![]() |
Gibran dan Ibunya (Anyk Astuti) |
(*Tulisan ini diambil dari catatan facebook tanggal 23 September 2017)
Nak kamu mesti tahu, dulu saat saya masih kecil, Opa mu yang di Pela - Lembor itu selalu menceritakan pengalaman naik pesawat terbang. Beliau mungkin baru satu atau dua kali berpergian jauh menggunakan pesawat terbang, tapi bangganya luar biasa. Itu bisa ditafsir dari sering beliau bercerita. Berulang kali. Setiap kali berkisah, beliau sangat bersemangat. Saya juga selalu antusias mendengarkannya.
Hingga suatu ketika, setelah tamat SMA dia menawarkan saya menggunakan pesawat terbang asalkan kuliah di Kupang. Saya mengiyakan saja saat itu, demi naik pesawat terbang. Saat itulah pertama kalinya saya merasakan sensasinya.
Kamu Nak, hari ini sudah merasakan pengalaman itu. Dini sekali, saat kamu berusia 4 bulan lebih 5 hari. Saat saya telepon tadi, Opa menjawab dengan suara yang takjub. Dia tentunya bangga, tidak hanya anak, beliau juga bisa menerbangkan cucunya ke Kupang.
Kelak mungkin engkau akan mendengar orang berkisah, naik pesawat terbang itu biasa saja. Sebagian orang menganggap seperti itu, tapi tidak bagi kita Nak. Kita mesti terbiasa dengan hal-hal sederhana seperti itu dengan sikap yang tidak sederhana. Belajar sederhana itu tidak sederhana Nak, berbanggalah.
Sebagaimana sebait syair dari Eyang Sapardi Djoko Damono, saya juga demikian Nak:
"Aku ingin mencintai mu dengan sederhana...."
***
Saat berjumpa di terminal kedatangan, saya langsung mengecup kening Gibran, juga ibunya. Saya memanggil namanya, menyapa sambil khawatir menantikan reaksinya. Dia tertawa. Saya lega. Lalu saya sampaikan, "Saya bapa mu, Nak". Dia hanya ketawa. Saya lega. "Ajar saya jadi ayah, Nak".
Dalam mobil menuju ke rumah, saya selalu mengajaknya berinteraksi. Saat tangan membelai pipinya, tangan saya dia genggam kuat. Genggaman yang menenangkan. Saya lega dan senang. Saat melihat ibunya, saya tegang.
0 Komentar