Selamat Tahun Baru Imlek 2015 |
Saya lahir tahun
1989. Dengan demikian, saat tahun 1998, usia saya sudah 9 tahun. Umur segitu
kira-kira sudah menginjak kelas 2 atau 3 SD. Masih kanak-kanak sekali. Prioritas
kebutuhan saat itu tentunya bermain, bermain, dan bermain saja.
Tinggal di kampung, akses informasi
saat itu sangat terbatas. Tidak pernah saya melihat wujud koran itu seperti
apa. Televisi hanya ada satu di kampung dan biasanya dibuka saat matahari
terbenam hingga malam sekitar pukul
21.00. Misalnya ada kesempatan nonton TV, tontonannya sudah pasti yang
ringan-ringan saja. Seingat saya, paling suka nonton film Wiro Sableng, Deru
Debu, Jacklin, Sinetron Tersanjung, dan tayangan sejenisnya. Paling tidak suka
kalau orang tua memindah channel yang menyiarkan berita. Saya akan merengek,
menangis, hingga aksi mogok mandi dan makan kalau tidak menonton tanyangan
favorit tadi.
Kondisi itulah yang membuat kami
(khususnya saya) jauh dari informasi aktual. Padahal pada waktu itu (tahun
1998) sedang terjadi aksi demonstrasi menurunkan Soeharto dari kekuasaannya
sebagai Presiden. Awalnya disebut sebagai aksi unjuk rasa gerakan reformasi, lama-lama
menjadi gelombang demonstrasi besar yang sulit dibendung. Terjadi kericuhan di
Jakarta dan beberapa kota lain di Indonesia. Menurut cerita, sasarannya warga
Tionghoa. Rumah dan tempat usahanya dibakar, barang-barang berharga dijarah,
ada yang dipukul, diperkosa dan dibunuh. Satu kata yang mendeskripsikan itu
semua, sadis..!
Empati Setelah Tahu Puisi Esai Denny JA
Setelah beranjak dewasa, barulah
saya mendengar informasi tentang kerusuhan Mei 1998 silam. Itupun, masih sangat
dangkal dan tidak begitu saya pedualikan. Saat pilpres 2014 kali lalu misalnya,
isu pelanggaran HAM kala itu dulu menjadi tema penting yang dibahas setiap
diskusi atau debat pada kandidat. Secara pribadi, saya berpikir, kenapa harus
terus mengungki masa lalu ? Sudahlah, yang lalu biarlah berlalu, tidak perlu
diungkit terus. Susah melacak siapa pelakunya. Terbukti hingga sekarang belum
teridentifikasi siapa, atau golongan mana yang harus bertanggung jawab atas
kerusuhan tersebut ?
Setelah membaca, lalu menonton versi poetry reading puisi esai karangan Pak Denny JA, barulah rasa
empati yang mendalam itu muncul dalam diri saya. Bermula dari kesukaan saya
sama penyanyi Bondan Prakoso. Saya mencari video lagunya di Youtube, dengan
mengetik kata kunci namanya. Munculah bermacam-macam video lagu Bondan P dalam
berbagai versi. Lalau saya klik video saat Bondan berbicara dalam acara
Inspirasi.co di youtube. Dari situlah saya mengetahui ada website sumber
inspirasi bagi banyak orang.
Karena didorong rasa penasaran, saya
membuka alamat website tadi. Setalah halaman awal tertampil, saya langsung klik
pada menu “Denny JA’s World”, nama sang founder website itu. Saya ingin
mengetahui sepak terjang pemiliknya. Di sana terdapat profil beliau. Begitu tulisannya
muncul, saya cukup tercengang, deskripsi tentang dirinya sangat panjang. Kisah perjalanan
hidupnya dipenuhi pengalaman yang prestisius. Banyak gelar dan prestasi yang
diterimanya sebagai pribadi maupun lembaga yang didirikannya. Atas prestasinya
tersebut beliau dikenal dengan intelektual enterpreneur.
