![]() |
| Suasana pasar Oesapa-Kupang, NTT |
(*Tulisan ini diambil dari catatan facebook tanggal 6 Oktober 2017)
Cerita #JalanPagi kita lanjutkan. Hari ini episode ke-12. Mirip sinetron. Saya belum tega menamatkan kisah-kisah seputar kegiatan jalan pagi. Tidak bertujuan yang hebat-hebat, ini sekedar mengarsipkan kenangan.
Hari ini, sebagamana biasanya, setelah jogging saya melanjutkan perjalanan ke pasar. Saya menjalankan tugas sederhana, membeli sayur dan kebutuhan lainnya.
Saat mulai mencari apa yang saya butuhkan, sadarlah saya ternyata aktivitas yang tampak sederhana ini, nyatanya tidak sederhana. Di pasar, barang yang kita butuhkan dijual banyak orang. Misalnya seperti yang saya lakukan hari ini, ingin membeli kangkung. Saya melihat sayur yang dijual pedagang pertama, lalu tanyakan harganya. Setelah tahu harganya, saya pun berpikir, pasti di depan sana (penjual lain) ada yang lebih murah dan lebih bagus. Saya pun berjalan terus, sambil sesekali bertanya sama penjual. Ada pula penjual yang saya lewati tanpa menanyakan apa-apa.
Hingga tiba di ujung deretan penjual, saya kembali lagi. Bertanya lagi pada penjual sayur yang belum ditanyakan. Meski masih bimbang, saya akhirnya membeli pada seorang ibu. Saya terpaksa membeli padanya karena belum sempat saya menyetujui, dia sudah memasukkan sayur dalam kantong plastik. "Tiga ikat seribu Mas, ambil ini sudah", katanya sambil membungkus sayur dengan sigap.
Saya akhirnya membayar. Dia terseyum bahagia. Saya juga tersenyum, tapi masih ragu-ragu. Takut menyesal dengan pilihan yang barusan saya lakukan. Saya pamit dan mencari kebutuhan lain, tomat dan lombok. Baru selangkah, seorang ibu penjual sayur yang lain menyeletuk, "Aduh Mas, kalo ambi beta punya tadi, 4 ikat seribu. Daun ju masih muda alus-alus". Saya hanya membalasnya dengan senyuman yang mungkin terlihat aneh. Saya menyesal, tapi mau bagaimana lagi ?
Sekarang saya menenteng dua kantong kresek ukuran besar berisi kangkung. Bisa untuk seminggu. Lumayan berat. Saya tenteng di tangan kiri, karena tangan kanan berfungsi untuk menuding barang jualan, "Ini berapa ? atau Itu berapa ?".
Sebagaimana proses membeli sayur, saat membeli tomat dan lombok pun penuh pertimbangan. Saya mencari yang terbaik, sambil menenteng beban (sayur) di tangan.
Saya perhatikan lombok dan tomat di setiap lapak. Lagi-lagi saya bingung, mana yang harus dibeli. Bentuknya sama-sama baik. Ukuran setiap kumpulnya juga hampir sama. Ada yang dibiarkan tegeletak di atas terpal, ada juga yang sudah terbungkus dalam kresek.
Saya bolak-balik, dan pada akhirnya saya membeli pada salah seorang penjual. Saya juga tidak tahu, kenapa membeli pada penjual tersebut. Tidak ada hal yang lebih baik dari penjual lainnya. Mungkin saja penjual berdoa lebih banyak, sehingga saya jatuhkan pilihan kepadanya.
Saya lega, selesai juga tugas berat hari ini. Tangan kiri sudah terasa pegal, sedari tadi menenteng beban. Mungkin inilah dampak buruknya menunda akibat ragu-ragu mengambil keputusan, beban semakin bertambah.
Setelah menerima tomat dan lombok, saya menoleh ke belakang, ke arah penjual lainnya. Saya perhatikan, tomat dan lombok yang mereka jual, terlihat lebih baik dan lebih banyak tiap kumpulnya. Seketika itu saya menyesal lagi.
Saya pulang dengan rasa bersalah. Kurang bahagia. Bayang-bayang salah mengambil keputusan selalu menghantui pikiran saya. Rumit betul urusan memutuskan suatu hal.
Setiba di parkiran, saya menata barang belanjaan di sepeda motor. Saya menoleh kiri - kanan, tidak terlihat tukang parkir. Saya dorong motor ke tempat yang agak lapang, lalu menyalakan mesin. Saat hendak jalan, seorang anak muda mendekati saya, "Parkir, Kak".
Saya menatapnya dengan aneh. Tidak ada karcis parkir. Tidak membantu saya keluarkan motor dari parkiran. Tiba-tiba minta uang. Apalagi saya masih galau soal pilihan tadi, saya acuhkan saja si tukang parkir itu. "Bukan soal uang seribu rupiah, minimal kau ada kerja sedikit kah", umpat saya dalam benak.

0 Komentar