Gibran's Daily Activity (10)*

Gibran's Daily Activity (10)
Gibran sekeluarga bersama boneka Mickey
(*Tulisan ini diambil dari catatan facebook tanggal 19 November 2017)

Mamanya Gibran protes saat saya belikan boneka. "Masa Gibran mainannya, boneka ?" Saya tidak mau kalah, "Apanya yang salah ?" Dia berdalih, "Boneka itu untuk nona-nona".
Ah, ada-ada saja. Masa boneka dibatasi sesuai jenis kelamin ? Padahal, boneka itu sendiri netral, tidak berjenis-kelamin sama sekali. Coba cek sendiri !
Saya tidak pernah merencanakan sebelumnya. Saat jalan ke pusat perbelanjaan, saya melihat sekumpulan boneka yang bermacam-macam. Saya jatuh hati sama Mickey Mouse alias si tikus bernama Mickey. Saya tidak pernah membaca atau menonton figur kartun tersebut. Entah kenapa, saya suka saja bentuknya, lantas membelikan buat Gibran.
Setelah merenung-renung, ternyata figur tikus itu memiliki "hubungan" sejarah dengan kehidupan saya.
Pertama, dalam suku kami (Suku Perang-Aur) memiliki pantangan (tidak boleh makan) tikus. Menurut cerita orangtua, nenek moyang suku kami dulu pernah berhutang budi dengan tikus. Sebagai bentuk penghargaan, mereka pun berjanji, seluruh keturunan selanjutnya tidak akan makan tikus. Bila dilanggar, maka akan mendapat bala penyakit. Bila terlanjur makan dan ingin menghindari bala, maka orang tersebut harus memanggul lesung penumbuk pagi, lalu jalan mengelilingi kampung sambil menyampaikan kata-kata maaf. Dari cerita itulah saya menganggap tikus termasuk kerabat atau sahabat kami. Pilihan saya pada si Mickey sudah tepat.
Kedua, saat SD saya juga mempunyai buku cerita favorit. Jika tidak salah, judulnya "Tikus kampung dan tikus kota". Bukunya sangat menarik bagi saya saat itu. Ceritanya sederhana dan dipenuhi gambar ilustrasi yang menarik. Saya gampang memahami kisah dan makna yang terkandung di dalamnya.
Ketiga, saya juga bercita-cita menjadi pencerita anak (minimal untuk Gibran). Biasanya setiap pencerita handal selalu dibantu sebuah boneka dalam menyampaikan pesan. Contohnya: Ria Enes dan boneka Susan-nya. Saya pun demikian, dan memilih Mickey sebagai "teman" atau alat bantu bercerita.
***
Saya pernah menceritakan ulang cerita "Tikus kota dan Tikus kampung" kepada Gibran dengan melibatkan si Mickey. Saya hanya mengingat cerita secara garis besarnya saja. Bukunya pun tidak saya punyai lagi. Saya terpaksa mengarang sesuai keinginan sendiri tanpa mengurangi inti dan pesan cerita aslinya.
Ceritanya kurang lebih seperti ini:
Ada 2 ekor tikus bersaudara. Satunya tinggal di kampung. Satunya lagi pergi merantau dan kini menetap di kota.
Tikus kampung, tinggalnya di pematang sawah yang kering. Rumahnya dibuat dengan cara mengeruk tanah sedalam mungkin. Dia mengeruk dengan gigi dan kuku kakinya. Dari luar, lubangnya kecil sebagai akses keluar-masuk. Kemudian terdapat ruangan yang cukup luas. Di sanalah tikus itu makan dan beristirahat.
Rumah tikus kampung hanya berupa tanah yang berlobang. Supaya hangat, tikus kampung mengambil jerami dan sampah-sampah. Lumayan nyaman bagi seekor tikus kampung.
Tikus kampung mendapat makanan dari hasil pertanian di sekitar tempat tinggalnya. Dia harus keluar-masuk dari sarangnya, lalu berjalan cukup jauh untuk mencari makan.
Karena sering beraktivitas (mengeruk tanah dan mencari makan), tikus kampung itu tampak kekar berotot, kuat dan bisa berlari kencang.
Sementara tikus kota, rumahnya sangat lux, sebuah gudang di rumah seorang yang kaya raya di kota itu. Di gudang itu terdapat kasur busa yang tidak digunakan lagi. Di sanalah dia tidur dengan nyenyak. Suhu udaranya selalu terjaga, tidak terlalu dingin atau terlalu panas.
