Sejak
6 Januari 2014 lalu, pemahaman kami mengenai pembelajaran selama satu semester
diuji, yang kegiatannya disebut UAS, ujian akhir semester. Reaksi terhadap
ujian ini sangat variatif. Ada yang mengeluh materi ujian terlalu banyak, soal
terlalu sulit sehingga ada yang berkomentar bahwa soalnya tidak valid dan tidak realibel. Tapi, ada pula yang menghadapi dengan cukup tenang, tidak
mengeluh secara verbal maupun via jejaring
sosial. Pokoknya macam-macam manifestasi yang tampak.
Dari 9 mata kuliah yang diujikan,
hemat saya, mata kuliah Filsafat Ilmu dan logika menerapkan metode ujian yang
kreatif dan menantang. Disebut kreatif karena proses penyelesaiaanya mengandung
daya cipta, dibutuhkan kecerdasan dan imajinasi yang cukup. Disebut menantang
karena tidak sering bahkan tidak pernah kami (khususnya saya) melakukan
kegiatan tersebut, sehingga dibutuhkan usaha yang ekstra. Bentuk ujiannya
adalah membuat artikel ilmiah dari pertanyaan yang sudah disiapkan oleh Dosen
pengampuh mata kuliah. Ada pertanyaan yang sudah disiapkan, sebagai pemicu
berpikir. Jawaban setiap pertanyaan ditulis dalam bentuk ertikel ilmiah.
Begitulah metodenya.
Apakah metode ujian seperti efektif
? Perlu saya beberkan dulu mengenai anggapan saya yang cukup keliru mengenai
pembelajaran filsafat, khususnya filsafat ilmu. Awalnya saya beranggapan bahwa
yang belajar filsafat itu hanya untuk Romo atau Pastor (sebutan rohaniwan
katolik). Akibatnya, saya membatasi diri untuk tidak pernah mencari atau
membaca buku mengenai filsafat. Saat awal kuliah filsafat ilmu pun, saya kurang
tertarik. Mungkin karena menganggap beban kuliah Cuma 1 SKS dan belajar
filsafat itu sulit. Setiap kuliah yang penting hadir, tidak ada penghayatan
terhadap ilmu yang disampaikan Dosen.
Namun, semangat saat mengerjakan
tugas sebagai pengganti UAS tentunya berbeda. Tujuannya jelas, memperoleh nilai
yang terbaik. Dilandasi semangat tersebut membuat saya “terpaksa” mencari buku/referensi
yang berhubungan dengan topik. Tidak tanggung-tanggung, 7 buah buku tentang
filsafat ilmu saya pinjam di perpustakaan kampus. Agar lebih mudah
mendeskripsikan setiap pertanyaan dalam bentuk artikel, saya sekali lagi
“terpaksa” untuk membaca buku-buku tersebut, walau hanya bagian-bagian yang
berkaitan dengan tugas saja. Hasilnya, saya kemudian memahami -walau belum
sepenuhnya juga- bahwa belajar filsafat membuat saya sadar bahwa ilmu (teori)
yang dipelajari selama ini, muncul dari kegiatan berfilsafat. Objek kajian
suatu ilmu (ontologi), proses atau metode lahirnya suatu ilmu (teori) tertentu
(epistemologi), dan penggunaan teori tersebut
(aksiologi) merupakan serangkaian kegiatan berfilsafat. Dapat disimpulkan,
ilmu keperawatan yang saya pelajari selama ini merupakan hasil orang (pakar)
berfilsafat tentang merawat. Agar ilmu keperawatan itu terus ada dan
berkembang, berarti saya juga mesti terlibat dalam berfilsafat. Akhirnya, saya
pun bergumam; “ohh..., ternyata anggapan saya sebelumnya tentang filafat
ternyata keliru”.
Setelah membaca, langkah selanjutnya
adalah menulis. Perkara tulis-menulis, khususnya menulis artikel ilmiah cukup
ruwet. Saya percaya tidak semua orang berpikir seperti itu, tergantung
kemampuan masing-masing. Bagi saya pribadi, kegiatan menulis ini merupakan
kegiatan yang masih tergolong “terpaksa” juga. Tapi, saya tetap bersyukur dan
puas karena tetap selalu berusaha, hingga akhirnya terselesaikan. Perkara baik
dan tidaknya, itu urusan Dosen mau beri nilai berapa nantinya. Selain itu, saya
juga mau share kepada Anda sekalian
yang mungkin bisa memberi penilain secara jujur dan objektif demi perbaikan
selanjutnya.
