Ibu Kost bersama kelincinya |
Pagi yang cerah di Kota Surabaya hari ini, bertolak belakang
bekakang suasana hati Ibu kost. Wajahnya murung layu. Berkali-kali saya
sapa, sekedar mengucapkan selamat pagi. Tapi tetap diam saja, entah
beliau tidak mendengar atau hanya malas menjawab.
Saya penasaran,
kemudian coba mendekat. Beliau duduk di samping paviliun (kandang)
Manohara dan Tyson, 2 ekor kelinci yang pernah saya ceritakan
sebelumnya.
Beliau sedikit kaget begitu tau saya sudah berada
dekatnya. Tapi sama saja, beliau tampak tidak berminat untuk bicara.
Saya melihat kelinci berbulu putih (Manohara) tampak terlelap di atas
koran bekas, dan berada di luar kandang. Hanya Tyson yang tampak
bergoyang-goyang saat tangan Ibu kost dilambai ke arahnya.
"Lho, kok Manohara tidur di luar Bu ?"
"Bukan tidur Mas", Ibu kost menjawab ketus, "sudah mati itu..."
Kutahan tawa yang hampir lepas dari mulut. Akibatnya saya batuk-batuk
sebentar. Saya membasahi kerongkongan dengan menelan ludah, biar tampak
rileks kembali. Tidak boleh melukai perasaan Ibu kost, bisa diusir
nanti.
"Waduh... kok bisa Bu ?", saya berusaha kaget seperti artis di salah satu sinetron yang tidak sengaja dinonton semalam.
"Gak tau Mas...", tangan Ibu kost menggaruk-garuk kepala, tatapannya
nanar, masih tertuju pada Tyson -yang kini menjadi harapan satu-satunya,
"padahal semalam masih main-main sama saya Mas".
"Mungkin sakit atau apa...?"
"Tadi malam masih segar-segar kok. Bahkan saya rela tidur telat hanya
karena ingin main bersamanya. Ini satu-satunya hiburan kalau lagi suntuk
Mas. Dia lucu sekali. Mimik mukanya itu loh, bikin gemes", tangan Ibu
kost mengelus-elus dada, "saya tidak tahan sedih jika mengingatnya".
Saya tidak tau mau berkomentar apa lagi. Diam saja. Kali ini saya
benar-benar empati. Cara Ibu kost bercerita membuat saya luluh, ikut
bersedih.
"Hmm.., mungkin kurang makan ?" Saya bertanya lagi, agak ragu-ragu.
"Tidak mungkin Mas. Lihat itu", tangannya menunjuk ke arah kulkas,
"banyak persediaaan jagung muda dan sawi putih di sana. Saya benar-benar
perhatikan makanannya. Pagi, siang, malam. Selalu saya ganti kalau
makanannya tampak layu".
Saya sebenarnya tidak terlalu berminat
membahas si Manohara yang nahas itu. Tapi, biar Ibu kost tidak terlalu
sedih yang berpotensi jadi depresi, berbicara adalah adalah salah satu
cara mengalihkannya.
"Mungkin kurang minum air...?", kembali saya asal bertanya.
"Ah, justru kalau diberi air mereka cepat mati Mas".
"Hmmm, siapa bilang...?"
"Ia...., tak kandani, kok ngeyel..." (saya bilangin kok masih ngotot)
"Bukan begitu, sebagaimana kita manusia, atau mahkluk hidup lainnya
butuh asupan air juga. Saya perhatikan selama ini, belum pernah ada
tempat mereka minum di kandang. Jelas..., ini akibat dehidrasi".
"Tidak mungkin Mas...", nada suara Ibu kost mulai merendah, "yang saya
tahu itu, kalau diberi air malah mati", kali ini jawabannya agak
ragu-ragu.
"Kalau begitu, apa sebab Manohara menghembuskan nafas terakhir ?"
Ibu kost diam. Ditatapnya sekali lagi jasad Manohara. Tangannya
mengelus-elus bulu area kepala. Sementara saya jadi was-was sendiri.
Takut kalau pertanyaaan terakhir membuat Ibu kost tersinggung.
"Kasian Mas", masih saja dielusnya kepala Manohara, "mungkin sudah takdir Tuhan kali ya..?"
"Ya..., begitulah jawaban pasti jika kita belum menemukan jawaban
apa-apa. Saat akal kita tidak mampu lagi dimaksimalkan, ada kekuatan
lain di atas daya kita. Kuasa Tuhan, menentukan semua yang ada dan
terjadi di bumi. Kita pasrah dan iklahs saja pada kehendak-Nya".
"Ia Mas, tidak mungkin juga kita urus otopsi. Pasti mahal dan lama
urusannya. Anggap saja sudah kehendak dari Yang Maha Kuasa Mas".
Saya tersenyum legah mendengar jawaban seperti itu. Hanya saya sedikit
bingung, adakah layanan otopsi pada hewan ? Saya belum tau soal itu.
"Lalu, bagaimana Mas, bangkainya kita apakan ?"
"Buat sate ?"
"Ihhh..., masa dimakan ?", ekspresi Ibu kost tampak kaget dan jijik.
"Hahaha.., ya paling dikubur Bu".
"Tapi di mana ?"
Saya mulai berpikir soal cara mengubur. Saya perhatikan semua
lingkungan luar kost, tidak ada lagi tanah kost. Semua sudah dipasang
paving atau disemen. Tidak mungkin harus bongkar, hanya untuk mengubur
si Manohara.
"Ya sudah, kita bungkus saja dengan plastik berlapis-lapis, kemudian buang ke tempat sampah".
"Waduh..., kasihan Manohara Mas"
"Lalu mau bagaimana lagi ?"
"Tunggu dulu...", Ibu kost tiba-tiba berdiri, lalu lari tergesa-gesa
masuk ke kamar. Saya bengong saja melihatnya. Tidak lama kemudian beliau
kekuar, menenteng gawai ditangannya, "difoto dulu ya Mas, biar nanti si
Jelita anak wedok (perempuan) saya bertanya, bisa ditunjukkan foto
sebagai bukti".
Saya tersenyum geli. Betapa kepergian Manohara menjadi hal yang tidak biasa bagi kehidupan kami di lingkungan kost.
Setelah difoto beberapa kali, Ibu kost membungkus dengan koran bekas
yang sejak tadi menjadi alasnya berbaring. Setelah dimasukkan ke kantong
plastik, Ibu kost membuang ke tempat sampah. Biasanya, tiap sore ada
petugas sampah yang akan mengangkut dan buang entah ke mana. Entah
Manohara akan berakhir di mana, tidak ada yang tahu. Apakah berakhir di
pusat pembuangan akhir sampah atau dimakan oleh binatang lainnya ?
Semoga arwahnya berakhir di Surga.
Manohara pergi selamanya. Dia
telah pergi membawa harapan Ibu kost yang ingin terhibur oleh aksinya
disaat suntuk. Dia juga pergi membawa harapan saya yang ingin menikmati
sate kelinci saat malam tahun baru nanti.
Kini tinggal Tyson,
kelinci berbulu hitam saja yang masih bertahan hidup. Terlihat masih
aktif makan. Tampak juga bergerak gesit saat diganggu oleh Ibu kost.
Hanya kita tidak tahu, apa yang akan terjadi 1 detik, 1 menit, 1 jam, 1
hari, 1 minggu, 1 bulan, 1 tahun, dst., yang akan datang. Semuanya
menjadi rahasia Tuhan YME. Bersiap-siap saja...!!!
0 Komentar