AYAH

Anak Ayah sudah semakin dewasa. Terima kasih Ayah.
Tetangga saya, salah satunya seorang pemuda berusia 20-an tahun. Dia tinggal bersama 3 orang adiknya yang masih kuliah. Orang tua mereka tinggal di luar pulau Timor, sesekali saja datang berkunjung. Selama ini, Ayahnya yang sering datang.

Kalau pagi-pagi terdengar musik dengan volume keras, itu menandakan Ayahnya sudah pulang kampung. Tanda lain yang bisa dilihat, pemuda tadi biasanya merokok bebas di depan rumah. Kadang-kadang juga minum sopi (alkohol) bersama teman-temannya.

Beda kalau Ayahnya ada bersama mereka, suasana tampak hening. Pemuda itu juga tampak lebih alim, tidak terlihat merokok, dan teman-temannya yang biasa datang minum sopi tidak akan muncul.

Saya memperhatikan pola seperti itu terjadi berulang-ulang. Saking terbiasa, saya tidak perlu lagi konfirmasi, "Bapa ada datang ko Bro ?" atau "Bapa su pulang ko Bro ?". Saya bisa tahu keberadaan ayahnya lewat pola-pola tadi.

Perilaku pemuda tadi, menunjukkan dia sangat "takut" atau segan dengan ayahnya. Dia berusaha menunjukkan sikap yang baik di hadapan ayahnya. Tapi tidak berguna, karena hanya berpura-pura saja. Saya yakin, setiap Ayah mendambakan anaknya jujur serta bertutur dan berperilaku baik.

Ketakutan yang ditunjukkan pemuda itu, menggambarkan ayahnya merupakan sosok yang "keras". Dalam artian, ayahnya mengharuskan anak-anak mengikuti aturan yang sudah ditetapkan dalam keluarga. Apabila dilanggar, sudah pasti dikenai sanksi tegas, seperti dipukul dan sebagainya.

Hal itu pun sudah saya konfirmasi langsung dari pemuda tadi, saat kami menikmati kopi sambil ngobrol. Dia mengaku, ayahnya tergolong galak. Mereka dididik sejak kecil untuk bekerja keras, minimal belajar hal-hal yang ayahnya biasa kerjakan.

Mereka punya angkot di kampung. Dulu, ayahnya sendiri yang menjadi sopir. Pemuda tadi pun diajak jadi konjak (kenek) dan dilatih menyetir. Kegiatan itu tidak mengganggu sekolah, karena hanya dilakukan saat libur atau sore hari.

Begitupula saat angkotnya mogok. Ayahnya bisa memperbaiki sendiri. Pemuda tadi juga diajar bagaimana memperbaiki mesin mobil maupun motor. Dia mengaku, kadang-kadang ayahnya sangat menjengkelkan. Kalau ada kesalahan sedikit, saya dipukuli pakai kunci inggris di kepala.

Begitu pula saat dirinya diajar kerja bangunan rumah, atau bangunan apa saja. Kalau malas atau salah bekerja, pasti kena hajar dari ayahnya.

"Rasanya ingin lari saja, tapi saya tetap tabah saja. Itulah yang membuat saya takut dengan beliau. Tapi, saya beryukur, sekarang bisa kerjakan semua yang diajarkannya dulu secara mandiri", kenang pemuda itu.

Saya mengamati, pemuda tadi memang terampil bekerja. Selama ini dia sering memperbaiki sepeda motor teman-temannya. Dia kerjakan tanpa upah yang pasti. Biasanya hanya dibelikan rokok atau sopi oleh teman-temannya.

Dia juga terampil kerja bangunan. Dia membuat teras dan pagar rumahnya sendiri, tanpa harus mambayar tukang lagi. Kadang saya iri dengan kemampuan pemuda itu. Dia memiliki banyak keterampilan. Dia berhasil melewati didikan ayahnya yang "keras", sehingga bisa lebih mandiri.

Suatu kesempatan, kurang lebih 2 minggu yang lalu, ayahnya datang dan sempat ngobrol lama dengan saya setelah jogging pagi. Banyak hal yang kami ceritakan. Salah satu yang menarik, dia bercerita tentang putranya.

Dia mengaku bangga dengan anaknya (pemuda tadi), karena sudah mampu, bahkan sudah terampil melakukan beberapa pekerjaan yang mendatangkan uang. "Lihat saja, dia bisa kerja sendiri itu teras dan pagar rumah. Perbaiki motor juga bisa. Mungkin tidak lama lagi saya buka bengkel untuk dia. Saya lihat bakatnya di situ", kata ayahnya penuh semangat.

Saya pun berencana akan menceritakan rasa bangga sang ayah kepada pemuda tersebut. Saya merasa pemuda tadi perlu tahu, kalau ayahnya sangat bangga pada dirinya. Anak muda itu pasti akan sangat senang, dan kemungkin bisa lebih jujur, khususnya dalam hal kebiasaan buruk yang selalu disembunyikannya: kebiasaan merokok, minum alkohol dan menyetel musik dengan volume suara yang keras. Semoga...
***
Sebagian ayah, mungkin seperti itu wataknya. Sangat tegas membuat peraturan, demi kebaikan anak-anaknya. Sang anak kadang salah memahami. Ayahnya dianggap sebagai pemaŕah, sehingga menimbulkan kesan tidak bangga dengan anaknya sendiri. Hal yang kadang tidak diketahui, seorang Ayah selalu mambanggakan atau menceritakan kehebatan anaknya kepada orang lain.

Intinya, dibalik kerasnya didikan ayah, ada banyak cinta yang terpendam dalam lubuk hatinya. Hanya saja, dia tidak menujukkan secara langsung. Dia tida pandai menunjukkan cinta yang lebai. Cintanya kepada anak itu cinta sejati.

Cerita ayah tetangga saya itu sengaja saya tulis di sini, karena sedikit sama dengan yang saya alami. Dulunya saya benci dengan aturan yang ditetapkan beliau untuk kami. Sekarang baru saya sadari, ternyata maksudnya baik.

Ohh.., ayah.....

Posting Komentar

0 Komentar