Kembali pada pertanyaan efektivitas
metode ujian seperti disebutkan di atas. Berdasarkan pengalaman yang
diceritakan tadi, bagi saya, metode ujian seperti itu sangat bermanfaat. Paling
tidak, saya sudah melakukan tiga “terpaksa”. Pertama, “terpaksa” mencari
buku/referensi; kedua, “terpaksa” membaca buku; dan ketiga “terpaksa” menulis. Kegiatan
“terpaksa” tersebut memberi saya pemahaman yang cukup baik mengenai topik
filsafat ilmu. Dan harapannya, selanjutnya bukan lagi menjadi kegiatan
“terpaksa”, tetapi menjadi kegiatan yang adiktif.
Kegiatan utama dari pengalaman di
atas adalah BATU, alias baca-tulis,
membaca lalu menulis. Kegiatan itu terlihat sederhana, namun sangat bermanfaat
dan merupakan bentuk penghargaan terhadap diri sendiri dan orang lain. Seperti
yang dikatakan oleh Peng Khen Sun, dalam bukunya Success Through Reading & Writing: “Membaca adalah cara kita
menghargai pikiran dan gagasan orang lain, yakni penulisnya. Sedangkan menulis
adalah cara kita mengargai pikiran dan gagasan diri kita sendiri karena kita
sudah berani menuliskannya untuk dibaca oleh orang lain”.
Jadi, intinya adalah metode ujian
mata kuliah filsafat kali ini bagi saya sangat efektif. Ujian dengan metode multiple choice memang cukup membantu karena
tinggal menyilang pilihan A, B, C, D, atau E. itu saja, faktor keberuntungan (bejo)
lebih dominan. Pemahaman terhadap materi yang diuji sangat dangkal.
Pembaca, berikut ini saya sertakan hasil
tulisan atau tugas filsafat ilmu yang saya ceritakan tadi. Tulisan tersebut terbagi
dalam 4 subjudul, sesuai dengan pertanyaan yaang diajukan oleh Dosen. Harapan saya,
Anda bisa memberi masukan yang kontruktif. Bila perlu Anda menilai -seandainya Dosen
mata kuliah Filsafat adalah Anda-, nilai berapa yang akan Anda beri untuk tulisan
saya berikut ini ???
TUGAS FILSAFAT
ILMU
(Sebagai
Pengganti Ujian Akhir Semester)
Oleh:
Saverinus Suhardin
131311123027
Fungsi
ilmu
Sumbangsih
ilmu dalam pengembangan peradapan umat manusia sudah tidak terbantahkan. Tidak
berlebihan kalau Francis Bacon (1597), menyebut pengetahuan adalah kekuasaan.
Bacon telah memberi pandangan baru yang cukup berarti bagi dunia ilmu dan
kehidupan manusia. Tugas yang sebenarnya dari ilmu pengetahuan adalah
mengusahakan penemuan-peneman yang meningkatkan kemakmuran dan hidup yang enak[1].
Secara
gamblang, manfaat ilmu pengetahuan dapat kita lihat lewat teknologi yang sering
kita gunakan sehari-hari. Hal ini didasari suatu pemikiran bahwa teori-teori sain diturunkan atau diterapkan
ke dalam teknologi, atau mungkin juga dapat dikatakan bahwa teknologi adalah
sain terapan[2].
