Gibran's Daily Activity (12)*

Gibran's Daily Activity (12)
Gibran setelah rambutnya dicukur
(*Tulisan ini diambil dari catatan facebook tanggal 27 November 2017)

Pagi ini saya terbangun akibat ulah Gibran. Saya kaget, tiba-tiba saja terasa ada air hangat terparcar di perut. Saya kaget. Dari mana datangnya air itu ? Setelah saya cek, ternyata itu air pipis Gibran. Sial betul.
Saya hendak memarahinya. Tapi urung saat melihat dia masih tertidur. Matanya masih terpejam. Hanya sesekali dia menggeliat. Saya merasa geli saat melihat dia tersenyum sementara matanya terpejam. Saya tidak mungkin menyalahkannya.
Saya bangunkan ibunya dan bertanya sekaligus menyalahkan dirinya, kenapa Gibran dibiarkan tidur tanpa bercelana ?
Ibunya menjelaskan kalau tengah malam Gibran terbangun. Saat diperiksa, ternyata celananya basah. Makanya dilepaskan, tapi tidak sempat mengenakan celana lagi.
Saya marahi ibunya. "Jangan dibiasakan seperti itu. Gibran harus selalu bercelana. Bila tidak, pipisnya bisa bermanuver ke mana saja. Anunya belum tertib. Beruntung tadi hanya terpancar ke perut, coba kalau ke wajah saya ?".
"Baguslah kalau kena di wajah, biar bisa merasakan asin-manisnya kehidupan", jawab ibunya sambil tertawa puas.
Saya merasa gagal untuk marah. Saya makin jengkel saja.
***
Saat Gibran sudah bangun, saya coba marah-marah meski saya tahu dia belum memahami dengan baik maksudnya. Dia malah tertawa. Seolah-olah dia puas dengan apa yang telah diperbuatnya.
Saya jengkel, makanya biarkan dia tetap tak bercelana meski sudah diminta ibunya berkali-kali yang sibuk di dapur.
Dia mulai main-main. Dia mengangkat kedua kakinya, hingga ujungnya menyentuh wajah. Bahkan kadang-kadang jempol kakinya dia hisap. Saat kedua kaki menyentuh wajahnya sendiri, saat itu pula dia pipis lagi. Arah pancaran pipis tepat mengenai wajahnya sendiri.
Saya terbahak-bahak. Ibunya terbirit dari dapur, ingin tahu apa yang sedang terjadi. "Dia pipis kena wajahnya sendiri", saya melapor dengan perasaan puas, "Makanya kalau pipis itu mesti tertib, Gibran !".
Ibunya memarahi saya sambil sibuk menyeka wajah Gibran serta mengeringkan bekas pipis di perlak. Saya membela diri, tidak mau disalahkan.
Saya perhatikan, Gibran masih saja tersenyum. Kadang tertawa saat ibunya merajuk. Dia belum paham apa itu keselahan menurut pemikiran orang-orang dewasa. Bahagianya menjadi Gibran. Bisa tersenyum dan tertawa, tanpa harus terbenani dengan pikirannya sendiri, yang pada orang dewasa biasa terjadi akibat situasi di sekitarnya.
Ibunya tetap merajuk. Dia melihat saya dengan tatapan ejek, "Dasar kalian laki-laki, suka tidak tertib kalau tidak bercelana".

Posting Komentar

0 Komentar