya berdecak kagum dengan kualitas bangunan tentara Jepang tersebut. Bayangkan, kalau perang terjadi sebelun tahun 1945, maka sudah berapa tahun usia bunker tersebut. Hingga sekarang tahun 2017 masih kokoh dan mungkin tidak akan rusak.
Beda sekali dengan kualitas proyek dari pemerintah kita saat ini. Jalan aspal akan tergerus tanpa sisa hanya butuh 2 periode musim hujan. Saluran irigasi akan jebol dalam hitungan bulan setelah dikerjakan. Rumah jabatan akan runtuh setelah masa kerja 5 tahun berakhir. Jarang ada hasil pembangunan yang abadi.
Asal-Usul Nama Penfui
Saat meninjau bunker-bunker Jepang itu, saya diteman oleh seoarang sahabat yang berasal dari Timor - So'e.
Dia membenarkan beberapa kisah yang saya ceritakan berdasarkan informasi dari warga setempat.
Dia mengaku pernah mendengar cerita dari kakek dan neneknya yang masih keturunan salah satu raja di TTS pada masa itu. Diceritakan bahwa, saat penjajahan Jepang, banyak orang dari Soe-Kefa-Atambua dan sekitarnya yang dikirim ke Kupang untuk kerja paksa (rodi).
Wilayah di sekitar Bandara El Tari merupakan pusat tentara Jepang. Di sana banyak di pasang bendera negara matahari terbit itu. Lantas orang-orang Timor berkomentar, "Penfui, penfui, penfui...".
Dalam bahasa Timor, bendera itu: Pen-pen. Sedangkan asing adalah: Fui. Jadi, sebutan "Penfui" itu mengartikan: Itu bendera asing. Hingga kini, tempat itu tetap bernama Penfui.
Budaya Kerja
Masih menurut teman saya itu, dulu tentara Jepang sangat kejam memperlakukan pekerja di Timor. Misalnya, ada sepuluh orang yang ditugaskan memindahkan batu besar. Bila gagal, maka pekerjanya dikurangi satu menjadi sembilan. Mereka diminta melakukan hal yang sama, memindahkan batu besar tadi. Jika gagal, dikurangi satu lagi. Begitu seterusnya. Tentunya sangat kejam dan tidak manusiawi. Apalagi bila dipikir pada saat ini, dimana nilai kemanusiaan sangat diperhatikan.
Tapi, teman saya tetap mensyukuri peristiwa tersebut. Coba kalau dulu penjajah tidak memaksa orang bekerja, kita tidak mungkin menikmati fasilitas bandara seperti sekarang ini. Kita mungkin belum bisa menikmati jalan Trans timor dan pembangunan lainnya.
Mungkin kita salah menganggap orang Jepang sebagai penjajah. Mereka hanya datang menunjukkan bagaimana sebaiknya bekerja. Bagaimana budaya kerja yang baik agar bisa maju dan sukses. Namun, karena budaya kerja kita yang biasanya santai, malas dan tidak disiplin dalam bekerja, makanya kita sangat kaget dan menganggap apa yang dilakukan orang Jepang itu merupakan penjajahan.
Ah, sudah siang, selamat bekerja...
0 Komentar