Sebut saja handphone atau smartphone, komputer/laptop, mesin Fax,
rice cooker, dispenser, kulkas, AC, TV, radio, tape, VCD/DVD player, walkman,
alat transportasi (sepeda motor, mobil, kereta api, kapal laut, pesawat), dan
masih banyak lagi. Semua teknologi tersebut sangat bermanfaat bagi kemudahan
hidup manusia. Kegunaan ilmu pengetahuan hampir mencakupi seluruh bidang
kehidupan manusia. Saat ini penulis mencoba memberi gambaran kegunaan ilmu
dalam satu lingkup kecil pada bidang kesehatan. Berkat ilmu pengetahuan dan
teknologi, baru-baru ini Lembaga Penyakit Tropis (LPT) Universitas Airlangga
berhasil menemukan obat pembunuh virus demam berdarah dengue (DBD). Berdasarkan
informasi yang dilansir dalam Warta Unair edisi No. 98 Desember 2012 hlm. 16
menyebutkan obat yang diberi nama MAC (Melaleuca Alternifolia Concentrate)
merupakan bahan aktif antiviral dengue yang ditemukan dari pengolahan lanjut
ekstrak tanaman Melaleuca Alternifolia, dan terbukti aman untuk
segala umur dan tidak berefek negatif terhadap fungsi hati dan ginjal,
berdasarkan penelitian hingga fase III selama 1,5 tahun. Sebelumnya, tidak ada
obat atau vaksin untuk infeksi dengue. Bila ada penderita, hanya diberikan
infus penguat daya tahan tubuh, suplemen peningkat trombosit dalam darah, atau
juga transfusi. Penemuan oleh LPT Unair merupakan suatu kebanggaan karena
mempunyai manfaat yang besar bagi banyak orang, khususnya penderita DBD yang
disebarkan oleh nyamuk Aedes Aegypti. Itulah satu contoh kecil
manfaat ilmu bagi manusia, dari beribu-ribu manfaat lainnya dalam setiap bidang
kehidupan.
Secara
spesifik, fungsi ilmu (pengetahuan) ada empat, yaitu (1) mengidentifiasi
gejala, (2) menerangkan terjadinya gejala, (3) meramalkan gejala, dan (4)
menggunakan dan/ atau mengendalikan gejala[3].
Lebih ringkas, Ahmad Tafsir (2009) menjabarkan kegunaan pengetahuan ilmiah yang
isinya teori (ilmiah) kedalam tiga bagian, yaitu teori sebagai alat eksplanasi,
teori sebagai alat peramal, dan teori sebagai alat pengontrol[4].
Dengan ilmu (teori) yang berkaitan dengan DBD, kita bisa memahami bagaimana
proses virus dengue yang ditularkan lewat
perantara nyamuk Aedes Aegypti, masuk
ke dalam tubuh manusia, lalu bereplikasi sehingga menimbulkan deman, dan
perdarahan. Itulah keguanaan teori sebagai alat eksplanasi. Sebagai peramal,
teori DBD dapat memperkirakan, jika kondisi demam dan perdarahan tidak
dikoreksi dengan tepat, maka bisa terjadi syok bahkan berakibat fatal karena
kekurangan volume darah. Sementara sebagai pengontrol, ilmu (teori) menyarankan
untuk sebisa mungkin menghindari gigitan nyamuk lewat berbagai cara yang
efektif dan efisien.
Ilmu
(teori) berfungsi dalam peradaban umat manusia melalui beberapa tahap kegiatan.
Ahmad Tafsir (2009), membagi dalam tiga langkah, yakni: Pertama, mengidentifikasi masalah; Kedua, mencari teori tentang sebab-sebab timbulnya masalah; dan Ketiga, kembali mencai literatur terkait
untuk dapat memecahkan masalah atau
memberi solusi terbaik. Lebih lanjut dijelaskan, hendaknya jangan terlalu
mengandalkan sain tatkala timbul masalah. Ada dua sebab. Pertama, belum ada teori sain yang ada mampu mampu menyelesaikan
masalah yang dihadapi. Teori itu mungkin memadai pada zaman tertentu, digunakan
untuk menghadapi masalah yang sama pada zaman yang lain, belum tentu teori itu
efektif. Kedua, belum tentu setiap
masalah tersedia teori untuk menyelesaikannya. Masalah selalu berkembang lebih
cepat dari pada perkembangan teori. Apabila sain gagal menyelesaikan suatu
masalah yang diajukan kepadanya, maka
sebaiknya masalah itu dihadapakan ke filsafat, mungin filsafat mampu
menyelesaikannya. Tentu dengan cara filsafat atau mungkin pengetahuan mistik
dapat membantu. Yang terbaik ialah setiap masalah diselesaikan secasa
bersama-sama oleh sain, fifsafat dan
mistik yang bekerja secara terpadu[5].
Nilai-nilai
kemanusiaan dalam perkembangan IPTEK
Ilmu
pengetahuan yang baru saja kita bahas tentang manfaatnya untuk kebaikan hidup
manusia, kadang-kadang dapat digunakan oleh orang yang tidak bermoral (jahat)
untuk melakukan tindakan destruktif. Secara faktual ilmu digunakan secara
destuktif oleh manusi, yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang
mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan, ilmu bukan saja digunakan untuk
menguasai alam melainkan juga untuk memerangi sesama manusia dan menguasai
mereka[6].
