![]() |
Pasar Oesapa-Kupang, NTT |
(*Tulisan ini diambil dari catatan facebook tanggal 12 Oktober 2017)
Sewaktu masih mahasiswa; masih tinggal di kost, kami sering dibangunkan saat pagi oleh penjul sayur. Bagaimana tidak bangun, bunyi bel sepeda motornya sangat berisik, dibunyikan seperti sirene pemadam kebakaran.
Sambil maki-maki dengan suara pelan, -takut juga kalau didengar olehnya- kami pun keluar dari kamar masing-masing, coba melihat apa yang dibawakan si penjual.
Saya memang jarang memasak. Biasanya saya makan di warung, atau kalau lagi kere, ya nebeng makan masakan teman kost. Waktu itu kondisinya menguntungkan saya, tetangga kamar didominasi teman cewek. Mereka rajin dan pandai memasak. Apalagi salah satu dari teman kost itu menjadi pacar saya, tidak pusing lagi soal masak. Saya hanya bantu menyiapkan bahan baku saja, sedangkan urusan masak, dia (pacar) yang mengambil alih. Puji Tuhan, pacar yang saya maksudkan itu kini berubah status menjadi istri.
Saat membeli bahan masakan itulah, saya akhirnya mengetahui, penjual sayur keliling itu orang Jawa. Memang dalam perkembangan selanjutnya, orang lokal (Timor) juga mulai ikutan. Saya pun berpikir, kenapa orang Jawa datang jauh-jauh sampe ke Timor, lalu menjual sayur keliling. Apa tidak ada pekerjaaan lain di Jawa. Padahal, banyak orang Timor yang merantau ke Jawa untuk mencari pekerjaan di sana. Kok mereka malah kebalikan, mau datang ke Timor, memilih jadi penjual sayur. Saat itu, saya benar-benar tidak tahu apa motivasinya.
***
Semenjak saya rutin melakukan #JalanPagi, pertanyaan-pertanyaan itu dulu, mulai terkuak jawabannya. Sehabis jogging selama 30 menit -menjalanankan amanat Germas-, kadang dilanjutkan ke pasar bila bahan makanan (sayur) sudah habis. Selama perjalanan itulah, saya selalu melakukan pengamatan dan analisa sederhana, guna menemukan jawaban dari setiap pertanyaan yang muncul dalam benak.
Saya pun berkesimpulan, penjual sayur dari Jawa yang saya kenal dulu, mereka mau menjual sayur karena bisa meraup keuntungan 100 hingga 150, bahkan 200 persen.
Penjual sayur keliling, menjual dengan harga yang jauh lebih mahal dari harga di pasar. Kalau kami dulu mengeluh pada penjual, mereka berdalih, "Sayur lagi mahal". Apalagi kalau di media massa sedang diberitakan kenaikan harga kebutuhan pokok, penjual makin pandai berkilah, "Semua barang naik neh, Kak".
Dulu, kami percaya saja. Akhirnya persepsi kami saat itu menyimpulkan, sayuran di kota Kupang sangat mahal. Kami maklumi saja, apalagi saat melihat lingkungan sekeliling, lebih banyak batu karang dibandingkan tumbuhan. Lha, bagaimana sayur bisa tumbuh ? Pantas kalau sayur atau kebutuhan pokok lain mahal. Meski mahal, namanya kebutuhan pokok, tetap saja kami beli. Penjual itu pun selalu tersenyum, ramahnya minta ampun. #modus..
Padahal, persediaan sayur di Kota Kupang cukup melimpah. Daerah sekitarnya, -seperti Oesao, Tarus, Semua, dll- mampu menyuplai sayur-sayuran untuk kebutuhan warga di Kota Kupang, masih dengan harga yang murah. Hal itu baru saya tahu atau sadari setelah sering melakukan #JalanPagi ke pasar.
***
![]() |
Potongan tempe |
Sebagai gambaran bagaimana keuntungan penjual sayur keliling, saya akan menggambarkan pengalaman #JalanPagi hari ini. Saya berbelanja di pasar Oesapa, situasi seperti pada foto pertama (bagian kiri).