Bagi orang yang bergelut dalam bidang politik, namanya pasti sangat
familiar. Beliau adalah founding father konsultan politik dan Lembaga Survey Indoensia
(LSI), dimana hasil prediksinya selalu tepat jika dibandingkan hasil
perhitungan real KPU. Tidak heran jika beberapa kali mendapat penghargaan rekor
MURI. Masih banyak prestasi yang lain, namun akan sangat panjang jika
dituliskan semuanya. Ada satu lagi prestasinya yang menurut saya penting, dan
berkaitan dengan inti cerita saya saat ini, beliau adalah seorang penulis yang
produktif. Salah satu karya yang paling fenomenal adalah, lahirnya genre baru
dalam dunia kesastraan Indonesia dengan menulis puisi esai. Beliau menulis esai
tentang diskriminasi di Indonesia menggunakan kalimat yang puitik atau bisa
juga dibilang beliau menulis puisi dengan kalimat yang mudah dipahami, terdapat
fakta bercampur fiksi dan dilengkapi catatan kaki layaknya sebuah esai. Penggabungan
antara gaya penulisan puisi dan esai itulah sehingga diberi label baru, puisi
esai.
Dalam profil beliau, tahulah saya kalau buku puisi esai tadi sudah terbit
sejak lama, yaitu pada bulan Maret 2012 dengan judul “Atas Nama Cinta”. Tentunya
saya sangat terlambat, kerena baru mengetahuinya 3 hari yang lalu (16/2/2015). Beruntung
buku itu tersedia dalam bentuk website dengan alamat www.puisi-esai.com#sthash.MokLrJa6.dpuf, sehingga bisa diakses dengan mudah dan gratis. Tanpa lama-lama,
saya langsung beralih membaca ke websitw tersebut.
Dalam website puisi esai, kita bisa membaca sendiri dari kelima judul yang
ada, atau bisa juga dengan menonton video musikalisasi puisi-esai tersebut. Lewat
media audio visual tersebut, puisi-esai itu terkesan lebih “hidup”. Selain karena
dibawakan oleh tokoh kebudayaan ternama Indonesia seperti Sutardji Calzoum
Bachri, Putu Wijaya, Sujiwo Tedjo, Ine Febriyanti, Niniek L Karim, dan Fatin
Hamamah, video tadi juga dilengkapi dengan ilustrasi kejadian nyata dari setiap
peristiwa yang diangkat.
Saat itu, saya langsug membuka video pertama yang berjudul “Saputangan Fang
Yin” dibacakan oleh Bapak Putu Wijaya. Baru beberapa detik menonton, saya
langsung suka dan memutuskan untuk download semuanya.
Puisi-esai yang pertama itu mengisahkan Fang Yin (bukan nama sebenarnya),
seorang gadis muda keturunan Tionghoa salah satu korban ganasnya diskriminasi
tahun 1998 silam. Kisah ini tentunya sangat subjektif dari kacamata Fang Yin,
namun saya yakin, satu kisah itu bisa memberi gamparan secara keseluruhan
kejadian waktu itu.
Sangat jelas digambarkan bagaimana situasi huru-hara Mei 98. Gelombang demonstrasi
besar muncul dimana-mana. Ban dikabar, mobil dibakar, rumah dan ruko dibakar,
asap hitam membumbung tinggi. Teriakan “tangkap Cina, bakar Cina” menggema di
mana-mana. Begitupula dengan kejadian pemerkosaan oleh sekelompok orang, secara
bergilir meraka melahap tubuhnya. Akibatnya, dia mengalami depresi yang sangat
dalam, terlebih lagi sang pacar meninggalkan dirinya karena tahu telah
diperkosa. Karena tidak nyaman di Indonesia, mereka memilih pindah tinggal di
Amerika. Di sana dia bergelut terus dengan batinnya selama proses rehabilitasi
oleh psikolog. Tidak mudah dia mengiklaskan kejadian itu, beberapa kali mencoba
bunuh diri.
Setelah saputangan kenangan dari pacarnya berhasil dibakar, saat itulah
awal lenyapnya semua kenangan masa lalu. Dia bisa menerima kondisinya,
memaafkan masa lalunya. Hebatnya, dia memaafkan “Indonesia” yang sangat kejam
pada dirinya dulu. Dia lahir di Indonesia, itulah alasan betapa besar cintanya
pada negera ini. Lalu, memutuskan untuk kembali, melupakan masa lalu, dan
membangun mimpi yang baru.
