Bandung #3: Sahabat Itu Selalu Ada

Catatan ini merupakan lanjutan dari cerita sebelumnya, saat saya liburan ke Badung. Kejadiannya sudah berlangsung pada 23 Januari 2015 lalu, hanya saja sekarang baru saya tuliskan. Seperti yang telah saya ceritakan sebelumnya (klik di sini bagi yangbelum baca), sudah beberapa spot menarik di Kota Bandung telah disambangi. Di setiap tempat tersebut, selalu menyempatkan diri untuk berfoto. Beberapa foto saya upload ke akun media sosial seperti FB dan twitter.
Saya bersama Lalonk (kiri)
            Dari informasi di FB itulah seorang sahabat saya saat SMP dulu meminta no. Hp dan janjian bertemu. Dia sedang mengambil Magister Hukum di Universitas Padjajaran. Namanya Sergius Sahat Putra Utama, dan kami biasa memangilnya Lalonk. Saya pun bahagia bisa bertemu dengan sahabat lama tadi. Saya memintanya untuk mengelilingi tempat-tempat terkenal di Bandung. Dia tidak sudi menolak, dan jadilah kami jalan-jalan bersama. Berikut saya tuliskan tempat-tempat yang kami kunjungi hari itu.

Mencari Buku di Palasari
Salah satu kios buku di Palasari
            Lalonk menjemput saya di kontrakan teman-teman dari NTT (Jl. Kopo) jam 3 sore. Maklum, pagi harinya dia sibuk dengan urusan kuliah. Lalonk bertanya pada saya, “Mau jalan-jalan ke mana saja Bro ?”. Saya menjawab sekenanya saja, “Pokoknya ke mana saja, yang penting bisa melihat tempat-tempat ‘khas’ Kota Bandung, misalnya gedung sate”. Lalonk pun menyanggupinya.
Pembaca buku, suka membeli buku (Model: Lalonk)
            Rute pertama, Lalonk mengajak saya menceri buku dengan harga terjangkau di jalan Palasari. Menurut Lalonk, di sana pusat penjualan buku-buku murah di Kota Bandung. Banyak mahasiswa –termasuk dirinya- mencari buku kuliah ataupun buku umum ke sana.
            Setiba di sana, sejauh saya mengamati, terdapat banyak stan penjualan buku dari ukuran kecil hingga toko yang besar. Di sana tidak ada yang menjual barang lain, hanya ada buku. Lalonk mengajak saya ke toko buku langganannya. Toko buku itu dipadati lemari buku. Saking padatnya, saat menelusuri buku pada rak, harus berjalan dengan posisi miring. Ruas jalannya sangat sempit. Meski begitu, pengujungnya banyak keluar-masuk ke sana.
            Lalonk mencari buku-buku penunjang kuliahnya. Sementara saya, tidak mempunyai tujuan mencari buku tertentu. Saya hanya melihat dari satu rak ke rak lain, sambil berharap ada buku bagus yang perlu saya baca. Setelah cukup lama mencari, saya akhirnya menjatuhkan pilihan pada sebuah buku tentang filsafat ilmu. Saya menganggap perlu memahami filsafat ilmu –meskipun agak terlambat- agar bisa menghayati setiap ilmu yang dipelajari, dan paling penting bisa turut mengembang ilmu yang telah ada. Sebagai sumber dari segala ilmu, filsafat layak dipelajari dengan baik, meskipun bidang kuliah yang diambil bukan khusus pada jurusan filsafat. Atau paling tidak, saya bisa memahami proses suatu ilmu bisa ada untuk dipelajari oleh orang lain.
Membaca buku "filsafat ilmu"
            Buku filsafat yang saya beli itu karangan Jujun S. Suriasumantri. Saya memilih itu diantara beberapa pilihan buku filsafat ilmu yang lain, lantaran menggunakan bahasa populer, ‘enak’ dibaca, dan mudah dipahami. Bahkan pada halaman judulnya terdapat endorsement dari Majalah Tempo, yang menuliskan: “Buku filsafat ilmu pertama di Indonesia yang ditulis secara populer dan membahas soal penulisan ilmiah”. Buku ini juga termasuk kategori Best Seller. Bayangkan saja, buku yang terbit pada tanggal 2 Mei 1982, telah dicetak ulang kedua puluh empat kali pada tahun 2013. Saya mendapat cetakan yang terakhir tersebut. Saya menduga, larisnya buku tersebut dikarenakan menulis menggunakan bahasa yang populer, semua kalangan mau membacanya.

