Curhatan Ibu Penderita Kanker



Kanker ?
            Mendengar kata kanker, hampir sebagian besar orang sudah mengenal atau pun sekedar mendegarnya. Ada juga yang mengasosiasikan istilah “kanker” sebagai akronim dari kantong kering. Istilah ini berkaitan dengan kondisi keuangan seseorang. Tapi, yang akan saya bahan kali ini bukan berkaitan dengan uang.
            Kanker yang saya maksudkan adalah jenis penyakit yang dialami manusia. Secara sederhana, kanker merupakan pertumbuhan sel/jaringan yang tidak terkontrol. Dampaknya bisa fatal. Selain mendatangkan masalah fisik, persoalan psikologis juga menjadi perhatian utama dalam penanganannya. Singkatnya, penyakit ini sangat menakutkan.
            Saya pun demikian. Dengan membaca patogenesis (proses terjadinya kanker) dan prognosis (perkiraan dampak selanjutnya) dalam perkuliahan selama ini, muncul suatu kegelisahan/ketakutan jika membayangkannya. Apalagi jika betul terdiagnosis, saya sulit menerimanya. Ini hanya asumsi saya. Berikut ini saya ceritakan pengalaman seorang penderita kanker.

Kisah Ibu Juwita Melawan Kanker
Beberapa minggu lalu, saya diajak oleh teman sekampus untuk mengikuti penelitian yang sedang dilakukannya. Responden penelitiannya merupakan penderita kanker payudara. Teman tadi ingin mengetahui efektivitas pembentukan self help group terhadap respon psikologis penderita tersebut. Dari beberapa responden, ternyata salah satunya berasal dari Kupang-NTT. Sehabis pertemuan, beliau menghampiri saya untuk sekedar bercerita, khususnya mengenai sakit yang dialami.

Saya (Saver) bersama Ibu Juwita

Namanya Ibu Juwita, sekarang berusia 64 Tahun. Sebelumnya beliau tingga di Kota Kupang. Sekarang berdomisili di Surabaya bersama sanak familinya demi kemudahan akses pengobatan yang baik terhadap penyakit kanker yang dideritanya.
Beliau menuturkan, pada pertama kali meraba benjolan di payudara merasa cemas dan memilih diam. Takut membicarakan dengan anggota keluarga lain maupun sahabat kenalannya. Selama itu dia juga berharap, benjolan itu bukanlah suatu yang membayakan. Namun, seiring berjalannya waktu, benjolan tadi semakin bertambah volumenya. Akhirnya, dengan berani mencoba memeriksakan diri ke rumah sakit.
Saat itu masih di Kota Kupang, beliau mendatangi salah satu RSUD di sana. Setelah melewati serangkaian pemeriksaan fisik dan laboratorium, lantas dokter pun berkata: “Wah..., ini kanker ganas, harus segera dioperasi”. Ibu juwita hanya membisu. Bagi beliau, mengidap kanker sangat menakutkan. Tidak percaya, denial, menolak. Itulah perasaan yang bergumul dalam pikirannya. Ditambah lagi cara komunikasi dokter tadi yang secara frontal menyampaikan kesimpulan hasil pemeriksaan. Hatinya terluka, tidak menerima cara komuikasi seperti itu. Kenapa tidak disampaikan secara pelan-pelan dengan memperhitungkan kondisi psikologis pasien. Beliau sangat benci, ingin memarahi secara langsung tapi pasti akan ditertawakan oleh banyak orang. Begitu yang terlintas dibenaknya. Hingga akhirnya memutuskan pulang ke rumah tanpa mengikuti pengobatan medis. Tubuhnya gemetar saat mengendarai sepeda motor dalam perjalanan ke rumah. Bayangan kejadian tadi terus terlintas dalam benaknya. Sangat menyiksa batin.
Akumulasi kekecewaan tadi membuat Ibu Juwita memutuskan untuk mencari pengobatan alternatif saja. Mulailah saat itu beliau menggunakan berbagai macam ramuan. Silih berganti orang datang memberi saran atau rekomendasi berbagai terapi alternatif. Ada yang membawa dalam bentuk minuman, pil, minyak, daun-daun yang ditempel langsung pada payudara dan lain sebagainya. Jika salah satu bentuk ramuan tadi tidak menunjukan perubahan ke arah yang baik, maka mencoba lagi bentuk yang lain. Ramuan tadi tidaklah diberikan secara gratis. Ibu Juwita harus merogoh kocek yang lumayan banyak. Meski diawal penjualnya menjanjikan kesembuhan, namun jika tidak terbukti sulit dilakukan komplain. Tentunya sangat kecewa, lalu beralih lagi ke bentuk pengobatan lain.
Setelah berapa lama menggunakan berbagai bentuk pengobatan alternatif, tidak juga menunjukan tanda membaik. Malahan payudara yang terkena semakin membesar, mekar seperti bunga kol, kulitnya terkelupas, terdapat nanah, bau, dan sering terjadi perdarahan. Melihat kenyataan tersebut, ada yang menyarankan beliau mencari pengobatan alternatif ke Malang - Jawa Timur. Saran tersebut diturutinya, kebetulan di sana ada juga sanak famili. Tidak berbeda jauh ketika di Kupang, di Malang pun pengobatannya hampir sama, berbagai macam bentuknya. Pernah juga diberi terapi gigitan lebah. Sangat sakit rasanya. Bahkan pernah ditawari juga terapi lintah, dimana bebrapa ekor lintah dilepaskan pada area kanker tadi. Namun, kali ini beliau menolak.
Pada akhirnya, sanak famili yang tinggal di Surabaya memaksa Ibu Juwita untuk berobat di Surabaya. Mereka mendengar tentang adanya kelompok ‘sharing’ penderita kanker di salah satu puskesmas yang memiliki unit paliatif. Dengan bantuan salah seorang ‘mantan’ penderita kanker juga, perawat penanggungjawab unit paliatif mencoba meyakinkan Ibu Juwita. Beliau sempat bilang kepada perawat: “memangnya kamu mau merawat kanker saya yang sudah busuk ini ?”. Perawat yang terbiasa mengelola/merawat pasien kanker tadi menyatakan kesanggupannya. “Kita akan mencoba melakukan yang terbaik, mengenai hasil atau kesembuhannya kita serahkan sama Tuhan saja”,  begitulah kalimat petugas tadi menunjukkan keseriusannya.
Saya mengonfirmasi kebenaran informasi yang disampaikan Ibu Juwita sama perawat penanggungjawab unit paliatif. Beliaupun membenarkan, kemudian mengisahkan secara singkat awal mulanya. Selain merawat luka, perawat tadi menfasilitasi Ibu Juwita mengikuti pengobatan di RSUD Dr. Soetomo. Ibu juwita menjalani kemoterapi, radioterapi, dan puji Tuhan, kankernya mengecil. Melihat perubahan yang membaik, dokter memutuskan untuk operasi pegangkatan jaringan kanker. Kali ini Ibu Juwita lebih mempercayai tim medis, dan mengikuti semua bentuk terapi yang disarankan dokter.
Kini, Ibu Juwita terlihat lebih baik, meski temuan terbaru ada juga sel kanker dalam otaknya akibat metastase/penyebaran kanker sebelumnya. Tidak ada lagi luka yang membusuk pada payudaranya. Secara psikologis juga terlihat lebih baik. Beliau menerima kondisinya sekarang, tidak malu lagi berinteraksi dengan orang lain, tidak ada lagi perasaan takut, semua beban hidupnya diserahkan pada Tuhan. Bahkan, sekarang beliau sering memotivasi penderita kanker yang lainnya.

