![]() |
Poster Film A Beatiful Mind |
Cukup lama saya jedah menulis di
blog ini. Sebenarnya aktivitas menulis terus saya latih yang saya tuangkan di
dinding facebook. Pada akhirnya
nanti, tulisan-tulisan lepas di FB akan saya pindahkan lagi ke sini. Harapannya
catatan-catatan tersebut bisa terdokumentasi dengan baik, siapa tahu suatu saat
akan bermanfaat untuk diri sendiri maupun orang lain.
Kali ini saya akan bercerita tentang
film yang saya nonton kemarin dengan judul “A Beatiful Mind”, dikaitan dengan
ACT (Acceptance and Commitment Therapi). ACT itu adalah suatu terapi
psikologis, dimana menjadi tema utama penelitian saya baru-baru ini untuk
penulisan skripsi. Agar bisa menemukan korelasinya, ada baiknya saya
menjelaskan satu per satu. Saya membaginya ke dalam 2 subtopik sesuai judul di
atas.
A Beautiful Mind
Film ini merupakan kisah nyata,
dimana menceritakan kehidupan seorang ahli matematika berkebangsaan AS, bernama
John Forbes Nash. Mungkin diantara Anda sudah banyak yang telah menonton,
karena bukan kategori film baru (Sudah beredar tahun 2001). Selain itu, buku
biografinya juga sudah beredar sejak lama (tahun 1998). Hanya saja, saya baru
mendapatkan film tersebut belum lama ini, sehingga izinkan untuk diceritakan
ulang secara ringkas.
Dalam film tersebut, digambarkan
secara jelas karakter seorang John Nash yang eksentrik (berbeda dengan yang
lainya), tidak suka bergaul, cerdas, dan suka mengobservasi kejadian-kejadian
di sekitarnya. Saat menempuh kuliah doktoralnya, Nash jarang hadir ke kelas. Baginya,
belajar di kelas menghambat keaslian pemikirannya dan membosankan.
Kaca jendela ruangan tidurnya
dijadikan tempat menulis rumus matematika yang rumit. Rumus-rumus tersebut
dijabarnya berdasarkan observasi pergerakan burung-burung di halaman kampus,
kejadian penjambretan tas seorang wanita, dan lainnya. Sebagian besar waktunya
digunakan untuk berpikir tentang rumus-rumus tersebut. Kadang dia merasa
frustasi, hingga membenturkan kepalanya di jendela.
Tanpa disengaja, saat melewati malam
bersama temannya di sebuah bar, dia mendapat inspirasi terkait temuannya. Bagi saya,
adegan ini sangat menarik, sehingga perlu dideskrisikan lagi.
Malam itu, meski sedang berada di
bar, Nash tetap bergelut dengan catatannya yang dipenuhi rumus matematika. Dari
wajahnya, nampak sekali dia lelah dan murung karena belum menemukan jawaban
atas teori baru yang sedang digodok. Sementara itu, 3 orang temannya yang lain
sedang asyik menikmati minuman ditemani alunan musik.
Tiba-tiba, lima orang gadis memasuki
bar. Diantara mereka, ada satu gadis yang sangat cantik dan berambut pirang. Spontan
teman-teman Nash melontarkan isyarat untuk mendapatkan gadis tersebut. Salah sat
temannya berkata, : “Adam Smith berkata, dalam persaingan, ambisi perorangan
melayani kepentingan umum. Setiap orang untuk dirinya sendiri”. “Dan bagi siapa
yang menyerangnya, akan terjebak dengan teman-temannya”, teman yang lain ikut
menimpali.
Nash diam saja. Pandangannya tertuju
pada gadis cantik berambung pirang tadi. Dia terpesona dan memperoleh inspirasi
darinya. “Teori Adam Smith perlu direvisi”, tiba-tiba Nash angkat bicara. Teman-temanya
terhenyak mendengar apa yang dikatakannya.
Nash melanjutkan penjelasannya,: “Kalau
kita semua (4 orang) menghampiri Si Pirang, kita akan menghalangi satu sama
lain. Tidak ada satu pun dari kita yang akan mendapatkannya”. Nash menjelaskan
kemungkinan yang terjadi jika mereka berempat sama-sama merebut satu gadis yang
sama (si pirang) dan mengabaikan 4 gadis yang lain. “Jadi kalau kita
menghampiri teman-temannya, tetapi mereka semua akan memberikan kata penolakan
karena tidak ada yang suka jadi pilihan kedua”.