Akan sangat bagus kalau dinonton secara lengkap. Saya sangat
merekomendasikan bagi yang belum pernah tau tentang kejadian itu. Jujur saja,
hampir sepanjang saya menyaksikan dengan penuh konsentrasi, bulu kuduk saya
merinding berulang-ulang. Di situ kadang saya merasa sedih, tanpa terasa
meneteskan air mata. Saya akhirnya paham mengapa para pejuang HAM terus
menuntut pemerintah agar mengusut tuntas kasus tersebut.
Gerakan Indonesi Tanpa Diskriminasi
Kini, kondisi Indonesia sudah agak membaik. Etnis Tionghoa diakui sebagai bagian
WNI, agama Konghucu diakui sebagai agama yang sah, dan perayaan Imlek menjadi
libur nasional. Bahkan sekarang mereka menunjukkan eksistensi yang menonjol bagi
RI, salah satu contohnya Gubernur DKI Jakarta, Pak Ahok.
Meski begitu, cerita atau kejadian mengenai diskriminasi di Indonesia belum
benar-benar punah. Menurut hasil survei LSI, ditemukan fakta dan trend
intoleransi di Indonesia masih menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan
berbagai permasalahan. Atas dasar itulah, lalu ditambah pula buku puisi-esai
Atas Nama Cinta yang isinya tentang potret diskriminasi di Indoensia, Denny JA
bersama tim meluncurkan gerakan Indonesia Tanpa Diskriminasi (ITD). Gerakan ini
intinya menginginkan terciptanya Indonesia untuk semua: Indonesia tanpa
diskriminasi.
Bagi saya secara pribadi, ide dan gerakan yang sudah dilakukan oleh Bapak
Denny JA tadi sangat briliant dan tentunya harus didukung. Saya mungkin hanya
bisa melakukan hal-hal sederhana saja.
Dalam mewujudkan Indoensia tanpa diskriminasi, saya sebaiknya menghormati
setiap aktivitas keagamaan dan kebudayaan dari setiap WNI. Bentuk nyatanya
sangat sederhana, tidak perlu saya menyebar kebencian dengan menyerbarkan
tulisan, ajakan, ancaman, atau apapun bentuknya untuk melarang memberi ucapan
kepada mereka yang tidak sekeyakinan. Jika saya merasa tidak sesuai dengan
keyakinan pribadi, tidak akan mengikutinya, namun tidak juga mencela dengan
mengatakan itu tidak benar, itu kafir, dll. Kegiatan keagamaan dan kebudayaan
itu didasari keyakinan yang mendalam dari penganutnya. Tidak bisa kita
mempengaruhinya untuk merubah, karena mereka akan nyaman dan tentram dengan
caranya masing-masing.
Percaya atau tidak, menurut pemikiran saya yang sangat sederhana ini,
kegiatan-kegiatan yang tidak toleran dengan kelompok lain akan menimbulkan rasa
kebencian tumbuh subur. Itulah cikal bakar terjadinya kerusuhan dan kekerasan
yang bisa saja terjadi suatu saat nanti. Peristiwa ini semacam bom waktu, jika
tidak diakhiri, akan meledak pada saatnya.
Maka dari itu, di hari yang indah ini, meski bukan orang Tionghoa, dengan
senang hati saya mengucapkan: Selamat tahun baru Imlek. Gong Xi Fa Cai – Wan Se
Ru Yi, Sen Thi Cien Khang. Semoga senantiasa diberi kesehatan, damai sejahtera
dalam rumah tangga dan kesuksesan. Amin.
Misalkan Anda masih ada pikiran yang menganggap mengucapkan Tahun Baru Imlek
itu dosa, kafir, sesat, dll sebagaimana juga ucapan Natal dan Valentine’s day,
sebaiknya diam saja. Diam itu emas. Sangat berharga dan terhormat jika Anda
diam dalam keyakinan sendiri. Tidak perlu menyebar kebencian di dunia yang
damai dan indah ini. Salam damai...
2 Komentar
Tinggal di Manggarai yang sinyal internetnya memprihatinkan memang bikin sedih...
BalasHapusBlog yang baik tetapi sudah jarang nulis imm..
Coba konsisten isi blog setidaknya sebulan sekali ada postingan :D
Salam hangatt
Makasih Ka Ajen...Semoga bisa konsisten seperti Ite. Sukses selalu n GBU...
Hapus