Penyuluhan KB oleh Mahasiswa/i Program Pendidikan Ners FKp Unair di Posyandu Balita RW 04, Kelurahan Mulyorejo |
Saya terperanjat membaca soal sistem KB yang berlaku di Tiongkok.
Hal itu terjadi akibat kurangnya informasi yang saya peroleh selama ini.
Saya tidak pernah membayangkan ada negara yang menerapkan (lebih
tepatnya memaksakan) aturan bagi warganya dalam menentukan jumlah anak.
Syukur kalau Anda sudah mengetahuinya. Kalau belum, sana buat kopi
dulu. Beli juga camilan. Cari tempat duduk yang nyaman, dimana kopi dan
kudapan hanya sejangkaun tangan. Seruput kopi dua-tiga kali, makan
kudapan sebentar, lalu bilas kembali mulutnya dengan kopi. Sudah merasa
nyaman ? Ayo lanjutkan membaca informasi berikut !
Ternyata,
sejak 1979 di Tiongkok diberlakukan aturan atau kebijakan satu anak.
Artinya, tiap pasangan suami-istri, hanya boleh punya anak satu.
Kebijakan itu ada, mungkin bermaksud menekan populasi penduduk yang
konon katanya paling banyak di dunia.
Dijelaskan lebih lanjut,
kebijakan itu sangat kaku. Tidak boleh dilanggar oleh siapapun. Kalau
masih membandel, warga tersebut dikenai hukuman. Tidak mudah, bahkan
bisa dibilang cukup keji. Bisa dikenakan denda, kehilangan pekerjaan,
dan dipaksa untuk aborsi dan steril. Disebutkan ada 360 juta kasus
aborsi selama aturan itu diterapkan.
Bagaimana kalau bersembunyi
selama hamil ? Cukup sulit. Petugas khusus akan datang tanpa
pemberitahuan, cek ke rumah warga beberapa bulan sekali. Jika ketahuan,
akan dipaksa menggugurkan kandungannya. Cukup ngeri membayangkannya.
Apalagi kalau merasakan langsung.
Kita di Indonesia, juga
memiliki kebijakan yang bertujuan menekan jumlah pertumbuhan penduduk.
Hanya saja, tidak terlalu dipaksa seperti itu. Hanya berupa ajakan atau
himbauan saja. Kalau diterima, kita bersyukur. Kalau ditolak, tidak bisa
dipaksakan. Bahkan, dari sisi jumlah anak, program KB di Indonesia
masih lebih banyak dibandingkan Tiongkok, yaitu: "2 anak lebih baik".
Belum lama ini, sekitar 2 minggu yang lalu. Kami yang sedang menjalani
praktik profesi ners di FKp Unair, memberikan pendidikan kesehatan
tentang program KB bagi warga di tempat pelaksanaan praktik keperawatan
komunitas. Ia, kami sebatas memberi pemahaman bahwa, jika ada kemauan,
sebetulnya menjarangkan kehamilan itu punya banyak manfaat dan caranya
cukup banyak, aman, dan sudah terbukti efektif. Ada banyak metode yang
bisa dipilih, tinggal disesuaikan dengan kondisi masing-masing.
Kita hanya berharap, dengan banyaknya informasi yang disampaikan,
semakin banyak pula warga mengetahui manfaat dan kekurangannya. Jika
sudah memahami dengan baik, biasanya orang akan mengikuti dengan
sukarela. Ada motivasi dari dalam diri sendiri untuk proaktif mencari
pemberi layanan KB.
Kelemahannya, cara lembut seperti itu masih
belum begitu efektif. Tidak semua orang mau mengikuti program KB.
Makanya kegiatan promotif terus dijalankan hingga kini, dan masa yang
akan datang. Tapi, tak apalah, asalkan kita tetap mendahulukan HAM,
khususnya dalam menentukan jumlah anak.
Beruntung, kebijakan satu
anak di Tiongkok itu, kini telah dicabut. Meski dicabut, dampaknya
sudah terasa dan beberapa mulai terasa. Misalnya, salah satu yang
menarik adalah soal sulitnya mencari jodoh.
Kini, warga Tiongkok
sulit menemukan jodoh. Akibat kebijakan satu anak selama bertahun-tahun,
penduduk usia menikah atau usia produktif semakin menurun. Sudah tentu
mencari jodoh dari populasi yang sedikit itu, peluangnya kecil didapat.
Saking sulitnya, banyak orang mempromosikan anak atau keluarga
mereka di taman kota. Seperti halnya produk yang mau dijual, orang yang
sedang mencari jodoh, ditulis semua informasi tentangnya dalam sebuah
brosur atau media iklan lainnya. Jika merasa cocok, bisa dijadikan suami
atau istri. Mereka juga menyebut tempat tersebut sebagai pasar
pernikahan.
Fenomena yang terjadi di Tiongkok tersebut, secara
tidak langsung mengatakan, program KB berdampak pada susahnya mencari
jodoh di masa depan. Bahkan, keresahan sulit mencari jodoh mulai terasa
juga di Indonesia.
Coba perhatikan keluhan masyarakat Indoensia
lewat akun media sosialnya. "Malam minggu yang kelam". "Jomblo sejati".
"Lebih baik sendiri". "Jomblo itu pilihan". "Malam minggu sendiri lagi".
"Malam jumat yang menyeramkan". "Kapan menikah ?". Beberapa kalimat
itu, sejatinya menandakan sudah mulai sulit mencari jodoh. Padahal,
program KB di Indonesia masih sangat lunak. Apalagi kalau diterapkan
seperti di Tiongkok, saya yakin, kita semakin merana dalam menemukan
jodoh.
Melihat fakta tersebut, saya sendiri mulai gelisah. Semoga
generasi saya belum mengalami nasib kurang beruntung seperti warga
Tiongkok tadi. Kalau sekarang punya pacar, jaga baik-baik, itu sudah
jodoh. "Save" memang sebelum berpindah tangan. Persaingan makin ketat,
jika telat, Anda lewat.
Lalu, apa solusinya ? Serba salah. Kalau
program KB tidak dijalankan, populasi pendudukan bertambah. Sementara
itu, pertumbuhan ekonomi belum bergeliat. Bisa muncul berbagai masalah
lagi, seperti kemiskinan, kesehatan yang buruk, dll.
Tegukan kopi
terakhir yang sudah dingin, membuat saya berpikir aneh. Kalau nanti
sulit mencari jodol, tidak ada salahnya kita melakukan kerjasama dalam
hal ekspor-impor jodoh. Saya bayangkan, berjodoh dengan orang Tiongkok.
Pasti rupanya seperti pemain film yang pernah saya tonton itu.
"Woe Mas, ayo ke Gereja", teman kost tiba-tiba mengagetkan saya dari
lamunan, "Jangan sampai kelewatan lagi jadwal misa terkahir hari ini".
Baiklah, sekian dulu. Siapa tau dengan berdoa kita bisa menemukan solusi
yang lebih baik lagi.
(Catatan: informasi mengenai kebijakan
satu anak di Tiongkok beserta dampak susahnya mencari jodoh, saya baca
di Jawa Pos edisi hari ini, 1/11/15. Kalau tidak percaya, cari dan baca
sendiri).
0 Komentar