Jalan Pagi (18)*

Jalan Pagi (18)
Foto di taman Gereja St. Yosef Pekerja Penfui-Kupang
(*Tulisan ini diambil dari catatan facebook tanggal 22 Oktober 2017)

Bila hari Minggu, #JalanPagi-nya tentu saja ke Gereja. Ucapan syukur atas berkat selama seminggu serta memohon penyertaan hari selanjutnya, disampaikan dalam ibadah bersama di Gereja. Meski agak sulit dijelaskan atau dipahami, saya sangat meyakini kebiasaan berdoa di Gereja sangat penting bagi perkembangan hidup selanjutnya.
Saya paham, rangkaian liturgi dari pembukaan hingga penutupan merupakan satu kesatuan. Namun, dari seluruh rangkaian proses tersebut, ada hal yang paling berkesan. Ingat, bukan berarti ada bagian yang tidak penting dari keseluruhan prosesnya. Semuanya penting, cuman ada hal yang lebih menarik perhatian saya.
Pertama, saat umat dipersilakan membagikan salam damai. Setiap orang mulai menoleh ke kiri-kanan dan depan-belakang, tersenyum sambil bersalaman. Setiap saya melakukannya, rasanya begitu menenangkan. Damai bercampur perasaan gembira. Raut wajah orang-orang di sekitar juga menunjukkan hal yang sama.
Kedua, saya begitu terkesan dengan orang tua yang membawa anak-anak mereka sejak bayi ke Gereja. Meski kadang-kadang mereka menangis selama ibadah, tetapi semua orang memaklumi. Tidak pernah ada yang menegur, "Eh, tolong anaknya jangan ribut". Tidak ada !!! Baik sesama umat maupun petugas gereja (Imam) tidak pernah membatasi anak-anak masuk ke Gereja, tidak peduli mereka akan menangis, berteriak, berlari, dan tingkah lainnya.
Itulah kenapa semenjak bersama Gibran, kami juga membawanya serta dengan percaya diri ke Gereja setiap hari Minggu. Selama ibadah berlangsung, kalau bukan ibunya, saya yang akan bermain dengannya sambil mengikuti proses ibadah. Meski rasanya agak mengganggu orang yang duduk berdekatan dengan kami, tapi semuanya seolah-olah sudah paham. Gereja sangat ramah dengan anak-anak.
Ketiga, masih ada kaitannya dengan anak-anak (bayi). Saat menerima komuni (hostia), orang tua yang memiliki bayi, tetap diperbolehkan menerima sambil bayinya digendong. Rohaniawan/ti yang bertugas membagi komuni, langsung menempatkan hostia ke dalam mulut, kemudian memberi urapan (tanda salib) pada dahi atau bagian kepala anak.
Saat beberapa kali melakukannya selama ini, sebagai orang tua saya merasa ada berkat khusus buat anak dalam proses tersebut. Saya senang dan selalu melakukannya dengan semangat.
Keempat, di Gereja tempat kami biasa beribadah, setelah pembagian komuni, ada kesempatan khusus untuk pemberkatan anak-anak. Anak-anak berjalan menuju altar, ada juga yang didampingi orang tua. Kalau bayi sudah pasti digendong orang tuanya. Di depan altar, Imam akan memercikan air berkat. Kami meyakini, pemberkatan itu akan membawa kebaikan bagi pertumbuhan dan perkembangan anak.
Saya memperhatikan khusus aktivitas tersebut sejak dulu, saat masa awal kuliah. Saya begitu terkesan saat orang tua, khususnya 'Papa Muda', berjalan dengan percaya diri menuju altar sambil menggendong anaknya. Langkah mereka diiringi lagu:
"Pada suatu hari, anak-anak datang pada Yesus. / Para murid mengusirnya / Tetapi Yesus berkata: Biarkan anak-anak, datang padaku, datang padamu./ Mereka sahabatku".
Sejak itulah saya selalu berkhayal atau bertanya dalam benak, "Kapan bisa seperti mereka ?". Saya ingin sekali seperti orang tua, khususnya 'Papa muda' yang bersemangat mengantar anaknya ke Gereja.
Impian itu terwujud semenjak Tuhan menghadirkan Gibran dalam hidup kami. Tentu saja saya sangat berbahagia dan bangga, impian sederhana itu bisa terwujud.
Seperti hari ini, saya #JalanPagi bersama Gibran ke Gereja. Saya menggendongnya dengan percaya diri saat menerima komuni, serta saat pemberkatan anak-anak. Aktivitas sederhana yang menyenangkan.
Selamat hari Minggu, Tuhan memberkati...
*Keterangan: Foto diambil di taman rumah pastoran Gereja St. Yosep Pekerja Penfui, Kupang.

Posting Komentar

0 Komentar