Pembicaraan Langit

Foto Bersama Pater David Jerubu, SVD (Ketua Stikes St. Paulus - Ruteng)
Setiap berpergian dengan moda pesawat terbang, saya tidak suka pilih-pilih maskapai. Simpel saja. Saya buka situs pembelian tiket online, lalu memilih maskapai denga harga termurah.

Proses check-in, saya serahkan sama petugas di bandara. Saya tidak pernah memohon untuk duduk di kursi dengan nomor tertentu; duduk berpasangan dengan seseorang; duduk dekat jendela atau pintu darurat. Apa yang telah ditetapkan oleh petugas, saya ikuti saja. Semua itu tentunya baik, anggap saja bagian dari kehendak Tuhan YME.

Begitu pula yang terjadi kemarin (17/07/17), saat berangkat dari Bandara Komodo - Labuan Bajo menuju Kota Kupang.

Seorang pramugari berpenampilan menarik nan ramah menyambut saya di pintu masuk pesawat. "Kursinya nomor berapa, Mas ?"

Saya segera merogoh saku celana bagian depan, kemudian menarik secarik kertas putih. Setelah meneliti, saya berkata, "17F Mbak".

Pramugari segera mempersilakan saya ke tempat yang dicari. Tempat duduk saya berada pada sisi kanan pesawat terbang, dekat dengan jendela. Seorang bapak yang sejak tadi duduk di kursi dekat lorong tengah, mempersilakan saya masuk.

Setelah memantapkan posisi pantat di kursi; menggunakan sabuk pengaman dan mengencengkannya; saya menoleh ke bapak yang duduk di samping kiri sambil tersenyum. Dia membalas pula dengan senyuman ramah.

"Mau ke Kupang, ya ?" Dia coba menerka.

Saya menggangguk. "Kalau Bapak, mau ke mana ?", Saya balik bertanya.

"Saya mau ke Bali, tapi transit di Kupang dulu".

"Oh.." kemudian perhatian saya teralih lagi ke arah pramugari yang sibuk mondar-mandir dalam pesawat. Sengaja mata saya fokuskan ke mereka, menantikan peragaan petunjuk keselamatan. Hal itu lebih penting tentunya.

Saat lepas landas dari Bandara Komodo, saya sungkan mengajak teman duduk tadi untuk berbicara. FYI (supaya Anda tahu), saya tergolong tipe orang yang introvert (Pemalu dan pendiam). Bila bertemu orang asing, saya akan bicara bila ditanya atau diminta. Saya agak pasif dalam berkomunikasi.

Saya memperkirakan, Bapak yang duduk bersebelahan ini bukanlah orang biasa. Kalau bukan pejabat daerah, mungkin pebisnis sukses. Pakaian yang digunakan terbuat dari bahan yang tebal dan lembut. Sepatunya mengkilat, entah terbuat dari kulit apa. Kulitnya juga bersih dan wajah tampak bersinar. Paduan kacamata menambah kesan, beliau juga orang yang cerdas.

Saya semakin sungkan mengajaknya berbicara. Lebih baik diam-diam saja, pikir saya saat. Saya alihkan perhatian dengan membaca majalah. Sesekali saya menoleh, Bapak tadi tampak diam-diam saja. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Ah, sudahlah. Bukan urusan saya juga.

Pesawat yang kami tumpangi singgah di Bandara Soa-Bajawa. Pengalaman detik-detik menjelang landing, sungguh bikin ngeri. Guncangan-guncangan kecil pada badan pesawat, dipadu dengan pemandangan tebing yang curam di bawahnya, sungguh sulit diungkapkan dengan kata-kata lagi. Telapak tangan dan kaki saya berkeringat hingga basah.

Begitu roda pesawat menyentuh landasan pacu, barulah bisa bernapas legah meski pesawat belum berhenti sempurna. Saya perhatikan Bapak yang di samping, beliau juga tampaknya merasakan hal yang sama. Saya tersenyum, dia membalas dengan ramah.