Pertama, saya membeli tempe dengan ukuran 80 cm dengan harga 5 ribu rupiah. Biasanya, tempe sepanjang itu bisa dibagi jadi 4, masing-masing berukuran 20 cm (lihat foto kedua, bagian kanan). Penjual sayur keliling biasanya menjual potongan 20 cm itu seharga 5 ribu rupiah. Bila terjual semua, maka hasilnya 20 ribu rupiah. Bila dikurangi modal 5 ribu rupiah, maka keuntungan bersih dari satu batang tempe itu adalah 15 ribu rupiah. Berapa persen keuntungannya ? Silakan hitung sendiri, ya..?!
Kedua, saya membeli sayur kankung. Harganya sangat murah, 4 ikat kecil seribu rupiah. Keempat ikatan kankung itu, biasanya disatukan dengan karet gelang oleh penjual sayur keliling, kemudian dijual dengan harga 5 ribu rupiah. Keuntungannya berlipat-lipat, bukan ?
Ketiga, saya membeli tahu yang sudah dipotong dadu (sekitar 2×2 cm). Dalam satu kantong berisi 21 potong dijual dengan harga 5 ribu rupiah. Penjual sayur keliling biasanya membagi 3, tiap bungkusan berisi 7 potong, dijual dengan harga 5 ribu rupiah. Hitung sendiri, berapa keuntungannya ?!
Masih banyak contoh-contoh bahan kebutuhan pokok lainnya, tapi sudahlah, ketiga contoh di atas saya kira sudah mewakili. Intinya, pertanyaan saya dulu akhirnya terjawab: Orang Jawa merantau ke Timor untuk menjadi penjual sayur, dimotivasi keuntungan besar. Saya pun tidak heran, bila warga lokal mulai ikutan menjadi penjual sayur keliling. Selain itu, ada pula kesimpulan lain, yaitu: Rasa malas kita ke pasar selama ini, ternyata harus dibayar mahal.
Sepulang dari pasar pagi ini, saya memperhatikan sepeda motor yang diparkir di samping rumah, sambil menggendong Gibran. Saya membayangkan ada gerobak sayur yang terpasang pada motor itu. Lalu, setiap pagi saya akan berkeliling di kompleks perumahan sambil meneriakkan, "Sayur, sayur, sayur...".
Lamunan saya buyar, saya Gibran pipis. Saya rasakan seperti aliran air hangat, masuk ke celah-celah paha. Tentu saja saya kaget. Ah, Gibran...
Sewaktu masih mahasiswa; masih tinggal di kost, kami sering dibangunkan saat pagi oleh penjul sayur. Bagaimana tidak bangun, bunyi bel sepeda motornya sangat berisik, dibunyikan seperti sirene pemadam kebakaran.
Sambil maki-maki dengan suara pelan, -takut juga kalau didengar olehnya- kami pun keluar dari kamar masing-masing, coba melihat apa yang dibawakan si penjual.
Saya memang jarang memasak. Biasanya saya makan di warung, atau kalau lagi kere, ya nebeng makan masakan teman kost. Waktu itu kondisinya menguntungkan saya, tetangga kamar didominasi teman cewek. Mereka rajin dan pandai memasak. Apalagi salah satu dari teman kost itu menjadi pacar saya, tidak pusing lagi soal masak. Saya hanya bantu menyiapkan bahan baku saja, sedangkan urusan masak, dia (pacar) yang mengambil alih. Puji Tuhan, pacar yang saya maksudkan itu kini berubah status menjadi istri.
Saat membeli bahan masakan itulah, saya akhirnya mengetahui, penjual sayur keliling itu orang Jawa. Memang dalam perkembangan selanjutnya, orang lokal (Timor) juga mulai ikutan. Saya pun berpikir, kenapa orang Jawa datang jauh-jauh sampe ke Timor, lalu menjual sayur keliling. Apa tidak ada pekerjaaan lain di Jawa. Padahal, banyak orang Timor yang merantau ke Jawa untuk mencari pekerjaan di sana. Kok mereka malah kebalikan, mau datang ke Timor, memilih jadi penjual sayur. Saat itu, saya benar-benar tidak tahu apa motivasinya.
***
Semenjak saya rutin melakukan #JalanPagi, pertanyaan-pertanyaan itu dulu, mulai terkuak jawabannya. Sehabis jogging selama 30 menit -menjalanankan amanat Germas-, kadang dilanjutkan ke pasar bila bahan makanan (sayur) sudah habis. Selama perjalanan itulah, saya selalu melakukan pengamatan dan analisa sederhana, guna menemukan jawaban dari setiap pertanyaan yang muncul dalam benak.