Markas Persib
Tampak depan markas Persib
            Selepas membeli buku di Palasari, Lalonk menngajak saya melihat mess pemain dan tempat latihan klub sepak bola Persib. Bagi pecinta bola Indonesia, pasti tidak asing dengan Persib yang baru-baru ini menjuarai kompetisi Indonesia Super League (ISL) setelah mengalahkan Persipura FC dalam adu pinalti dengan skor 5-3.
            Saya tidak pernah menyukai atau fanatik pada klub sepak bola tertentu. Kecuali untuk tim negara, saya menyukai tim Brazil untuk level piala dunia, dan Timnas Indonesia untuk level kompetisi se-Asia. Jadi, mengujungi markas Persib sore itu bukan karena sebagai penggemar fanatik. Saya hanya ingin tahu seperti apa bentuk tempat latihannya dan berfoto di markas sang juara ISL tersebut.
Lalonk, calon manager sepak bola. Lokasi: Lapangan latihan Persib
            Kondisi mess dan tempat latihan sudah tampak usang. Mungkin sudah sangat lama dibangun dan belum pernah direnovasi. Menurut Lalonk, di sanalah tempat pemain persib tinggal – bagi yang belum memiliki rumah sendiri- dan tempat latihan. Pada bagian depan, ada beberapa kios yang menjual pernak-pernik olahraga sepak bola seperti baju, celana, sepatu, jaket, syal, bendera, dan akseosoris lainnya. Tidak hanya menjual merchandise Persib, dari level internasional hingga lokal dijual di sana. Sempat kami melihat dari satu kios ke kios yang lain, meski akhirnya tidak ada satu pun yang dibeli.
Menyaksikan pertandingan bola di lapangan latihan Persib
            Begitu masuk pada bagian dalam gedung, ada sebuah lapangan sepak bola di tengahnya. Di setiap sisi terdapat tempat duduk bagi penonton. Semacam stadion mini. Saat itu ada yang sedang bermai bola di sana. Setelah diperhatikan dengan seksama, ternyata mereka bukan pemain Persib. Mereka warga biasa yang menyewa lapangan tersebut untuk bermain. Meski tidak bertemu dengan bintang Persib, asalkan bisa berfoto di sana, saya sudah merasa puas.

Gedung Sate
Gedung Sate
            Dari markas Persib, kami ke Gedung Sate. Tempat ini sudah menjadi incaran saya untuk dikunjungi. Setahu saya, gedung ini menjadi bangunan ‘khas’ Kota Bandung. Itulah makanya saya meminta Lalonk berkunjung ke sana.
Lalonk, di depan Gedung Sate
            Saya tidak tahu, kenapa gedung itu dinamakan gedung sate ? Dalam bayangan saya, mungkin di sana merupakan pusat kuliner dimana makanan/menu terfavorit adalah sate. Ternyata saya salah. Menurut Lalonk, Gedung Sate itu merupakan kantor Gubernur Jawa Barat. Dinamakan Gedung Sate (mungkin) dikarenakan pada puncak gedung terdapat tiang dengan bulatan-bulatan kecil menyerupai bentuk sate. Ini menurut sahabat saya Lalonk, benar dan tidaknya belum diketahui. Silahkan berkomentar jika ada yang lebih tahu mengenai informasi tersebut.
Inisial "S" : SERGIUS
            Saat itu gerbang Gedung Sate tertutup dengan pagar besi. Memang hari sudah sore, sehingga kantor sudah tutup. Sebagaimana biasanya, ritual foto-foto tidak dilupakan. Justru itu menjadi kegiatan utama setiap perjalanan.

Taman Bertema & Museum
Calon lansia masa depan, di taman lansia
            Di Kota Bandung juga terkenal dengan taman bertema. Informasi ini saya pernah dengar langsung dari Pak Ridwan Kamil saat diwawancarai oleh Sule di acara Ini Talk Show. Sejauh saya mengamati selama beberapa hari di Bandung, teryata memang benar adanya. Saya penah melihat ada taman musik, taman jomblo, taman foto, taman lansia, dll.
Taman Lansia
       Tidak jauh dari Gedung Sate, ada taman lansia. Saya bersama Lalonk berjalan ke sana. Pemandangannya indah dan taman tertata rapi. Tidak lupa kami berfoto di sana.
Lalonk, di Museum Geologi
            Berhadapan dengan Taman Lansia, terdapat museum geologi. Biar perjalanan kami memiliki nilai manfaat yang tinggi (mendapat ilmu) kami menyambangi ke sana. Ternyata museum sudah tutup, jam kerja sudah usai untuk hari itu. Meski begitu, pada halamannya terdapat benda-benda bersejarah yang ditata secara rapi, menambah keindahan museum tersebut.
Lalonk dan Fosil kayu
            Ada fosil kayu dan batu-batu yang unik. Ada juga makam (peti kubur) jaman dulu yang terbuat dari batu, yang dinamakan Sarkofagus. Setiap benda bersejarah tersebut dilengkapi dengan keterangan yang mendeskripsikan karakteristiknya masing-masing. Di sana kita bisa belajar lebih banyak secara menarik tentang geologi. Tidak salah jika Mas Mentri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Anis Baswedan, gencar mengajak anak muda untuk mengunjungi museum lewat akun FB-nya.
Sarkofagus, adalah sistem penguburan dengan menggunakan wadah yang terbuat dari batu
           