Nasehat Ibu Juwita bagi penderita kanker
Kepada saya, sebagai sesama orang NTT, Ibu Juwita mencurahkan isi hatinya. Beliau berkata: “ Saudari/a kita di NTT masih banyak yang mempercayai pengobatan altenatif jika terkena kanker. Saya ingin sekali memberi kesaksian tentang pengalaman menjalani perawatan penyakit ini, tapi entah kapan bisa terlaksana. Pernah satu kali lewat pengajian di Masjid, tapi mungkin tidak berefek”. Mendengar itu, saya kemudian menawarkan diri untuk menuliskan di blog pribadi. Setelah dijelaskan, beliau pun setuju, dan memberi ijin fotonya ikut diposting juga.
Ibu Juwita bersama penderita lainnya sedang menuli pesan buat penderita kanker di mana pun berada

Biar lebih meyakinkan Anda, diakhir perbincangan, saya meminta Ibu Juwita untuk menulis pesan-pesan secara langsung bagi penderita kanker lainnya di mana pun berada. Berikut saya copy-paste pesan beliau. Tulisan asli dan lengkap bisa Anda lihat pada foto. Inti pesan Ibu Juwita bagi penderita Kanker: “Saya mau ajak kalau sakit seperti ini (kanker), jangan malu untuk bercerita dan bertanya. Pengobatan alternatif itu bukan cara yang terbaik. Datanglah pada ahlinya (tim medis) untuk mendapat keterangan yang baik dan benar tentang penyakit tersebut. Pengobatan alternatif (hanya) untuk menghabiskan uang”.
Tulisan asli Ibu Juwita

Demikian saja yang bisa saya tulis kali ini. Banyak pelajaran yang saya ambil dari kisah ini, terutama sebagai mahasiswa keperawatan yang nantinya berperan dalam pelayanan kesehatan. Silahkan Anda juga memetik sendiri pesan/pelajaran yang bermanfaat dari kisah Ibu Juwita ini. Salam Sejuta Mimpi...!!!



           
           

Posting Komentar

0 Komentar