BATU

Sejak 6 Januari 2014 lalu, pemahaman kami mengenai pembelajaran selama satu semester diuji, yang kegiatannya disebut UAS, ujian akhir semester. Reaksi terhadap ujian ini sangat variatif. Ada yang mengeluh materi ujian terlalu banyak, soal terlalu sulit sehingga ada yang berkomentar bahwa soalnya tidak valid dan tidak realibel. Tapi, ada pula yang menghadapi dengan cukup tenang, tidak mengeluh secara verbal maupun via jejaring sosial. Pokoknya macam-macam manifestasi yang tampak.
            Dari 9 mata kuliah yang diujikan, hemat saya, mata kuliah Filsafat Ilmu dan logika menerapkan metode ujian yang kreatif dan menantang. Disebut kreatif karena proses penyelesaiaanya mengandung daya cipta, dibutuhkan kecerdasan dan imajinasi yang cukup. Disebut menantang karena tidak sering bahkan tidak pernah kami (khususnya saya) melakukan kegiatan tersebut, sehingga dibutuhkan usaha yang ekstra. Bentuk ujiannya adalah membuat artikel ilmiah dari pertanyaan yang sudah disiapkan oleh Dosen pengampuh mata kuliah. Ada pertanyaan yang sudah disiapkan, sebagai pemicu berpikir. Jawaban setiap pertanyaan ditulis dalam bentuk ertikel ilmiah. Begitulah metodenya.
            Apakah metode ujian seperti efektif ? Perlu saya beberkan dulu mengenai anggapan saya yang cukup keliru mengenai pembelajaran filsafat, khususnya filsafat ilmu. Awalnya saya beranggapan bahwa yang belajar filsafat itu hanya untuk Romo atau Pastor (sebutan rohaniwan katolik). Akibatnya, saya membatasi diri untuk tidak pernah mencari atau membaca buku mengenai filsafat. Saat awal kuliah filsafat ilmu pun, saya kurang tertarik. Mungkin karena menganggap beban kuliah Cuma 1 SKS dan belajar filsafat itu sulit. Setiap kuliah yang penting hadir, tidak ada penghayatan terhadap ilmu yang disampaikan Dosen.
            Namun, semangat saat mengerjakan tugas sebagai pengganti UAS tentunya berbeda. Tujuannya jelas, memperoleh nilai yang terbaik. Dilandasi semangat tersebut membuat saya “terpaksa” mencari buku/referensi yang berhubungan dengan topik. Tidak tanggung-tanggung, 7 buah buku tentang filsafat ilmu saya pinjam di perpustakaan kampus. Agar lebih mudah mendeskripsikan setiap pertanyaan dalam bentuk artikel, saya sekali lagi “terpaksa” untuk membaca buku-buku tersebut, walau hanya bagian-bagian yang berkaitan dengan tugas saja. Hasilnya, saya kemudian memahami -walau belum sepenuhnya juga- bahwa belajar filsafat membuat saya sadar bahwa ilmu (teori) yang dipelajari selama ini, muncul dari kegiatan berfilsafat. Objek kajian suatu ilmu (ontologi), proses atau metode lahirnya suatu ilmu (teori) tertentu (epistemologi), dan penggunaan teori tersebut  (aksiologi) merupakan serangkaian kegiatan berfilsafat. Dapat disimpulkan, ilmu keperawatan yang saya pelajari selama ini merupakan hasil orang (pakar) berfilsafat tentang merawat. Agar ilmu keperawatan itu terus ada dan berkembang, berarti saya juga mesti terlibat dalam berfilsafat. Akhirnya, saya pun bergumam; “ohh..., ternyata anggapan saya sebelumnya tentang filafat ternyata keliru”.