Itulah sebabnya, setiap ilmu harus dikaitkan dengan nilai-nilai kehidupan
manusia dan kesimbangan ekosistem alam. Pengembangan dan penerapan ilmu mesti
membutuhkan dimensi etis. Dalam hal ini berarti ilmuwan dalam mengembangkan
ilmu pengetahun dan teknologi harus memperhatikan kodrat dan martabat manusia,
menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggungjawab pada kepentingan umum, dan
generasi mendatang, serta bersifat universal karena pada dasarnya ilmu
pengetahuan dan teknologi adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi
manusia, bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia. Tanggung jawab etis
tidak hanya menyangkut mengupayakan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi
secara tepat dalam kehidupan manusia. Akan tetapi, menyadari juga apa yang
seharusnya dikerjakan atau tidak dikerjakan untuk memperkokoh kedudukan serta
martabat manusia, baik dalam hubungannya sebagai pribadi, dengan lingkungannya
maupun sebagai makhluk yang bertanggung jawab terhadap Khaliknya[7].
Karena pertimbangan etis inilah, maka ilmu pengetahuan tidak bebas nilai atau
tidak netral.
Pertanyaan
selanjutnya, benarkah ilmu itu tidak bebas nilai ? Sebelum memutuskan netral
atau tidak suatu ilmu, perlu kita pahami dulu apa yang dimaksud dengan
netralitas ilmu. Secara detail, Ahmad Tafsir (2009) menjelaskan netralitas sain
sebagai berikut. Ilmu (sain) yang netral artinya tidak memihak pada kebaikan
dan tidak juga pada kejahatan. Istilah sain netral juga sering diganti dengan
dengan istilah bebas nilai (Value free).
Sedangkan lawannya ialah sain terikat, yaitu terikat nilai (value bound). Lebih lanjut, dijelaskan pula mengenai
keuntungan bila sain netral. Bila sain itu kita anggap netral, atau kita
mengatakan bahwa sain sebaiknya netral keuntungannya ialah perkembangan sain
akan cepat terjadi. Karena tidak ada yang menghambat atau menghalangi tatkala
peneliti memilih dan menetapkan objek yang hendak diteliti, cara meneliti, dan
tatkala menggunakan produk penelitian. Orang yang menganggap sain tidak netral
akan dibatasi oleh nilai dalam memilih objek, cara meneliti, dan menggunakan
hasil penelitian[8].
Misalnya, dalam penelitian tentang ekstrak tanaman Melaleuca Alternifolia untuk
pengobatan DBD yang telah disebutkan sebelumnya. Bagi orang yang beraliran sain
tidak netral –seperti yang dilakukan oleh peneliti di LPT Unair- akan melakukan
percobaan dulu pada hewan coba yang mirip dengan manusia, hingga pada tahap III
telah dinyatakan efektif mengurangi virus dengue dan tidak berdampak negatif
pada manusia, khususnya fungsi hati dan ginjal. Orang yang beraliran sain
netral, bisa saja tanpa peduli langsung menggunakan ekstrak tanaman tersebut
tanpa memikirkan dampaknya. Asal diberikan saja, tidak melalui tahap-tahap yang
seharusnya demi keamanan manusia sebagai pengguna.
Atas
dasar konsep di atas, hemat penulis, benar adanya jika ilmu itu tidak bebas
nilai atau tidak netral. Ilmu mengandung nilai yang perlu dianut, sehingga kegunaan
suatu ilmu benar-benar untuk
kemaslahatan hidup manusia. Bukan untuk kegiatan destruktif. Pendapat ini
selaras dengan aturan metode ilmiah yang diadopsi oleh ilmuwan, maupun
akademisi yang sedang belajar menggunakan metode ilmiah dalam pengembangan
ilmu, dimana dalam melakukan penelitian harus mendapat ethical clearance dari komite etik penelitian. Apabila tidak
mengikuti aturan atau nilai etik, maka peneltian itu tidak layak dilaksanakan.
