![]() |
Suasana diskusi sastra Komunitas Leko Kupang |
(*Tulisan ini diambil dari catatan facebook tanggal 8 November 2017)
Saya suka menghadiri sebuah acara diskusi. Meski tidak aktif berdiskusi, mendengar orang berpendapat saja sudah puas rasanya. Saya kagum dengan mereka yang piawai menyampaikan pendapatnya secara runut, diramu dengan berbagai pendapat para ahli dan menggunakan diksi yang 'wah'. Kesannya, mereka cerdas sekali, menunjukkan orang yang berpendidikan baik.
Tadi malam, ada diskusi yang diselengarakan oleh komunitas sastra di Kota Kupang. Topiknya: "Mengenang Gerson Poyk, Menggali Virga Belan: Menapak Ulang Jejak Sastra NTT". Saya tentunya penasaran, sehingga memutuskan ikut dan #JalanMalam ke tempat diskusi, Aula Seminari Tinggi St. Mikhael-Penfui.
Saya bukanlah pecinta sastra yang fanatik. Saya hanya mengakui diri sebagai pembaca. Saya membaca apa saja. Apa saja bahan bacaan yang saya temui, ya saya baca. Mungkin diantara banyak buku atau tulisan yang pernah saya baca, ada beberapa karya sastranya. Tapi, saya juga tidak begitu yakin. Sebab, hingga saat ini saya belum bisa membedakan mana tulisan yang disebut karya sastra, mana yang bukan.
Bisa dibayangkan, apa jadinya orang seperti saya -tidak tahun banyak sastra- tapi ikut dalam diskusi pencinta sastra ?
Saya rasakan seperti sedang tersesat di hutan rimba. Benar-benar asing. Apa yang mereka bicarakan, mungkin saya pahami sekitar 25% saja. Selebihnya, pura-pura mengangguk seperti orang yang sudah paham.
Tapi, seperti yang sudah saya singgung pada bagian awal, saya suka dengan suasana diskusi. Itulah yang membuat saya tetap bertahan hingga acara berakhir.
Meski kurang paham, saya tetap memiliki catatan tentang topik diskusi tersebut, yang ditinjau berdasarkan apa yang saya rasakan secara pribadi. Saya tidak meninjaunya dengan teori-teori sastra yang rumit. Maklumlah, saya sudah jelaskan di atas.
Diskusi semalam, saya dapatkan 2 subtema utama. Pertama, soal sejarah sastra NTT, siapaya yang pertama melakukannya ? Kedua, apakah karya sastra mampu mengubah perilaku pembaca atau masyarakat secara umum ?
Poin pertama merupakan inti diskusinya. Sebelumnya, sastrawan NTT (ada pula yang tidak sepakat) melegitimasi Bpk. Gerson Poyk sebagai tokoh atau orang pertama yang menghasilkan karya sastra di NTT. Karenanya beliau didaulat sebagai pencetus sastra di NTT. Tanggal lahirnya dijadikan sebagai hari sastra NTT.
Pengakuan itu ternyata masih kontroversi dalam komunitas sastra NTT. Ada kelompok tertentu yang tidak mengakuinya. Keraguan itu makin membesar setelah salah seorang peneliti dari NTT, -Berto Tukan, yang menjadi narasumber diskusi semalam- menemukan fakta baru soal sejarah sastra NTT.
Hasil penelitiannya di PDS HB Jassin, menemukan fakta yang mengejutkan. Ternyata, ada sastrawan lain yang berasal dari NTT sebelum atau kurang lebih bersamaan dengan G.Poyk. Itulah yang namanya Virga Belan.
Bila ditelurusi dari penerbitan karya sastra di media nasional, tenyata sejak tahun 1959 (semoga saya tidk salah ingat), Virga sudah menerbitkan karya sastranya di media nasional. Sedangkan G.Poyk, karyanya baru diterbitkan sejak 1961. Berarti, Virga lebih dahulu dari Gerson.
Ada pula informasi lain, bahwa mungkin ada lagi orang NTT lain sebelum mereka berkarya tapi tidak terdokumentasi dengan baik. Hal itu dikaitkan dengan sebuah laporan, ternyata media massa di NTT sudah ada sejak 1920-an atau 1930-an. Media-media tersebut diprediksi memuat karya sastra juga. Pasti ada orang NTT yang menulis karya sastra di sana.
Dari diskusi yang hampir tidak berujung itu, bisa kita simpulkan bahwa, tokoh sastra NTT yang paling pertama itu belum jelas.
Bagi saya yang awam soal sastra, sempat berpikir, "Untuk apa kita sibuk mencari orang yang pertama ?"
Kalau kita fokus mencari orang pertama dan mengkultuskan dengan berbagai rupa, lalu bagaimana nasib orang kedua, ketiga, keempat,...ke-2017 ?
Ada baiknya berkarya saja, nanti masyarakat penikmat sastra seperti kami yang akan menilai dan memberi pengakuan. Pengakuan yang abadi itu datangnya dari orang lain, bukan kita yang mengakui kehebatan sendiri.
Hal yang kedua, apakah karya sastra sudah mengubah perilaku masyarakat ?
Kita tahu, dalam karya sastra memang mengandung pesan-pesan moral. Mungkin itu yang membuat wacana ini muncul dalam diskusi semalam.
Inti jawabannya: belum. Banyak alasannya, seperti: masyarakat tidak berminat membaca sastra, tulisan sastra tidak dipahami semua kalangan (bahasanya rumit), kesulitan akses buku, dll.
Bagi saya, ekpektasi karya sastra mampu mengubah perilaku masyarakat terlalu berlebihan. Kemungkinannya memang ada, tapi sebaiknya tidak berekspektasi terlalu besar. Apakah anda yakin karya sastra bisa mengubah seseorang dalam sekejap ?
Perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh banyak faktor. Sastra mungkin hanya satu dari sejuta faktor determinan lainnya. Semua informasi yang diterima seseorang (termasuk salah satunya karya sastra) akan mengendap dalam pikirannya yang membentuk pola pokir. Pola pikir itulah yang selanjutnya membentuk perilaku.
Jadi, kepada pegiat sastra sebaiknya fokus saja berkarya. Yakini saja, pasti ada orang yang menikmati karya Anda. (Asal jangan pernah berharap semua orang suka). Begitupun efeknya, pasti ada yang terinspirasi lalu berubah. Hanya saja, mungkin tidak banyak dan sulit terdeteksi dengan kasat mata.
Intinya berkarya saja, pasti ada manfaatnya.
***
Setiap kali #JalanMalam, saya selalu khawatir saat pulang. Benar saja, istri dan Gibran sudah tertidur. Saya mengetuk pintu, membangunkan mereka dengan perasaan tidak tega.
Begitu pintunya dibuka, lega rasanya. Lantas istri bertanya, "Tadi ikut diskusi apa ?".
"Sastra di NTT"
"Sastra itu apa ?"
"Sejenis makanan lokal", saya menjawab sambil pura-pura kantuk yang tidak bisa ditahan.
Menjawab hal yang tidak kita tahu baik itu memabukkan.
0 Komentar