            Setelah membaca, langkah selanjutnya adalah menulis. Perkara tulis-menulis, khususnya menulis artikel ilmiah cukup ruwet. Saya percaya tidak semua orang berpikir seperti itu, tergantung kemampuan masing-masing. Bagi saya pribadi, kegiatan menulis ini merupakan kegiatan yang masih tergolong “terpaksa” juga. Tapi, saya tetap bersyukur dan puas karena tetap selalu berusaha, hingga akhirnya terselesaikan. Perkara baik dan tidaknya, itu urusan Dosen mau beri nilai berapa nantinya. Selain itu, saya juga mau share kepada Anda sekalian yang mungkin bisa memberi penilain secara jujur dan objektif demi perbaikan selanjutnya.
            Kembali pada pertanyaan efektivitas metode ujian seperti disebutkan di atas. Berdasarkan pengalaman yang diceritakan tadi, bagi saya, metode ujian seperti itu sangat bermanfaat. Paling tidak, saya sudah melakukan tiga “terpaksa”. Pertama, “terpaksa” mencari buku/referensi; kedua, “terpaksa” membaca buku; dan ketiga “terpaksa” menulis. Kegiatan “terpaksa” tersebut memberi saya pemahaman yang cukup baik mengenai topik filsafat ilmu. Dan harapannya, selanjutnya bukan lagi menjadi kegiatan “terpaksa”, tetapi menjadi kegiatan yang adiktif.
            Kegiatan utama dari pengalaman di atas adalah BATU, alias baca-tulis, membaca lalu menulis. Kegiatan itu terlihat sederhana, namun sangat bermanfaat dan merupakan bentuk penghargaan terhadap diri sendiri dan orang lain. Seperti yang dikatakan oleh Peng Khen Sun, dalam bukunya Success Through Reading & Writing: “Membaca adalah cara kita menghargai pikiran dan gagasan orang lain, yakni penulisnya. Sedangkan menulis adalah cara kita mengargai pikiran dan gagasan diri kita sendiri karena kita sudah berani menuliskannya untuk dibaca oleh orang lain”.
            Jadi, intinya adalah metode ujian mata kuliah filsafat kali ini bagi saya sangat efektif. Ujian dengan metode multiple choice memang cukup membantu karena tinggal menyilang pilihan A, B, C, D, atau E. itu saja, faktor keberuntungan (bejo) lebih dominan. Pemahaman terhadap materi yang diuji sangat dangkal.
            Pembaca, berikut ini saya sertakan hasil tulisan atau tugas filsafat ilmu yang saya ceritakan tadi. Tulisan tersebut terbagi dalam 4 subjudul, sesuai dengan pertanyaan yaang diajukan oleh Dosen. Harapan saya, Anda bisa memberi masukan yang kontruktif. Bila perlu Anda menilai -seandainya Dosen mata kuliah Filsafat adalah Anda-, nilai berapa yang akan Anda beri untuk tulisan saya berikut ini ???

TUGAS FILSAFAT ILMU
(Sebagai Pengganti Ujian Akhir Semester)
Oleh:
Saverinus Suhardin
131311123027

Fungsi ilmu
Sumbangsih ilmu dalam pengembangan peradapan umat manusia sudah tidak terbantahkan. Tidak berlebihan kalau Francis Bacon (1597), menyebut pengetahuan adalah kekuasaan. Bacon telah memberi pandangan baru yang cukup berarti bagi dunia ilmu dan kehidupan manusia. Tugas yang sebenarnya dari ilmu pengetahuan adalah mengusahakan penemuan-peneman yang meningkatkan kemakmuran dan hidup yang enak[1].
