SEBAB SAKIT

Keterangan: Foto hanya sebagai ilustrasi cerita, bukan kejadian yang sebenarnya.
Saya pernah mendengar ungkapan, kalau tempat belajar sejati itu terjadi di lingkungan masyarakat, bukan sekolah atau kampus. Lalu, ada pula opini yang menganggap tidak semua teori yang diperoleh dari pendidikan formal sesuai dengan pengalaman nyata. Kadang berbeda sedikit, atau malah bertolak belakang.

Awalnya saya tidak begitu percaya dengan pendapat tersebut. Mana mungkin pelajaran di sekolah atau kampus bisa keliru. Apalagi kalau dianggap belajar di tempat formal bukanlah arena belajar sejati.

Saya belum yakin kalau belum mengalami langsung. Keraguan saya mungkin dipengaruhi ilmu yang diperoleh belum seberapa. Baru beberapa jurus Wiro Sableng yang saya ketahui, itupun belum begitu sempurna. Masih belum pantas mendapat Kapak Naga Geni 2 1 2, sebagai simbol kesempurnaan ilmu.

Namun, setelah kemarin bercakap-cakap dengan seorang yang sudah sepuh -bisa dianggap sebagai guru baru selain Wiro Sableng-, barulah saya manggut-manggut.

Beliau bercerita tentang masalah kesehatan berdasarkan analisanya sendiri. Tentu saja sesuai pengalaman beliau menjalani hidup hingga kini berusia 70-an tahun. Memang kalau dibandingkan dengan ilmu kesehatan yang pernah saya peroleh, tentu saja agak melenceng. Malahan beliau sedikit menentang dengan beberapa proses medis. Namun, kalau direnung-renung, terkadang argumen yang beliau sampaikan cukup masuk akal.

"Permisi buat anak yang belajar kesehatan" sambil minum kopi dengan penangan ubi kayu (singkong) beliau mulai bercerita, "mungkin apa yang bicarakan ini tidak sesuai dengan ilmu yang kalian pelajari. Dengarkan saja, dianggap sebagai lawakan juga tidak menjadi soal".

Saya mengangguk penuh antusias. Saya tatap matanya, biar dia yakin kalau saya siap mendengarkan dengan seksama. Hal-hal yang mengganggu seperti gawai, dll saya tinggalkan. Tentu saja saya resapi baik-baik setiap kalimat yang diucapinya. Berikut saya ceritakan kembali dengan sudut pandang orang pertama.

***
Istri saya pernah sakit. Setelah mencoba beberapa ramuan tradisional, belum juga menunjukkan perbaikan. Keluhannya banyak, yang paling khas itu nyeri ulu hati. Atas saran banyak orang, akhirnya mencari pertolongan di rumah sakit.

Setelah dokter bertanya dan memeriksa, dia menjelaskan penyakit yang dialami istri saya. Tentu saja dengan bahasa yang mudah saya pahami. "Hasil pemeriksaan sementara, istri bapak sakit lambung", katanya.

Saya sontak kaget, "Mana mungkin dia bisa sakit lambung dokter ? Itu tidak masuk akal dokter. Kalau saya yang laki-laki sakit lambung, mungkin saja terjadi. Tapi, kalau istri atau seorang wanita yang sakit lambung, tidak mungkin !".

"Lho, kenapa bisa begitu pak ?"

"Dokter semestinya sudah tahu, kalau istri atau wanita itu setiap hari masak di dapur. Kalau memang merasa lapar, langsung makan saja yang sudah ada. Beda dengan lelaki yang tidak pernah di dapur, bisa sewaktu-waktu terlambat makan".

"Baik pak, sabar dulu, masih dilakukan pemeriksaan lebih lanjut".

Saya keluar dari ruang dokter dengan nafas pendek-pendek. Mendengar informasi yang tidak menyenangkan itu kadang membuat pembuluh darah dan saluran pernafasan menyempit. Saya menarik napas semaksimal mungkin, lalu menghembuskan secara perlahan. Berulang kali. Berharap bisa lebih tenang. Tetap saja detakan jantung terasa makin cepat. Dari kaca jendela saya melihat istri dipasang banyak kabel oleh petugas. "Semoga tidak ada sakit yang serius" saya bicara pada diri sendiri.

"Keluarga Ibu Maria..!", terdengar teriakan dari pengeras suara rumah sakit. Itu tandanya, saya harus kembali menemui petugas di dalam. Dengan perasaan yang tidak menentu, saya masuk dan pasrah pada Tuhan.

"Bapak, setelah diperiksa lebih lanjut, istri Anda mengalami kelemahan jantung".

"Nah, kalau istri saya lemah jantung, itu baru masuk akal dokter. Itu terjadi, karena rumah tangga kami banyak kekurangan".

Dokter mengernyitkan dahi, "Maksud Bapak, bagaimana ?".

"Begini pak dokter, sakit lemah jantung ini karena kondisi ekonomi rumah tangga kami yang banyak sekali kekurangan. Uang tidak ada, persediaan beras semakin menipis, kayu api dan minyak tanah juga telah habis. Bagaimana istri saya tidak lemah jantung dengan kondisi serba kekurangan seperti itu ?".

"Hmm, kalau begi..."

"Sudahlah dokter. Biar kami pulang saja. Saya sudah mengerti, dan bisa tangani sendiri masalah ini. Saya akan beri uang belanja 10 juta, menyediakan beras 10 karung, minyak tanah penuh jerigen, kayu api penuh di bubungan dapur, serta garam dan bumbu-bumbu dapur memenuhi toples. Saya yakin, jantungnya tidak lemah lagi, tapi semakin semangat".

***
Terlepas cerita bapak tadi benar atau hanya dikarang, saya tidak peduli. Ada benarnya juga cara beliau menganalisa. Kalau kondisi ekonomi baik, tidak ada masalah, hidup menjadi lebih tenang.

Begitu cerita berakhir, perhatian saya alihkan pada piring penganan. Ubi kayu tersisa satu. Baru mau angkat tangan, duluan Bapak tadi memasukan ke mulutnya. Hmm...andaikan ada kapak sakti "212", saya akan rebut ubi yang masih tersisa di tangannya.

Posting Komentar

0 Komentar