Fenomenologi:
menjembatani objektivitas dan subjketivitas
Metode
fenomenologi yang dikembangkan oleh Edmund Husserl (1859-1938), merupakan
terlahir dari pembedaan yang dilakukan oleh Immanuel Kant antara noumenal (alam yang sesungguhnya) dan phenomenal (yang tampak/terlihat) dan
juga merupakan pengembangan dari phenomenology
of spirit-nya Hegel. Bagi Husserl metode yang bena-benar ilmih adalah
metode yang sanggup membuat fenomena menampakkan diri sesuai dengan realitas
yang sesungguhnya tanpa memanipulasinya[9].
Dalam metode tersebut, perhatian haruslah terpusat kepada fenomena itu tanpa
praduga apa pun. Inilah yang menjamin objektivitas suatu pengamatan. Benda atau
objek yang diamati/diteliti, dibiarkan untuk mengungkapkan hakikat dirinya
sendiri secara normal.
Karena
suatu pengamatan dilakukan oleh manusia, bisa saja subjektivitas akan
mempengaruhi hasil pengamatan. Mungkin hal inilah yang menyebabkan Husserl
menyadari betapa sulitnya membiarkan benda-benda itu sendiri mengungkapkan
hakikat dirinya yang murni, sesuai realitas yang sesungguhnya. Langkah-langkah
pemahaman fenomenologi terhadap objek dilakukan melalui pengamatan pertama (first look) –tapi dianggap belum sanggup membuat fenomena itu
mengungkapkan hakikat dirinya- sehingga perlu juga melakukan pengamatan kedua (second look) atau yang disebut sebagai pengamatan
intuitif. Pengamatan intuitif tersebut harus melewati tiga tahap reduksi,
yaitu: Pertama Reduksi fenomenologis, ditempuh
dengan menyisihkan atau menyaring pengalaman pengamatan pertama yang terarah
kepada eksistensi fenomena. Pengamatan pertama itu tidak ditolak, tetapi perlu
menyingkirkan subjektivitas-subjektivitas yang menghambat fenomena
mengungkapkan hakikat dirinya seperti prasangka, praanggapan, dan pra-teori,
baik yang berdasarkan keyakinan tradisional, maupun yang keyakinan agamais,
bahkan seluruh keyakinan dan pandangan yang telah dimiliki sebelumnya. Kedua reduksi eiditis, yaitu upaya
menemukan eidos atau hakikat fenomena
yang tersembunyi. Perhatian pengamat harus senantiasa terarah pada isi yang
paling fundamental dan segala sesuatu yang bersifat paling hakiki. Ketiga reduksi transendental,
menyisihkan dan menyaring semua hubungan antara fenomena yang diamati dan
fenomena lainnya. Itulah beberapa langkah metode fenomenologi dalam
mempertahankan nilai objektivitas suatu pengamatan yang dilakukan subjek
(peneliti) tertentu dengan mereduksi semua sifat subjektivitas yang mempegaruhi
objek dalam mengungkapkan hakikat dirinya.
Fungsi
paradigma Kuhn vs Popper
Thomas
S. Khun berpendapat bahwa perkembangan atau kemajuan ilmiah bersifat
revolusioner, bukan kumulatif sebagamana anggapan sebelumnya. Revolusi ilmiah
pertama-tama menyentuh wilayah paradigma, yaitu cara pandang terhadap dunia dan
contoh prestasi atau praktik ilmiah konkret[10]
Secara singkat, cara kerja paradigama dan
terjadinya revolusi ilmiah dapat dijelaskan seperti berikut. Paradigma yaitu
suatu pijakan dari seorang pakar. Dalam perkembangannya, paradigma menghadapi
fenomena yang tidak dapat diterangkan oleh teori yang ada. Hal ini disebut
sebagai anomali. Selanjutnya anomali ini menimbulkan krisis (ketidakpercayaan
para pakar terhadap teori tersebut) sehingga akan timbul paradigma baru atau pijakkan
baru. Dengan demikian, hemat penulis, fungsi paradigma Khun adalah sebagai roh
dalam pengembangan ilmu (penelitian). Seperti yang kita ketahui, dasar orang
melakukan penelitian adalah adanya masalah. Masalah adalah ketidaksesuaian
antara harapan dan keyataan; ketidaksesuaian antara teori dan praktik, yang
mana disebut sebagai anomali oleh Khun dalam revolusi ilmiah. Manfaatnya, kita
menemukan teori, paradigma, atau pijakan baru yang paling benar, terkini, bisa
mendatang solusi bagi masalah. Semangat revolusi ilmiah inilah yang menjamin
terlaksananya kegiatan pengembangan ilmu demi kemaslahatan hidup umat manusia.
