Jalan Malam (1)*

Jalan Malam (1)
Doa memohon rumah
(*Tulisan ini diambil dari catatan facebook tanggal 1 Oktober 2017)

Sementara rehat sejenak menuliskan serial #JalanPagi, bukan berarti saya tidak berjalan lagi. Saya tetap berjalan; tetap merasakan atau menikmati pengalaman setiap perjalanan itu; tetap 'mengikat' makna dari setiap peristiwa. Cuman, untuk sementara waktu belum ditulis sebagaimana biasanya.
Tadi malam saya keluar jauh dari rumah, melakukan sebuah perjalanan yang saya namai: #JalanMalam. Lokasinya tidak perlu saya bocorkan. Begitu pula orang yang berjalan sama saya maupun orang yang kami temui.
Saat kami tiba di depan rumahnya, bapak yang empunya rumah sedang menikmati secangkir kopi. Dia ditemani beberapa anak muda, yang pada akhirnya kami tahu kalau mereka menyewa kamar kost di sana.
Kami menyapa, bersalaman, lalu duduk setelah disilakan. Bapak yang kami temui ini belum begitu akrab. Semalam merupakan perjumpaan yang ketiga. Dua perjumpaan sebelumnya saya anggap kurang berkualitas. Sebab, hanya ketemu di keramaian acara kumpul bersama (pesta). Kami belum pernah ngobrol yang agak serius. Paling hanya sekedar menyapa.
Saya hendak menyampaikan tujuan kami bertandang, lalu berniat segera pulang. Tapi urung. Dia lebih cepat memanggil istrinya yang berada di dapur, "Ma, tolong buatkan kopi dulu".
"Tidak usah repot-repot Bapa", saya agak menyesal kalimat yang keluar begitu saja dari mulut.
Beruntung dia tidak begitu menghiraukan apa yang sampaikan. Istrinya keluar sebentar menyapa kami, lalu masuk kembali. Saya kira, istrinya mau menghitung berapa banyak kopi yang mesti dibuat.
Kami berbasa-basi sejenak. Tidak lama kemudian, istrinya keluar membawa 2 cangkir kopi dan pisang goreng. Saya lega. Saat menoleh, teman yang jalan bersama saya tersenyum. Saya paham apa maksud senyuman itu.
Begitu disilakan, kami segera menyeruput kopi tersebut, menyantap pisang goreng yang masih hangat. Saya tidak begitu kosentrasi lagi mendengarkan apa yang dibicarakan bapak tadi bersama teman saya.
Senja sudah padam. Angin laut berhembus dingin. Semua binatang sudah kembali ke peraduannya. Kami hangatkan malam dengan berbincang.
Situasi hening beberapa saat. Semua sibuk mengunyah pisang dan menyeruput kopi. Saya bingung mau bicara apa lagi. "Rumah ini lokasinya strategis sekali ya, Pak. Pemandangan laut bisa kita nikmati langsung dari teras", saya tidak merencanakan kalimat itu sebelumnya.
"Oh iya, saya mendapat tanah dan rumah ini dengan cara yang luar biasa. Sangat bersejarah", tegasnya dengan senyum sumringah.
Saya merasa lega, "Bisa diceritakan, Pak ?", lanjut saya meminta.
Dia menyeruput kopi, mengatur posisi duduk yang nyaman, lalu mulai berkisah.
"Dulu, tahun 99 kami pindah dari Dili. Kami kontrak rumah di dekat bundaran PU. Tahun berikutnya, pemilik rumah menaikkan harga sewa. Saya kesal dan mulai memikirkan bagaimana caranya agar memiliki rumah sendiri".
Istrinya muncul lagi dari balik pintu, mambawa sepiring biskuit. Sebagaimana biasa, kami langsung berbasa-basi, "Waduh, kenapa repot-repot sekali". Dalam benak tentunya senang sekali. Kami pun mendengar lanjutan kisah membeli rumah tadi.
"Sejak itu, saya dan istri setiap pulang kerja langsung jalan di seputaran kota Kupang, mencari tanah atau rumah yang dijual. Hasilnya nihil. Kalaupun dapat, harganya tidak cocok. Ada juga yang harganya sesuai uang yang kami siapkan, tapi saat hendak membayar, ada saja halangannya. Akhirnya tidak jadi beli".
