![]() |
Loket antrian dispenduk Kab.Kupang, NTT |
(*Tulisan ini diambil dari catatan facebook tanggal 18 Oktober 2017)
Sebagai warga negara yang berusaha lebih baik, saya memutuskan untuk perbaharui data kependudukan. Sebelumnya saya sudah memiliki Kartu Kelurga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Tapi, alamatnya tidak sama dengan tempat domisili saat ini. Selain itu, saya juga ingin membuat KK baru bersama istri dan anak.
Saya mulai menanyakan prosedurnya hampir ke semua orang. Biar lebih pasti, saya bertanya ke ketua RT dan Kepala Desa. Setelah semuanya jelas, saya mulai mengurusi surat-suratnya.
Pertama, saya harus mengurus surat keterangan pindah dari alamat sebelumnya. Semuanya berjalan lancar meski harus berurusan dengan banyak institusi mulai dari ketua RT, kelurahan, camat, lalu berakhir di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.
Kedua, saya harus melapor ke tempat domisili yang baru. Saya langsung bertanya di kantor desa tempat domisili saat ini (Desa Baumata Barat), mereka menyarankan langsung ke Dispenduk dan Capil Kab. Kupang di Oelamasi.
Senin, 16/10/2017 lalu, saya #JalanPagi ke Oelamasi. Tentu saja menggunakan sepeda motor. Jarak anatara Baumata dan Oelamasi cukup jauh, kurang lebih ditempuh 1 jam bila kecepatan sepeda motor 40-60 km/jam.
Begitu tiba, saya langsung berkonsultasi dengan bagian resepsionis. Saya diminta mengisi formulir, dan harus ditandatangani kepala desa. Saya agak kaget, itu artinya harus kembali lagi ke Baumata.
Meski agak jengkel, saya berusaha kalem. Saya berpikir, kenapa formulir tadi tidak disimpan di kantor desa saja ? Bila perlu, warga mestinya hanya berurusan dengan petugas di kantor desa. Selanjutnya, biarlah pegawai desa yang berurusan dengan Dispenduk & Capil.
Saya berusaha memahami saja situasinya. Maklum, ini masih di NTT. Harapan Pak Jokowi yang mempersingkat urusan administrasi mungkin belum sampai ke sini. Masih terhalang oleh awan, laut, atau batu karang.
Saya pun menemui kepala desa, beliau tidak berada di tempat. Saya titip saja formulirnya kepada sekretaris. Keesokan harinya baru bisa diambil. Jadi, butuh waktu 2 hari.
Hari ini, saya #JalanPagi lagi ke Oelamasi. Formulir kependudukan sudah terisi lengkap, sudah ditandatangani. Saya jalan dengan optimis. Orang-orang sudah banyak mengantri di beranda kantor Dispenduk & Capil saat saya tiba. Saya lihat jam, sudah pukul 8 lebih 36 menit.
Saya buru-buru ke petugas yang mengurus nomor antrian. Saya langsung lemas dan mungkin terlihat pucat saat dia bilang dengan ekspresi cuek, "Nomor antrian sudah habis".
"Waduh pak, saya datang jauh dari Baumata".
"Ya, mau bagaiamana ? Nomor antri su habis na", tegasnya tanpa senyum.
"Bagaimana kalau esok saya datang, tapi nomor antrinya habis lagi ?"
"Ya, datang hari berikutnya lagi !"
"Pak, kami juga harus masuk kerja".
Petugas diam saja, menunduk, cuek. Saya hampir tidak bisa menahan emosi.
"Pak, tolonglah, saya su datang jauh-jauh masa tidak bisa dilayani ? Apalagi masa aktif surat pindah ini hampir habis", saya berusaha memohon.
"Kalau begitu tunggu saja, kalau layanan antrian gelombang pertama selesai, kita buka lagi. Bisa nanti siang atau nanti sore. Tapi, kalau pelayanannya sampe sore, berarti tundak esok".
Saya lemas dan balik badan. Saya menyesali diri sendiri, kenapa mau urus edministrasi pindah penduduk ? Tapi, kalau tidak diurus, bagaimana untuk mendapatkan pelayanan nantinya. Bukankah di republik ini semua urusan membutuhkan kartu-kartu ? Dilema...
Menjadi penduduk di republik ini sungguh repot. Padahal saya, darahnya berwarna merah, tulang berwarna putih. Sering kali menyanyi, "Merah darahku, putih tulangku..,dst". Tapi, urusan admistrasi yang menerangkan sebagai WNI saja, ribetnya bukan main. Sekarang baru saya sadari, mencintai tanah air itu tidak sederhana. Berbanggalah menjadi Indonesia...
Oh, nasib menjadi #Pribumi....
0 Komentar