Lalu
bagaimana dengan pemikiran Karl Popper ? Bagi penulis, pemikiran Propper
memiliki fungsi sama dengan pemikiran Khun dalam tataran pengembangan ilmu.
Bagi Popper, ilmu pengetahuan manusia dapat dikelompokan ke dalam tiga dunia.
Dunia 1 merupakan kenyataan fisis dunia, sedangkan dunia 2 adalah kejadian dan
kenyataan psikis dalam diri manusia, dan dunia 3 yaitu segala hipotesia, hukum,
dan teori ciptaan manusia dan hasil kerja sama antara dunia 1, dan dunia 2,
serta seluruh bidang kebudayaan, seni, metafisik, agama, dan lain sebagainya.
Menurut popper, dunia 3 itu hanya ada selama dihayati, yaitu dalam karya dan
penelitian ilmiah, dalam studi yang sedang berlangsung, membaca buku, dalam
ilham yang sedang mengalir dalam diri para seniman, dan penggemar seni yang
mengandaikan adanya suatu kerangka. Sesudah penghayatan itu, semuanya langsung
‘mengendap’ dalam bentuk fisik alat-alat ilmiah, buku-buku, karya seni, dan
lain sebagainya. Semua itu merupakan bagian dari dunia 1. Dalam pergaulan
manusia dengan sisa dunia 3 dalam dunia 1 itu, maka dunia 2 lah yang membuat
manusia bisa membangkitkan kembali dan mengembangkan dunia 3 tersebut[11].
Daftar Pustaka
Fautanu,
Idzam. (2012). Filsafat ilmu: Teori &
aplikasi. Jakarta: Referensi
Rapar,
H. Jan. (1996). Pengantar filsafat.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Sudarsono.
(2001). Ilmu filsafat: Suatu pengantar.
Jakarta: Rineka Cipta
Surajiyo.
(2005). Ilmu filsafat: Suatu pengantar.
Jakarta: Bumi Aksara
Tafsir,
Ahmad. (2009). Filsafat ilmu: Mengurai
ontologi, epistemologi, dan aksiologi pengetahuan. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Universitas
Airlangga Ukir Sejarah Kefarmasian Dunia: Temukan Obat DB, Pertama di Dunia.
(No. 98 Desember 2013). Warta Unair, hlm.
16
Wiramihardja,
A. Sutardjo. (2009). Pengantar filsafat:
Sistematikan dan sejarah filsafat, logika dan filsafat ilmu (epistemologi),
metafisika dan filsafat manusia, aksiologi. Bandung: Refika Aditama
[1] Sudarsono,
Ilmu Filsafat: suatu pengantar (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hlm. 316
[2] Ahmad
Tafsir, Filsafat Ilmu: Mengurai ontologi, epistemologi, dan aksiologi
pengetahuan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 7
[3] Sutardjo
A. Wiramihardja, Pengantar Filsafat: sistematika dan sejarah filsafat, logika
dan filsafat ilmu (epistemologi), metafisika dan fisafat manusia, aksiologi
(Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 103
[4] Ahmad
Tafsir,..., hlm. 37
[5] Ahmad
Tafsir,..., hlm. 43-45
[6] Idzam
Fautanu, Filsafat Ilmu: Teori dan aplikasi, (jakarta: Referensi, 2012), hlm.
243
[7]
Surajiyo, Ilmu Filsafat: suatu pengantar (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hlm. 83
[8] Ahmad
Tafsir,..., hlm. 46-47
[9] Jan H.
Rapar, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1996), hlm. 118-119
[10]
Surajiyo,..., hlm. 75
[11]
Surajiyo,..., hlm. 74-75
4 Komentar
itu khan filsafat emang empunya ilmu, tp yakinlah anak2 yg masuk Fkp unair adalah anak2 yg hebat, siap ditempah untuk handal dalam segala musim ...
BalasHapusBetul sekali Ka Uddin... FKp bisa....,Makasih sudah baca.
Hapusgood
BalasHapusTerima Kasih banyak atas apresiasinya. GBU
Hapus