"Terus, Pak ?!"
"Saya pun berpikir, kenapa tidak menulis surat ke atas saja", tangannya menunjuk ke langit, maksudnya kepada Tuhan. "Saya pun menulis surat permohonan mencari rumah, ditandatangani bersama istri, lalu diselipkan dalam Alkitab. Setiap malam, kami berdoa, lalu membacakan surat itu. Kami lakukan sungguh-sungguh. Bagi kami saat itu, rumah adalah segalanya".
Saya makin tertarik dengan kisahnya. Saya menyeruput kopi sekali lagi, kemudiannya mendengarkannya dengan khusuk.
"Dalam surat itu, saya mengharapkan pemilik rumah yang sedang kami kontrak, mau menjualnya kepada kami. Bagi kami, rumah itu cukup ideal. Tujuh hari kemudian, datanglah seorang tamu yang belum saya kenal. Dia memperkenalkan diri dan menyampaikan kalau dia hendak menjual rumahnya. Kami berangkat ke sini (rumah tempat kami duduk), lalu membicarakan soal harga. Dia menjual dengan harga murah, 28 juta saja. Waktu itu tahun 2002. Saya bersyukur, doa kami terkabul. Meskipun yang saya minta dalam doa bukan rumah yang ini, asalkan ada rumah saja. Tuhan memang luar biasa".
"Bapak tahu cara menulis surat kepada Tuhan seperti itu atas dorongan sendiri atau belajar dari orang lain ?", Saya makin penasaran.
"Saya mendengar pengalaman orang lain. Dia menggunakan cara seperti ini untuk mencari jodoh, dan berhasil. Kemudian, setelah saya, ada juga teman mencari rumah dengan metode seperti ini, dia juga berhasil. Dalam waktu dua minggu, sudah terwujud".
"Oh, jadi awalnya orang gunakan cara tadi untuk mencari jodoh ?", frasa 'mencari jodoh' itu sengaja saya beri penakanan khusus, sambil melirik teman seperjalanan tadi. Dia masih jomblo. Dia tersenyum pasrah, namun penuh makna.
"Iya, awalnya orang itu menggunkanan untuk cari jodoh. Berhasil. Lalu, kami coba untuk cari rumah, dalam seminggu sudah dikabulkan. Asalkan kita sungguh-sungguh dan yakin. Sampai saat ini, surat itu masih saya tempel dalam Alkitab".
"Kami boleh lihat ?", pinta saya dengan nada memohon.
Dia berdiri, bergegas masuk ke dalam rumah. Sekitar 2 menit, dia kembali dengan Alkitab di tangan. Memang, Alkitab itu sudah tampak lusuh. Menandakan sering dipakai atau dibaca. Dia mulai membuka halaman-halaman kitab suci itu secara perlahan. Saking lamanya, dia lupa pad injil apa dia selipkan surat itu.
Saya bantu mencarinya. Ternyata, surat itu ditempelkan pada Injil Lukas Bab 12. Surat itu berisi tulisan tangan. Paling atas sebuah perikop injil: Lukas 12: 2-3. Selanjutnya berisi kutipan sesuai perikop injil tersebut. Setelahnya ada permohonan untuk dapatkan rumah. Kemudian diakhiri tanda tangan bapak tadi bersama istrinya. Tentu saja disertai nama lengkap. Saya hanya bisa manggut-manggut, kemudian mohon ijin untuk foto.
Saya berbisik ke teman yang duduk tepat di samping, "Semoga segera dapat jodoh". Dia hanya menyengir. Mungkin dia bahagia, sudah ada jalan.
Sehabisnya kopi dalam cangkir, kami sampaikan maksud kedatangan, lalu pamit pulang. Setiba di rumah, istri membuka pintu dengan langkah yang enggan. Gibran sedang digendong sambil menyusui. "Ini kan malam minggu, kenapa tidak pulang agak larut saja ?" tanya istri sebelum saya mulai bicara. Nada pertanyaannya agak serem. Saya yakin, dia tidak butuh jawaban dari pertanyaan itu. Hening.
Pesan moralnya: Hati-hati kalau #JalanMalam

Posting Komentar

0 Komentar