Tinggalkan Jejak dengan Berliterasi

Tinggalkan Jejak dengan Berliterasi
Diskusi tentang gerakan literasi di NTT bersama Komunitas Secangkir Kopi

Saya agak ragu memasuki rumah yang diinformasikan sebagai lokasi kegiatan. Bagaimana tidak, suananya tampak sepi. Hanya ada sebuah 'pondok' yang dihiasi sederhana, belasan kursi yang ditata bentuk lingkaran, dan sekitar 5 orang yang sedang duduk bercengkerama. Saya membatin, apakah ini tempat diskusi yang benar sesuai yang diinformasikan lewat media sosial ?

Dengan langkah ragu, saya coba mendekati mereka yang sedari tadi berkumpul, "Mohon maaf Pak, apa ini benar tempat diskusi mengakarkan literasi di NTT".

Mereka kompak menjawab, "Ia, mari sudah...". Saya disambut dengan antusias dan ramah. Kami langsung bersalaman, menginformasikan nama serta latar belakang masing-masing secara singkat.

Saat itulah, untuk pertama kalinya saya bertatap muka langsung dengan Pimpinan Umum Media Pèndidikan Cakrawala (MPC) NTT, Ka'e Richarno Gusty; pegiat literasi Flores Timur / Ketua Agupena Flotim / Sekretaris PGRI Flotim / sekaligus sebagai salah satu narasumber utama, Kaka Maksimus Masan Kian; Pater Oce, sebagai narasumber utama juga; pimpiman redaksi MPC NTT -Kaka Edy-, bersama beberapa crew yang sempat hadir; serta Presiden, wapres, dan menteri kabinet Komunitas Secangkir Kopi sebagai penyelenggara acara (Kak El Ro Kapitan, Cs); serta masih banyak juga yang lainnya.

Atmosfer di sana sangat positif. Semua orang yang saya jumpai sangat ramah. Indikatornya jelas, sering tersenyum dan tertawa. Mereka sangat energik dan antusias. Bicaranya menggebu-gebu; isi bicaranya bernas; selalu membicarakan ide, bukan nama orang; dan hal terpenting, mereka manghargai orang lain.

Sejujurnya saya canggung berada di antara mereka. Saya hanyalah sebotol laru di antara minuman berkelas/berlabel lainnya. Mereka adalah tokoh yang sudah dikenal banyak orang, konsisten mengakarkan gerakan literasi di daerah tercinta, NTT. Motivasi saya berani mendekati mereka adalah untuk belajar. Belajar langsung dari para guru yang mencerahkan sekaligus menggerkan semangat.

Waktu terus berlalu. Dugaan awal saya tentang diskusi yang kurang berkesan karena minimnya peserta, ternyata keliru. Kurang lebih 30 menit kemudian, puluhan peserta datang memenuhi arena acara. Mereka berasal dari organisasi kepemudaan Katolik, OMK Paroki Tarus - Kupang. Baru saat itu saya melihat antusiasme yang ditunjukkan anak muda dalam berdiskusi, khususnya tentang literasi. Tapi, saya segera paham setelah tahu pembina mereka adalah Kae Richarno Gusty. Kunci pergerakan anak muda, ada sama beliau.

Acara pun dimulai setelah kehadiran mereka. Kae Gusty memperkenalkan secara umum -mulai dari tamu atau narasumber, moderator, MC, pimpinan dan crew MPC NTT, dan Presiden bersama staff Pondok Secangkir Kopi-, kepada OMK dari Paroki Tarus.

Selanjutnya, acara dipandu oleh Kak KotakPensil Gracella. Beliau telah saya ikuti dalam pergaulan di FB. Dikenal sebagai penulis, dan tentunya sebagai penggerak literasi di NTT juga.

Acara diawali sambutan singkat dari Presiden komunitas secangkir kopi, Kak El Ro Kapitan. Beliau mengisahkan awal muda lahirnya komunitas tersebut, serta kiprah yang telah mereka lakukan bersama selama ini. Sebuah komunitas yang selalu menghadirkan kegiatan positif, dan tentu saja berdampak bagi orang lain. Istimewanya lagi, mereka melakukannya tanpa pamrih. Lalu, bagaimana bisa dijalankan tanpa dana, padahal setiap tamu yang datang disuguhi secangkir kopi ?

Ternyata, sudah banyak yang mendukung langkah anak-anak bersemangat muda tersebut. Ada saja tamu yang membawa oleh-oleh seperti kopi, gula, gorengan dan sebagainya. Mereka hanya manfasilitasi semua potensi positif yang ada. Saya akui, mereka keren sekali.

Setelah itu, diskusi pun dimulai, dipimpin oleh moderator yang bernama Kak Rian. Beliau merupakan bagian atau salah satu crew dari Komunitas Secangkir Kopi. Seorang seniman yang tidak hanya piawai mengharmonikan nada, tapi juga piawai mengharmonikan gagasan lewat settingan diskusi yang rapi.

