Jalan Pagi (2)*

Duduk di ruang tunggu Bandara Juanda Surabaya

(*Tulisan ini diambil catatan Facebook tanggal 6 September 2017)

Pagi ini saya terbangun pukul 03.03, 27 menit lebih cepat dari alarm yang saya atur sebelumnya. Rasanya kualitas tidur semalam belum begitu memuaskan. Saya mencoba tidur lagi, tapi susah.
Telepon berdering saat masih bolak-balik mencari posisi yang nyaman di atas kasur. Sebuah panggilan dari nomor yang belum saya kenal. Ternyata dia sopir taxi yang akan menjemput saya pagi ini. Yah, hari ini harus jalan pagi lagi.
Saya belum beranjak dari kasur, toh taxi-nya masih dalam perjalanan. Lagian semalam saya minta dijemput jam 04.00. Entahlah, mungkin sopirnya mau menunjukkan pelayanan prima.
Tidak lama berselang, mungkin 5 menitan, telepon berdering lagi. Panggilan dari sebuah nomor yang belum diberi nama kontak, tapi saya hafal, nomor itu yang telepon terakhir tadi.
Benar, sopir taxi tadi. Katanya dia sudah di gang sesuai alamat yang informasikan. Dia bertanya lagi, rumah nomor berapa. Saya juga tidak hafal nomor rumahnya, karena hanya menumpang 2 hari di situ. Saya berlari keluar, menoleh kiri - kanan sambil mendengarkan percakapan di telepon. Ternyata dia berada tidak jauh dari tempat saya berdiri. Saya meminta dia tunggu sebentar, lalu segera masuk.
Mau mandi ? Malas. Gosok gigi ? Bolehlah. Itu saja sudah cukup sebagai persiapan awal jalan pagi ini. Saya menggosok gigi agak buru-buru. Mungkin 2 sampai 3 kali saja. Selesai.
Saya kembali ke kamar, mamasukkan barang yang tersisa ke dalam koper lalu menguncinya. Tidak perlu rapih, asal semuanya muat. Saya bergegas keluar sambil menggendong sebuah tas punggung, tangan kiri menenteng kantong kresek berisi oleh-oleh pesanan seseorang, dan tangan kanan menarik koper berwarna merah marun.
Saya langsung disambut sopir taxi. Cekatan mengambil koper dari tangan saya, kemudian memasukkan ke jok belakang yang sudah terbuka sejak tadi. Saya pun segera masuk ke kursi penumpang. Pintu juga sudah dibukakan sejak tadi. Saya melempar begitu saja tas ke kursi yang kosong, lalu bersandar. Saya sedikit capek, sedikit ada rasa kantuk juga.
Mobil berjalan dibarengi basa-basi sang sopir. Dia mengaku saya penumpang pertamanya hari ini. Penglaris. Saya hanya tertawa pelan dan pendek. Berharap dia mengerti, saya tidak lagi ingin banyak ngobrol. Saya ingin menikmati perjalanan pagi ini dengan santai.
Tidak bisa dicegah, Pak sopir menyinggung soal diskon harga taxi, katanya ada pemotongan 20%. Kali ini saya cukup antusias, lalu bergumam "Syukurlah", kemudian saya diam lagi.
Saya kembali sadar dari lamunan saat Pak sopir meminta saya agar sekalian membayar biaya parkir di Bandara Juanda nanti. Saya mengiyakan, meskipun dalam hati tidak begitu ikhlas.
Saya pun sadar, kami sudah berada di kompleks bandara. Mobil behenti. Saya perhatikan argometer, angkanya 77.500. Saya segera merogoh kedua saku bagian depan, hanya ada beberapa uang 5 ribuan yang totalnya hanya 20 ribu. Saya mencabut dompet dari saku belakang, tersisa satu lembar 100 ribuan. Saya segera ambil dan serah ke pak sopir.
"waduh pak, ndak ada uang kecil e...".
Saya coba sekali lagi cek saku, nihil. Saya hanya menatap pak sopir. Dia keluar, lalu terlihat berkomunikasi singkat dengan sopir lain di luar. Singkat sekali, lalu kembali ke mobil sambil ngomong, "Nggak ada juga, pak". Saya diam saja.
"Bagaimana kalau saya bayar dengan uang kecil yang ada sekarang, sekitar 20 ribuan", saya coba menawarkan sekadarnya meski saya bisa menebak dia akan menolak.
" Saya rugi, Pak".
"Ya sudah, kalau begitu ambil semuanya", saya sodori ulang uang 100 ribu.
Dia terima dengan senyum simpul. Dia tidak menolak atau mengatakan saya juga bisa rugi bila seperti itu. Dia hanya peduli bila dirinya yang merugi. Kalau orang lain, "Bukan urusan saya", mungkin begitu yang ada di pikirannya. Trik busuk.
***
Saya lupakan sopir taxi penuh intrik itu. Bukan soal uang, tapi caranya kurang baik menurut saya. Saya lebih suka bila dia jujur dan kerja prodesional. Saya sebenarnya bisa bermurah hati kepada orang, tapi sangat jengkel bila prosesnya seperti dibuat-buat.
Saya segeral check-in, masuk ke ruang tunggu. Duduk di tempat yang nyaman dan agak sepi, membuka tas, mengambil buku, kemudian membaca "Seorang laki-laki yang keluar dari rumah", karya Kepala Suku Mojok.co: Puthut EA.
Tidak lama berselang, dua laki-laki datang duduk di samping. Mereka mengobrol cukup keras. Tentu saja saya terganggu. Akhirnya kurang fokus membaca, malah menguping pembicaraan mereka.
Keduanya mungkin teman lama. Seorang bertubuh lebih tinggi dari rekannya, menggunakan sweater biru dongker, celana penjang berwarna coklat serta dipadu sneaker. Sementara satu bertubuh pendek dan lebih kurus. Saya bisa simpulkan, mereka sedang berbagi cerita tentang keluarga masing-masing.
Laki-laki bertubuh pendek itu bercerita, kalau dia tinggal berjauhan dengan istri dan anak-anaknya. Dia harus kerja di tempat lain. Dia hanya pulang saat istrinya melahirkan. Tidak lama, setelah itu berpisah lagi. Sudah terjadi kedua kalinya. Meski begitu dia mengaku bangga sudah memiliki 2 orang anak.
Saya melihat laki-laki itu sepintas saja, lalu menunduk, merenung. Saya teringat Gibran. Ingat Mamanya Gibran.
Saya rasa, judul buku yang saya baca pagi ini, memiliki korelasi yang bermakna dengan kejadian yang saya alami. Saya, seperti 'Seorang laki-laki yang keluar dari rumah", bisa bertemu banyak orang; merasakan banyak hal; membuat banyak kisah; dsb.
Tapi, sejauh apapun laki-laki keluar dari rumah, dia tetap kembali. Sebab separuh jiwanya masih tertinggal di rumah. Dijaga sama anak, dan tentu saja istri.
***
Demikian kisah singkat "Jalan pagi" dari laki-laki yang cukup lama keluar dari rumah. Saatnya kembali ke rumah, mempersiapkan diri untuk 'jalan pagi' selanjutnya yang berkualitas. Selamat menikmati hari...

Posting Komentar

0 Komentar