Bila ingin makan, tikus kota hanya melongok lewat sebuah lubang di pintu gudang. Bila di meja makan orang kaya itu masih ada sisa makanan, itulah makanan yang dia santap. Makanannya enak-enak. Ada keju, ayam goreng, ikan panggang, es krim, puding dan berbagai jenis makanan enak lainnya. Dia selalu makan dengan lahap dan banyak. Setelah makan, dia ke tempat istirahatnya yang empuk dan beristirahat. Tidak heran bila tikus itu sangat gemuk. Perutnya melar diisi lemak. Akibatnya, gerakannya kurang lincah bila dibandingkan tikus kampung.
Suatu saat, tikus kampung itu ingin mengunjungi saudaranya tikus kota. Dengan bantuan alat komunikasi tikus, tibalah tikus kampung itu di kota.
Tikus kota menjemput saudaranya itu di gang luar rumahnya. Mereka berjalan melalui saluran, kemudian masuk ke sebuah pipa yang gelap, dan tibalah mereka di rumah tikus kota.
"Cckckck..., rumahmu sangat besar dan mewah", puji tikus kampung sambil berjalan hati-hati. Dia hampir terpeleset saat berjalan di ubin.
Tikus kota hanya tersenyum, "Ah, cuman begini saja saudara, biasa-biasa saja". Dia menunjukkan lingkungan rumahnya pada tikus kampung. Setelah berkeliling, tikus kota berkata, "Kamu bisa tinggal di sini selamanya bila kau mau".
Tentu saja tikus kampung bahagia mendengar tawaran itu. Apalagi saat diajak menyantap hidangan di meja makan rumah mewah tersebut. Tikus kampung baru pertamakali melihat makanan seperti itu. Banyak dan lezat-lezat. Malam itu keduanya sangat kenyang dan tidur pulas di kasur yang nyaman. Tikus kampung merasa seperti hidup di surga.
Beberapa hari berikutnya, mereka menghadapi sebuah masalah. Ada seekor kucing yang selalu memantau di sekitar meja makan. Keberadaan kucing menyulitkan mereka menyantap hidangan seperti biasa.
Malam itu, mereka menunggu hingga kucing itu tidur. Setelah merasa aman, keduanya merangkak tanpa suara ke meja makan. Saat di meja, semua makanan ditutupi piring. Saking laparnya, tikus kota tidak sengaja menyenggol piring kecil sehingga berbunyi cukup keras.
Saat bersamaan terdengar langkah kucing mendekat. "Kabuuurrr...!!!!", teriak kucing kota mengingatkan kucing kampung. Mereka lari berhamburan tanpa arah yang jelas.
Kucing kampung bisa berlari dengan kencang karena badannya masih ramping. Sedangkan tikus kota agak lamban.
"Craakkk..!!!", terdengar bunyi keras dan diikuti jeritan suara keras. Tikus kampung benar-benar kaget saat merasakan nyeri hebat pada bagian ekornya dan membuat dia hanya berlari di tempat. Dia terperangkap dalam jebakan tikus. Ekornya tertendes besi tajam.
Dia melihat tikus kota hampir masuk ke ruangan tidur mereka. Saat menoleh ke belakang, dia melihat 2 bola mata yang menyala dalam gelap. Dia terus berontak hingga ekornya terputus, kemudian menyusul tikus kota.
Lidahnya menjulur keluar saat tiba di ruang tidur. Kucing tidak bisa melewati lubang kecil yang mereka lalui. Dari lobang itu, tikus kampung melihat kucing masih mondar-mandir di luar.
Tikus kampung memaki tikus kota, "Hampir mati kita !!!"
Tikus kota tidak banyak bicara. Dia berusaha menghentikan perdarahan saudaranya. Setelah darahnya kering, dia menghela napas panjang dan berkata, "Beginilah hidup di kota. Kelihatan sepertinya mewah dan enak-enak saja. Padahal penuh risiko bila tidak berhati-hati. Akibatnya bisa fatal".
"Saya menyesal berada di sini", kata tikus kampung, "Tinggal di kampung lebih aman dan tentram".
Keesokan paginya, tikus kampung berpamitan sama tikus kota. "Maaf saudara, saya lebih memilih tinggal di kampung", katanya sebelum berangkat.
****
Masihkah ingin hijrah ke kota ???

Posting Komentar

0 Komentar