Belanja dan Makan
            Matahari sudah terbenam. Cahaya lampu jalan dan dari gedung sepanjang jalan dekat museum geologi membuat semakin menawan. Dari museum, Lalonk mengajak saya menyambangi pejual di sepanjang jalan. Bandung juga terkenal dengan kota fashion. Banyak pedagang yang menjajakan barangnya di pinggir jalan. Ada baju, celana, sepatu, dan perlengkapan lainnya.
Di salah satu ruas jalan Bandung
            Saya membeli beberapa potong baju dan celana. Harganya cukup terjangkau dengan model dan kualitas yang baik. Tidak beda jauh dengan kalitas barang yang dijual di Mall terkenal yang harganya meroket.
            Perjalanan yang jauh cukup melelahkan. Kami pun sudah lapar. Lalonk mengajak saya makan di salah satu warung yang tidak jauh dari tempat kami berbelanja.  Kami makan dengan lahap di sana.
Warung Alas Daun

Saat itu, selesai makan, tiba-tiba saya mendapat ide menulis tentang sahabat. Tulisan ini terinspirasi dari pertemuan dengan sahabat lama, Lalonk. Akhirnya saya menulis di dinding FB saat itu. Di sini saya kembali menulis ulang, dengan judul “Sahabat Itu Selalu Ada”. Itulah makanya tulisan ini ikut-ikutan berjudul demikian.

  
SAHABAT ITU SELALU ADA
(Diupload di Facebook pada 23 Januari 2015, pukul 21:18)

Sahabat itu terjalin saat hidup bersama yang berkualitas, lalu bisa berpisah, dan kadang-kadang bisa bersua kembali. Lalonk Sahat, sahabat saya saat sekolah di SMP St. Klaus-Kuwu, Ruteng dulu. Saat SMA kami berpisah. Saya sekolah berpindah-dari satu SMA ke SMA lain di wilayah Mangarai. Sementara itu, Lalonk memilih sekolah di Kota Kupang.
Saat kuliah di Kota Kupang, kembali saya bertemu dengannya. Saat waktu santai, kadang-kadang diisi dengan kegiatan bersama, entah untuk makan-makan ataupun sekedar menikmati kopi. Meski tidak rutin, kami tetap berusaha saling meluangkan waktu.
Setelah menyelesai pendidikan S1, Lalonk melanjutkan Magister di Universitas Padjajaran Bandung. Kebetulan saya juga melanjutkan pendidikan S1 di Unair Surabaya. Kerana ada kesempatan libur, saya pun berkunjung ke Bandung. Puji Tuhan, kami bisa bertemu lagi.
Namun, sekarang berbeda dengan dulu. Kalau dulu sama2 satu kelas, sekarang dia sudah magister, sementara saya baru mau selesai S1. Meski begitu, kami tetap bersahabat, karena sahabat tidak membedakan hitam-putih, kaya-miskin, gender, berpendidikan atau tidak. Pokoknya tanpa batas dan tanpa syarat.
Mengenai pengalaman bersama Lalonk, ada beberapa yang paling membekas dalam ingatan. Dia paling suka ngemil kacang "sukro", dan tugas saya membantunya untuk menghabiskan. Saya guru belum masuk kelas, dia biasa pukul-pukul meja (seolah-olah drum) sambil melantunkan lirik-lirik lagu Sheila on 7. Dia hafal semua lagu satu album, hingga akhirnya saya pun ikut-ikut bisa menyanyi.
Saat kondisi lapar, saya dengan Lalonk pernah nekat bolos dari asrama untuk membeli biskuit. Satu-satunya jalan untuk bisa keluar kompleks asrama hanya dengan melompat tembok pagar setinggi kurang lebih 2 meter. Saat pulang kembali ke asrama, kami dipergoki oleh Om Lija (Linus Japi) -seorang peternak sapi milik sekolah- lalu berusaha lari sekuat tenaga. Beruntung beliau kalah gesit dari kami berdua, apalagi umurnya sudah tua. Kami pun luput dari ancaman siksa dari pembina asrama. Jika saat itu kami ditangkap, ujung-ujungnya akan dilaporkan sama pembina asrama untuk dibina. Selain itu, masih banyak kisah lain yang tidak mungkin saya ceritakan semuanya.

Sesuai nama warungnya, kami makan beralaskan daun pisang
Dari sepanjang perjalanan selama ini, saya menyimpulkan bahwa, sahabat itu selalu ada. Saat senang, duka, cemas, optimis atau apapun, ada sahabat yang menemani. Jika berpisah, kemungkinan utk bertemu kembali selalu ada. Tinggal kita kondisikan waktu dan tempatnya. Intinya, sahabat itu selalu ada. Sebagaimana saya, malam ini bisa bertemu kembali sahabat lama, Lalonk, dan berkesempatan dinner bersama. Indah dan senang sekali.
Makan beralaskan daun pisang di warung Alas daun

Posting Komentar

0 Komentar