Saat pesawat berhenti dan penumpang yang turun di Bandara Soa mulai keluar satu per satu, Bapak tadi tiba-tiba bertanya lagi setelah tidak saling bicara selama 45 menit penerbangan Labuan Bajo - Bajawa.

"Pak, kerja di Kupang ?"

"Ia Bapa" saya menjawab dengan hati-hati. Saya takut menimbulkan kesan tidak sopan.

"Kerja apa di sana ?"

"Saya mengajar di sekolah perawat, Bapa.."

Bapak tadi langsung menepuk paha saya sambil tertawa. Kelihatannya sangat antusias. Saya senang campur bingung.

"Kalau Bapak, kerja di mana ?" sergah saya penasaran.

"Sama Pak, kebetulan saya yang memimpin Stikes St. Paulus - Ruteng"

Saya langsung menyalami beliau dan menerka, "Kalau begitu, Bapak Pater David ?"

Dia tersenyum mengiyakan. Saya langsung menyalami lagi sambil meminta maaf, "Saya sudah lama mendengar nama Pater, tapi baru kali bertemu langsung. Maaf Pater..."

Beliau hanya tersenyum. Dalam benak saya berpikir, pantasan tadi saat lepas landas dari Bandara Komodo, beliau tampak berdoa khusuk.

Begitu tahu beliau merupakan pengelola pendidikan tinggi keperawatan, saya pun mulai bertanya banyak hal. Puji Tuhan, beliau mau menjawab setiap pertanyaan saya dengan baik. Mimik wajahnya serius. Saya merasa dihargai. Pertanyaaan-pertanyaan lain semakin bermunculan dalam kepala.

Kami berbicara banyak hal. Mulai dari persoalan yang sering dialami institusi pendidikan tinggi keperawatan; hingga hal-hal yang berkaitan dengan urusan pribadi.

Saya semakin senang saat beliau memberi wejangan khusus. Beliau memberi saran mengenai jalan yang mesti saya tempuh pada masa-masa yang akan datang. Bagaimana mencari peluang dapatkan beasiswa; melanjutkan pendidikan di kampus favorit; dan sebagainya. Beliau meyakini saya kalau masa depan akan cemerlang bila kita berusaha sungguh-sungguh.

Pembicaraan yang berkualitas itu rasanya berlangsung singkat. Saya tidak menyadari lagi sensasi ngeri saat lepas landas dari Bandara Soa - Bajawa. Saya juga tidak merasa cemas, meski sudah berada di ketinggian berapa ribuan kaki di atas permukaan laut.

Bagi saya, momen tersebut bolehlah dinamakan pembicaraan langit. Kami mengobrol saat berada dalam pesawat yang menerjang langit. Kami pun membicarakan tentang impian yang melangit. Impian kami, sama-sama bagaikan langit tanpa batas.

Begitu mendarat di Bandara Eltari, dengan ragu-ragu saya minta foto bersama. Ternyata beliau menerima ajakan saya dengan antusias. Lihat saja ekspresi senyumannya di foto yang saya sertakan dalam postingan ini, begitu sumringah.

Pertemuan saya dengan Pater David yang cuma sebentar itu, menimbulkan kesan tersendiri. Bagi saya, Pater David merupakan sosok yang rendah hati. Cocok sekali dipadu dengan kecerdasannya sehingga sangat pantas memimpin salah satu sekolah tinggi di Manggarai.

Bayangkan saat hendak turun dari pesawat, beliau ambilkan tas saya yang tersimpan di kabin bagian atas. Beliau juga membantu ambilkan tas penumpang yang lain. Saya semakin kagum dan menaruh hormat sama beliau.

Begitu tiba di rumah, saya lihat kembali foto bersama beliau. Saya bertanya dalam hati, "Apakah ini hanya sebuah kebetulan ? Atau inikah sebuah pertanda ?"

Entahlah...

Yang jelas, dahulu Tuhan Yesus selalu memberi tanda bila akan terjadi sesuatu. Saat itu, saya tidak menyesal lagi dengan harga tiket yang melambung kemarin.

Posting Komentar

0 Komentar