Cara Didik Pak Ahok

Pak Ahok (Sumber gambar dari sini)

Banyak sekali komentar tentang debat terakhir cagub-cawagub DKI Jakarta kemarin. Saya tertarik membahas pertanyaan Pak Anis kepada Pak Ahok, tentang bagaimana tindakan terhadap siswa yang nakal.

Pak Ahok, -tanpa berpura-pura jadi sosok baik- langsung menjawab apa yang telah menjadi kebijakan selama beliau memimpin.

Jika ada siswa yang kedapatan tawuran atau mem-bully, maka akan dikeluarkan dari sekolah negeri. Aturan ini dibuat agar menjadi peringatan bagi siswa yang lain, sehingga bisa menahan diri melanggar aturan. Pak Ahok juga memberikan contoh bagaimana besarnya upaya siswa untuk sukses paska diberi sangsi tegas. Kira-kira begitulah inti jawabannya saat itu.

Saat Pak Anis diberi kesempatan mengomentari jawaban Pak Ahok, wajahnya seolah-olah menjadi sosok pembela bagi siswa nakal tadi. Tidak baik kalau siswa yang nakal itu langsung dikeluarkan, tapi dibina dulu, lakukan konseling, dan seterusnya. Intinya, beliau ingin berbeda dengan sikap Pak Ahok. Mau menunjukkan kalau sikap baik, murah hati kepada siswa nakal.

Banyak lagi bantahan setelahnya. Hingga pada akhirnya Pak Ahok menganalogikan pemimpin DKI Jkt itu mirip hubungan orang tau dan anaknya. Orang tua mesti membuat aturan yang jelas agar anak-anaknya bisa sukses. Jangan sampai datanglah Om dan Tantenya, menawarkan hal-hal menyenangkan tapi tidak mendidik.

***

Nah, menurut Anda, manakah yang terbaik dari pemikiran 2 calon pemimpin di atas ?

Kalau saya, lebih setuju dengan pemikiran Pak Ahok. Pilihan ini bukan karena saya mengagumi beliau, tapi pengalaman hidup saya menyimpulkan metode tersebut lebih efektif.

Saat SMP, saya memilih sekolah swasta Katolik berasrama sebagai tempat belajar. Setiap siswa yang ingin sekolah di sana, wajib tinggal di asrama. Semua siswa diperlakukan sama. Tidak peduli anak orang kaya maupun miskin, anak pejabat atau dari masyarakat biasa.

Banyak aturan yang harus dipatuhi siswa, baik di sekolah dan di asrama. Perilaku selama di sekolah maupun di asrama dinilai secara terintegrasi. Walaupun pintar secara intelektual, tapi sikapnya kurang baik, akan diberi sangsi tegas. Jika ada siswa yang melakukan banyak pelanggaran, maka di akhir semester akan dikeluarkan dari sekolah atau kami menyebutnya "gugur".

Aturan itu diterapkan secara konsisten oleh pembina asrama dan guru-guru. Semuanya satu suara sengan standar yang telah ditentukan. Tidak ada yang menjadi pahlawan di siang hari, membela murid yang telah salah. Pembinaan atau teguran ada batasnya. Kalau sudah keterlaluan, sanksi tegas harus diterapkan.

Konsistensi itulah yang membuat kami sebagai siswa saat itu berupaya keras mengikuti aturan. Jujur saja, semua aturan itu tidak ada yang menyenangkan bagi kami yang sedang gemar bermain sesukanya. Tapi, kami paksakan diri. Ada waktunya untuk makan, belajar, bekerja, olahraga, bedoa, pelesir, dan aktivitas lain. Aktivitas siswa diseragamkan.

Lama-kelamaan, kami akhirnya menikmati pola hidup teratur seperti itu. Memang tidak semua bertahan. Ada siswa yang kabur atau mengundurkan diri dan pindah sekolah. Ada juga yang terpaksa dikeluarkan oleh pihak sekolah, baik karena kemampuan akademik maupun akibat sikap yang sering melanggar aturan.

Siswa yang gugur bukan berarti menjadi pribadi yang gagal terus menerus. Penelusuran terhadap teman-teman saya yang harus pindah sekolah, ternyata mereka menjadi murid yang cemerlang di sekolah barunya. Ada yang dipercayakan menjadi ketua osis, mewakili sekolahnya dalam lomba ilmiah, dan sebagainya. Ternyata, meski mereka telah keluar dari sekolah berasrama tadi, pola hidupnya tetap mereka praktikan terus menerus.

Saya beruntung bisa melewati masa SMP di sana hingga tamat. Memang sewaktu SMA saya tidak mau lagi sekolah dengan metode seperti itu. Tapi, metode belajar atau pola hidup yang diterapkan semasa SMP terus saya praktikan hingga saat ini. Hasilnya sungguh mengagumkan. Minimal bisa mandiri setelah kuliah.

Selain manfaat yang saya rasakan secara pribadi, banyak pula keunggulan lain yang diperoleh. Beberapa diantaranya, sekolah tersebut menjadi sekolah berprestasi. Tiap tahun persentase kelulusan UN selalu 100%. Siswanya sering juara lomba ilmiah, kesenian dan olahraga.

Paling penting, alumni dari sana dipastikan bisa mandiri. Saat kuliah, mereka biasanya berprestasi dan lulus tepat waktu. Banyak alumni yang telah bekerja di berbagai instansi, menduduki posisi penting, hingga menjadi tokoh yang dikenal banyak orang. Alumninya sukses dalam berbagai bidang.

Masih kurang yakin ?

Coba cek alumni SMP-SMA yang menerapkan sistem yang terintegrasi antara asrama dan sekolah dengan aturan yang tegas. Saya yakin alumninya lebih cemerlang dibandingkan yang lain. Kalaupun ada yang biasa-biasa saja, jumlahnya sedikit saja.

Pengalaman itulah yang membuat saya sangat setuju dengan pemikiran Pak Ahok. Anak maupun peserta didik, mesti dididik dengan aturan tegas dan konsisten. Kenalkan dengan peraturan atau sepakati bersama. Pelanggaran ringan masih ditindak dengan teguran halus. Kalau sudah berlebihan, tindakan tegas yang memberi efek jera perlu diberikan. Tidak boleh lembek. Dinilai kasar sedikit tidak apa-apa. Asalkan untuk tujuan yang baik. Saya suka cara didik Pak ahok.

Bagaimana menurut Anda ?

(Diambil dari catatan Facebook tgl 12 Feb 2017)

Posting Komentar

0 Komentar