Belajar dari Pengalaman Baik Gerakan Literasi di Flotim

Narasumber pertama, Pak Maksi yang sudah saya perkenalkan di awal tulisan ini, diberi kesempatan berbicara selama kurang lebih 20 menit. Tanpa menggunakan bantuan laptop atau catatan sebagai contekkan, beliau berbicara mengalir begitu saja. Itu pertanda, gerakan literasi sudah menjadi seperti bernapas baginya. Beliau berbicara penuh semangat. Intonasi suaranya pas, sesuai makna yanh ingin di sampaikan. Mimik dan gerakan anggota tubuh juga semakin mayakinkan kami, kalau beliau benar-benar ingin mengakarkan gerakan literasi di NTT. Dia tidak mau hanya terjadi di daerahnya saja. Semua wilayah, perlu ditulari virus-virus literasi.

Dalam kesempatan tersebut, Pak Maksi mengisahkan tentang dampak positif dari kegiatan berliterasi, buah perjuangan mereka selama ini. Singkatnya begini:

Saat ada fasilitas publik yang rusak parah, mereka tuliskan di berbagai media. Tidak lama kemudian, pemerintah melakukan perbaikan.

Saat mereka butuh banyak buku bacaan atau dukungan lain berkaitan dengan kegiatan literasi, informasinya dituliskan di berbagai media. Tidak lama kemudian, ada saja òrang atau organisasi yang membantu mereka.

Sebagai guru, anak didik mereka pun banyak yang berprestasi. Ada murid yang menjuarai lomba menulis tingkat nasional.

Dan masih banyak pula dampak yang lain, baik yang diperkirakan maupun tidak diperkirakan sebelumnya.

Dampak positif itu mereka raih setelah menjadikan literasi sebagai gerekan bersama. Bentuk kegiatan mereka pun terlihat sederhana dan bisa diikuti atau ditiru oleh siapa saja. Mereka melakukan pelatihan jurnalistik (bekerjasama dengan MPC NTT); mendirikan pondok atau taman baca; mendatangkan serta mendistribusikan buku; mengadakan lomba menulis; menulis buku bersama dan lainnya. Mereka juga tekun melakukan pendekatan dengan pemda, sehingga dalam waktu dekat akan mendeklarasikan Flotim sebagai kabupaten literasi.

Pak Maksi pun meyakinkan kami, berliterasi itu penting dan bisa dipelajari oleh siapa saja. Asalkan konsisten, hasil positif akan segera diraih. Karenanya beliau mengharapakan setiap peserta yang hadir, bisa mengakarkan gerakan literasi di lingkungannya.
Foto bersama narasumber (Paling kiri: Pater Oce dan Kedua dari kanan: Pak Maksi)
Anak Muda Katolik, Tinggalkan Jejak Yang Baik di Bumi !

Pater Oce, yang memberikan materi diskusi yang kedua, mengingatkan OMK Tarus akan pesan Bapa Suci (Paus). Inti pesannya begini: Anak muda harus meninggalkan jejak yang baik salama di bumi. Jejak itu bukan yang dibuat atau dilakukan oranh lain terhadap kita, melainkan jejak yang dibuat sendiri, secara mandiri.

Pater mengingatkan agar anak muda Katolik selalu berperilaku positif. Anak muda yang beriman, rajin berdoa; anak muda yang berilmu, rajin belajar; anak muda yang berkarakter mulia; anak muda yang tahu tujuan hidupnya; anak muda yang selalu ingat pesan orang tua; dan harapan positif lainnya.

Cara termudah meninggalkan jejak yang baik di bumi, adalah dengan berliterasi. Banyak membaca, hadirilah diskusi. Observasi lingkungan sekitarmu. Tuliskan apa saja yang menjadi kegelisahanmu. Perngunakan media yang ada, khususnya media sosial dengan postingan yang positif sehingga berguna bagi bagi banyak orang.

Itulah ringkasan pesan yang disampaikan Pater Oce. Suasana menjadi riuh saat beliau bicara. Banyak celetukannya yang membuat peserta terpingkal-pingkal. Rasanya selalu ingin mendengar dia bercerita, tapi apa daya, semua dibatasi waktu.

Pada sesi diskusi, suasana makin hidup. Peserta aktif bertanya atau menceritakan pengalaman mereka berliterasi. Antusiasme itu, membuat para penggagas acara berencana lakukan kegiatan lanjutan yang berkaitan. Semua antusias dan optimis mengakarkan gerakan literasi di NTT.

***
Peserta diskusi diibaratkan bibit-bibit unggul yang telah dipersiapkan secara baik. Tinggal ditaburkan saja di tanah yang baik (tidak berbatu atau pun bersemak belukar). Mari kita saksikan bagaimana mereka bertumbuh sebagai manifestasi dari 'akar literasi' yang paten. Semoga...
Terima kasih untuk semuanya...Gbu

Posting Komentar

0 Komentar