Jalan Malam (2)*

Jalan Malam (2)
Suasana pesta nikah di Kupang
(*Tulisan ini diambil dari catatan facebook tanggal 21 Oktober 2017)

Catatan #JalanMalam yang saya buat, relatif belum banyak. Saya jarang sekali jalan malam. Saya merasa, malam waktunya beristirahat, bukan buat jalan-jalan. Apalagi semenjak bersama istri dan anak Gibran, keinginan untuk jalan malam menjadi sesuatu yang tidak mudah. Butuh perundingan yang alot. Bila argumentasi tidak menyakinkan, jangan harap diizinkan. Saya hanya bisa terpekur di sudut kamar bila hal itu terjadi.
Tadi malam, saya merasa lega. Setelah melalui lobi-lobi yang panjang, akhirnya diizinkan #JalanMalam. Saya pergi ke pesta pernikahan anak seorang kerabat. Lokasinya tidak jauh, sehingga cukup aneh bila tidak hadir.
Saya sebetulnya tidak suka pesta. Tapi, bukan berarti saya tidak suka dengan acaranya atau makanannya atau bertemu orang banyak. Bukan, bukan itu. Saya justru tidak suka karena tidak mampu menikmati semua hal yang tersedia di sana.
Saya mungkin hanya menikmati makanannya atau menikmati suasana saat orang bernyanyi, bergoyang atau berdansa. Saya, sulit sekali ikut berpartisipasi di lantai disko atau dansa. Sebenarnya ingin, tapi rasa itu lebih dahulu dibunuh oleh rasa malu dan ketidaktahuan. Rasa ingin yang tidak diimbangi dengan keberanian dan kemampuan, sungguh menyiksa batin.
Sehabis makan, saya bersama beberapa teman memilih duduk di sudut tenda pesta. Dari sana kami cukup leluasa menyaksikan ke seluruh arena. Sambil berbìncang, kami berusaha menikmati suasana gembiranya. Ada juga yang menikmati sambil merokok atau menenggak sopi sloki demi sloki.
Saya begitu kagum dengan orang-orang yang pandai berdansa. Gerakan badannya begitu lincah. Bandannya meliuk-liuk, seperti banyak sendi yang bisa berputar ke segala arah pada tubuhnya. Wajah mereka terlihat rileks, tampak tak memperhatikan langkah kakinya. Tapi, tidak pernah sedikitpun salah langkah yang menyebakan tabrakan dengan pasangannya. Indah sekali. Tanpa sadar, pinggang saya ikut bergoyang sebentar, tapi tidak berani berdansa yang sesungguhnya.
Lagu dansa diputar berkali-kali. Saya perhatikan, pasangan yang berdansa hanya orang-orang yang sama. Kesan saya, mereka suka sekali berdansa. Mereka tidak peduli dengan baju yang sudah basah oleh keringat. Ada satu pasangan yang kami perhatikan, tidak pernah absen saat lagu dansa berkumandang, serta tidak pernah mengganti pasangannya. Barangkali merekalah "Bintang kemah" tadi malam. Teman saya menyeletuk, "Mereka memang sudah ditakdirkan bakat berdansa".
Entahlah, saya tidak tahu apakah dansa itu termasuk bakat apa tidak. Saya hanya pernah mendengar, kalau orang Timor itu suka dan pandai berdansa. Banyak orang yang mengamini anggapan tersebut. Apapun itu, saya kira mereka patut berbangga dan berbahagia dengan kemampuan tersebut.
Selain dansa, ada pula jenis goyangan yang lain. Biasanya orang menyebut dengan istilah sesuai jenis atau lirik lagunya: Ja'i, Tobelo, Dangdut, Rock n roll, Tebe biasa, Tebe kancing, Dolo-dolo, Goyang dumang, dsb.
Teman-teman yang duduk sederet, biasanya ada yang berinisiatif mengajak bergoyang. Sebenarnya ingin berpartisipasi, tapi malu dan tidak tahu. Rasanya badan begitu kaku. Bila tidak malu, bagi saya, goyangan paling gampang itu ada dua: dangdutan dan tebe kancing.
Bila orang sedang bergoyang Tobelo, maka saya berdalih pada teman yang mengajak, "Tunggu lagu dangdut". Begitu terdengar lagu dangdut, saya segera berdiri, lalu duduk kembali. Teman saya tampak bingung. "Eh, belum panas e. Maunya pemanasan dengan tebe kancing dulu", saya beralasan lagi. Teman tadi sabar menunggu. Lagu tebe kancing terdengar, saya bilang sama teman, "Saya sebaiknya pergi kencing". Sudah kebelet sejak tadi, bagaimana bisa nyaman bergoyang kalau masih menahan kecing saat bergoyang tebe kancing.
Waktu terus berjalan, cepat sekali. Entah berapa ratus alasan yang saya sampaikan untuk menolak ajakan teman untuk bergoyang. Saya merasa kaget saat hp di saku celana bagian depan bergetar hebat. Saya cek, ada sms dari istri, "Su jam berapa neh ?". Hampir saja saya membalas pukul 00.00, tapi urung. Saya sadar, apa maksud dari pesan itu.
Saya buru-buru pamit pulang. Beruntung sampai di rumah masih dibukakan pintu. Tapi, raut wajahnya agak lain. Saya mengerti, ada yang tidak beres. Diam-diam saja, lalu tidur tanpa banyak komentar. Tidur yang tenang, tidak boleh macam-macam. Situasi sedang gawat.
Saat bangun pagi ini, saya pun bernyanyi:
Katakanlah..., sayang...
Apa yang, di dalam hatimu...
Jangan hanya diam, seribu bahasa....
Bila memang, ada problema..., dst.

Saat Gibran mendengar saya benyanyi, dia tersenyum aneh. Saya hanya bisa tersenyum kecut. Istri saya tampak tersenyum geli. Lalu kami terbahak-bahak. Masalah selesai, kasus ditutup. #JalanMalam yang malang.

Posting Komentar

0 Komentar