Tanpa henti, Nash terus melanjutkan
penjelasannya,: “ Nah, bagaimana jika tidak ada yang menghampiri Si Pirang ? Kita
tidak akan menghalangi satu sama lain,
dan kita tidak menghina gadis-gadis yang lain. Itulah satu-satunya cara kita
menang”. Nash kemudian menyimpulkah bahwa teori Smith yang mengatakan hasil
terbaik datang dari semua orang dalm kelompok yang melakukan apa yang terbaik
untuk dirinya sendiri, itu belumlah lengkap. Perlu direvisi menjadi, hasil
terbaik akan datang dari semua orang dalam kelompok melakukan apa yang terbaik
untuk dirinya sendiri dan kelompoknya.
Pemikiran itulah yang menjadi
inspirasi penemuan teori Nash hingga berhasil meraih gelar doktor. Setelah menyelesaikan
studinya, Nash bertugas di laboratium dan mengajar di MIT (Massachusetts
Institute of Technolog).
Hingga akhirnya, Nash diketahui
mengidap Skizofrenia paranoid. Nash mengalami delusi. Dia berhalusinasi tentang
orang asing yang memintanya bekerja
sebagai mata-mata untuk memecahkan kode rahasia dari berbagai surat kabar. Awalnya,
tokoh dalam halusinasinya berperilaku baik, dalam artian tidak mengancam
keselamatan. Lama-kelamaan, bayangan itu menunjukkan adengan yang mencekam,
terjadi saling membunuh.
Kondisi tersebut sangat mengganggu kehidupan rumah tangganya. Istrinya yang
sedang hamil bingung dengan tingkah laku Nash. Dia menjadi paranoid, melihat
bayangan orang-orang asing yang seolah-olah mengejarnya. Dia berlari, mengamuk
sendiri. Orang yang melihat semuanya heran.
Akibat gangguan tersebut, Nash dirawat di rumah sakit jiwa. Berbagai terapi
dijalaninya, termasuk terapi koma insulin. Setelah melewati terapi di rumah
sakit, Nash melanjutkan pengobatan di rumah. Dia harus rutin minum obat tepat
waktu. Namun, efek samping obat – tubuh menjadi kaku, air liur menetes tanpa
sadar-, membuat dirinya membuang setiap obat yang diberikan istrinya. Karena tidak
lagi mengkonsumsi obat, halusinasinya muncul kembali.
Kali ini, bayangan yang dilihatnya semakin menakutkan. Bahkan mereka
memaksa Nash membunuh istrinya. Karena terbawa dengan halusinasi tersebut, Nash
mendorong istrinya yang sedang menggendong bayi mereka hingga jatuh. Pikiran Nash
makin berkecamuk. Bayangan dan suara makin menganggunya dan begitu menakutkan.
Namun, dirinya bisa menyadari bahwa tokoh yang ada dalam bayangannya tidak
nyata. Dia berusaha melawan halusinasinya sendiri, meski istrinya sempat ingin
membawa kembali ke rumah sakit. Melihat niat
tersebut, istrinya membantu dengan penuh sabar dalam membedakan mana yang nyata
dan tidak. Perlahan namun pasti, Nash mencoba beradaptasi dengan pikirannya
tersebut. Dia mencoba untuk tidak menghiraukan mereka lagi. Tapi, bayangan itu
selalu dan selalu saja mengganggu.
Setidaknya ada tiga tokoh utama yang sering menghantui pikirannya. Carles
yang dianggap menjadi teman sekamar saat studi doktoral ternyata salah satu
diataranya, lalu putri dari Carles dan William Parcher selaku pengawas saat ditugasi
menjadi agen pemecah kode rahasia yang dikirimkan Rusia pada majalah dan surat
kabar untuk mencegah terjadinya perang nuklir. Semuanya itu tidak nyata.
Cara Nash menenang pikirannya, sungguh menakjubkan. Dia mengakui keberadaan
mereka, membiarkan mereka ada, dan dengan lembut meminta mereka agar tidak berusaha
mengganggu terus. Misalnya, kepada tokoh Carles, Nash mengatakan dengan serius,
penuh perasaan dan tenang: “Carles, kau telah menjadi teman yang sangat baik
padaku. Teman terbaik. Tapi aku tidak akan berbicara denganmu lagi. Aku hanya
tidak bisa”. Setelah itu, Nash berpaling kepada putrinya Carles, sambil
mengusap wajah dan membelai rambut Dia berkata: “Berlaku sama untukmu, sayang
kecilku”. Kemudian Nash mengecup keningnya sambil mengucapkan; “Good bye”. Dalam
bayangannya tersebut, Nash melihat Carles bersama putrinya meneteskan air mata.