Saya pun berkesimpulan, penjual sayur dari Jawa yang saya kenal dulu, mereka mau menjual sayur karena bisa meraup keuntungan 100 hingga 150, bahkan 200 persen.
Penjual sayur keliling, menjual dengan harga yang jauh lebih mahal dari harga di pasar. Kalau kami dulu mengeluh pada penjual, mereka berdalih, "Sayur lagi mahal". Apalagi kalau di media massa sedang diberitakan kenaikan harga kebutuhan pokok, penjual makin pandai berkilah, "Semua barang naik neh, Kak".
Dulu, kami percaya saja. Akhirnya persepsi kami saat itu menyimpulkan, sayuran di kota Kupang sangat mahal. Kami maklumi saja, apalagi saat melihat lingkungan sekeliling, lebih banyak batu karang dibandingkan tumbuhan. Lha, bagaimana sayur bisa tumbuh ? Pantas kalau sayur atau kebutuhan pokok lain mahal. Meski mahal, namanya kebutuhan pokok, tetap saja kami beli. Penjual itu pun selalu tersenyum, ramahnya minta ampun. #modus..
Padahal, persediaan sayur di Kota Kupang cukup melimpah. Daerah sekitarnya, -seperti Oesao, Tarus, Semua, dll- mampu menyuplai sayur-sayuran untuk kebutuhan warga di Kota Kupang, masih dengan harga yang murah. Hal itu baru saya tahu atau sadari setelah sering melakukan #JalanPagi ke pasar.
***
Sebagai gambaran bagaimana keuntungan penjual sayur keliling, saya akan menggambarkan pengalaman #JalanPagi hari ini. Saya berbelanja di pasar Oesapa, situasi seperti pada foto pertama (bagian kiri).
Pertama, saya membeli tempe dengan ukuran 80 cm dengan harga 5 ribu rupiah. Biasanya, tempe sepanjang itu bisa dibagi jadi 4, masing-masing berukuran 20 cm (lihat foto kedua, bagian kanan). Penjual sayur keliling biasanya menjual potongan 20 cm itu seharga 5 ribu rupiah. Bila terjual semua, maka hasilnya 20 ribu rupiah. Bila dikurangi modal 5 ribu rupiah, maka keuntungan bersih dari satu batang tempe itu adalah 15 ribu rupiah. Berapa persen keuntungannya ? Silakan hitung sendiri, ya..?!
Kedua, saya membeli sayur kankung. Harganya sangat murah, 4 ikat kecil seribu rupiah. Keempat ikatan kankung itu, biasanya disatukan dengan karet gelang oleh penjual sayur keliling, kemudian dijual dengan harga 5 ribu rupiah. Keuntungannya berlipat-lipat, bukan ?
Ketiga, saya membeli tahu yang sudah dipotong dadu (sekitar 2×2 cm). Dalam satu kantong berisi 21 potong dijual dengan harga 5 ribu rupiah. Penjual sayur keliling biasanya membagi 3, tiap bungkusan berisi 7 potong, dijual dengan harga 5 ribu rupiah. Hitung sendiri, berapa keuntungannya ?!
Masih banyak contoh-contoh bahan kebutuhan pokok lainnya, tapi sudahlah, ketiga contoh di atas saya kira sudah mewakili. Intinya, pertanyaan saya dulu akhirnya terjawab: Orang Jawa merantau ke Timor untuk menjadi penjual sayur, dimotivasi keuntungan besar. Saya pun tidak heran, bila warga lokal mulai ikutan menjadi penjual sayur keliling. Selain itu, ada pula kesimpulan lain, yaitu: Rasa malas kita ke pasar selama ini, ternyata harus dibayar mahal.
Sepulang dari pasar pagi ini, saya memperhatikan sepeda motor yang diparkir di samping rumah, sambil menggendong Gibran. Saya membayangkan ada gerobak sayur yang terpasang pada motor itu. Lalu, setiap pagi saya akan berkeliling di kompleks perumahan sambil meneriakkan, "Sayur, sayur, sayur...".
Lamunan saya buyar, saya Gibran pipis. Saya rasakan seperti aliran air hangat, masuk ke celah-celah paha. Tentu saja saya kaget. Ah, Gibran...
0 Komentar