Meski begitu, tidak begitu dipikirkannya kemudian berlalu melakukan aktivitas
lain. Begitu pula dengan tokoh William Parcher, Nash mengakuinya ada, tapi
tidak terlalu menanggapi setiap perkataannya.
Selanjut, Nash lebih beradaptasi dengan baik. Dia kembali bisa mengajar dan
membimbing mahasiswa di kampus Princeton University. Setiap bertemu orang baru,
dia akan memastikan sama orang yang telah dikenalnya, apakah orang tersebut
nyata atau tidak.
Pada bulan Desember 1994, Prof. John Nash mendapat penghargaan bergengsi, Nobel
dalam bidang ekonomi. Teori-teori yang telah dikembangan Nash telah mempengaruhi
negosiasi perdagangan global, hubungan nasional tenaga kerja dan bahkan
menembus evolusi biologi.
Lalu, apakah tokoh-tokoh dalam halusinasi tadi sudah hilang dari pikiran
Nash ? Tidak ! Mereka tetap ada, dan sesekali muncul kembali. Namun, mereka
sudah tidak lagi mengancam seperti yang dirasakan sebelumnya. Nash sudah
terbiasa dengan pemandangan seperti itu, dan tidak begitu mempedulikannya lagi.
ACT (Acceptance and Commitmen Therapy)
Cara Nash dalam menangani
halusinasinya persis dengan apa yang disarankan Steven C. Hayes dalam ACT-nya
untuk mengatasi pikiran dan perasaan yang mengganggu. Berbeda dengan teknik self-help lainnya yang mengajarkan orang
menghilangkan pikiran atau perasaan yang tidak menyenangkan, ACT justru
membiarkan tetap ada, mengakuinya keberadaannya, tanpa harus bergulat untuk
menghilangkannya.
ACT masih terbilang baru dan belum
begitu populer di Indonesia dibuktikan literatur berbahasa Indonesia masih
minim. Pengalaman saya dalam menyusun proposal penelitian beberapa bulan lalu,
ditemukan sedikit artikel jurnal hasil penelitian tentang ACT di Indonesia. Beberapa
yang berhasil saya dapatkan adalah: intervensi terapi
penerimaan dan komitmen (ACT),
terbukti efektif dalam menurunkan kejadian perilaku kekerasan dan halusinasi
(Sulistiowaty, 2012), mengatasi respon ketidakberdayaan sedang pada klien gagal
ginjal kronik (Widuri, 2012), meningkatkan penerimaan penderita HIV/AIDS
(Wahyuningsih,dkk., 2014), meningkatkan insight
dan efikasi diri pada pasein skizofrenia (Jalil,dkk., 2013), dan dapat
meningkatkan subjective well being pada
dewasa muda pasca putusanya hubungan pacaran (Kusumawardhani, 2012).
Ada juga buku yang saya dapatkan
tentang ACT karangan Dr. Russ Harris yang berjudul: “The Happiness Trap:
Hati-hati dengan Kebahagiaan Anda !”. Buku tersebut membahas ACT secara populer
berdasarkan pengalaman yang telah diterapkan pada berbagai klien.
Harris menjelaskan beberapa cara
dalam mengendalikan pikiran dan perasaan yang tidak menyenangkan. Banyak teknik
yang bisa dipelajari dan dicoba untuk diterapkan. Diantaranya persis seperti
teknik yang dilakukan Nash dalam cerita sebelumnya. Kita bisa melakukan
observasi terhadap pikiran yang muncul tersebut, mengakui keberadaannya,
berterima kasih terhadap pikiran kita, dan tidak perlu bersusah-payah atau
bergulat untuk menghilangkannya. Lama-kelamaan, kita jadi terbiasa dengan
pikiran itu. Respon cemas atau takut terhadap pikiran tadi akan berkurang atau
hilang seiring berjalannya waktu. Pikiran itu tetap ada, namun tidak mengganggu
lagi.
Saya berkesimpulan, usaha John Nash
dalam melawan halusinasinya sesuai cerita di atas merupakan penerapan secara
nyata dari ACT. Jika kita sulit memahami atau membayangkan proses bekerja ACT,
menonton film tadi bisa menjadi salah satu jalan keluarnya. Saya berharap,
aplikasi ACT ini akan dikuasai banyak orang karena sudah terbukti efektif
mengendalikan halusinasi dan masalah yang lainnya. Termasuk dalam penelitian
yang telah saya lakukan pada penderita kanker, kualitas hidup mengalami
peningkatan pascaintervensi.
Bisa juga membaca di Blog Kompasiana. Salam Sejuta Mimpi...!!!
0 Komentar