Secara gamblang, manfaat ilmu pengetahuan dapat kita lihat lewat teknologi yang sering kita gunakan sehari-hari. Hal ini didasari suatu pemikiran bahwa  teori-teori sain diturunkan atau diterapkan ke dalam teknologi, atau mungkin juga dapat dikatakan bahwa teknologi adalah sain terapan[2]. Sebut saja handphone atau smartphone, komputer/laptop, mesin Fax, rice cooker, dispenser, kulkas, AC, TV, radio, tape, VCD/DVD player, walkman, alat transportasi (sepeda motor, mobil, kereta api, kapal laut, pesawat), dan masih banyak lagi. Semua teknologi tersebut sangat bermanfaat bagi kemudahan hidup manusia. Kegunaan ilmu pengetahuan hampir mencakupi seluruh bidang kehidupan manusia. Saat ini penulis mencoba memberi gambaran kegunaan ilmu dalam satu lingkup kecil pada bidang kesehatan. Berkat ilmu pengetahuan dan teknologi, baru-baru ini Lembaga Penyakit Tropis (LPT) Universitas Airlangga berhasil menemukan obat pembunuh virus demam berdarah dengue (DBD). Berdasarkan informasi yang dilansir dalam Warta Unair edisi No. 98 Desember 2012 hlm. 16 menyebutkan obat yang diberi nama MAC (Melaleuca Alternifolia Concentrate) merupakan bahan aktif antiviral dengue yang ditemukan dari pengolahan lanjut ekstrak tanaman Melaleuca Alternifolia, dan terbukti aman untuk segala umur dan tidak berefek negatif terhadap fungsi hati dan ginjal, berdasarkan penelitian hingga fase III selama 1,5 tahun. Sebelumnya, tidak ada obat atau vaksin untuk infeksi dengue. Bila ada penderita, hanya diberikan infus penguat daya tahan tubuh, suplemen peningkat trombosit dalam darah, atau juga transfusi. Penemuan oleh LPT Unair merupakan suatu kebanggaan karena mempunyai manfaat yang besar bagi banyak orang, khususnya penderita DBD yang disebarkan oleh nyamuk Aedes Aegypti. Itulah satu contoh kecil manfaat ilmu bagi manusia, dari beribu-ribu manfaat lainnya dalam setiap bidang kehidupan.
Secara spesifik, fungsi ilmu (pengetahuan) ada empat, yaitu (1) mengidentifiasi gejala, (2) menerangkan terjadinya gejala, (3) meramalkan gejala, dan (4) menggunakan dan/ atau mengendalikan gejala[3]. Lebih ringkas, Ahmad Tafsir (2009) menjabarkan kegunaan pengetahuan ilmiah yang isinya teori (ilmiah) kedalam tiga bagian, yaitu teori sebagai alat eksplanasi, teori sebagai alat peramal, dan teori sebagai alat pengontrol[4]. Dengan ilmu (teori) yang berkaitan dengan DBD, kita bisa memahami bagaimana proses  virus dengue  yang ditularkan lewat perantara nyamuk Aedes Aegypti, masuk ke dalam tubuh manusia, lalu bereplikasi sehingga menimbulkan deman, dan perdarahan. Itulah keguanaan teori sebagai alat eksplanasi. Sebagai peramal, teori DBD dapat memperkirakan, jika kondisi demam dan perdarahan tidak dikoreksi dengan tepat, maka bisa terjadi syok bahkan berakibat fatal karena kekurangan volume darah. Sementara sebagai pengontrol, ilmu (teori) menyarankan untuk sebisa mungkin menghindari gigitan nyamuk lewat berbagai cara yang efektif dan efisien.
Ilmu (teori) berfungsi dalam peradaban umat manusia melalui beberapa tahap kegiatan. Ahmad Tafsir (2009), membagi dalam tiga langkah, yakni: Pertama, mengidentifikasi masalah; Kedua, mencari teori tentang sebab-sebab timbulnya masalah; dan Ketiga, kembali mencai literatur terkait untuk  dapat memecahkan masalah atau memberi solusi terbaik. Lebih lanjut dijelaskan, hendaknya jangan terlalu mengandalkan sain tatkala timbul masalah. Ada dua sebab. Pertama, belum ada teori sain yang ada mampu mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi. Teori itu mungkin memadai pada zaman tertentu, digunakan untuk menghadapi masalah yang sama pada zaman yang lain, belum tentu teori itu efektif. Kedua, belum tentu setiap masalah tersedia teori untuk menyelesaikannya. Masalah selalu berkembang lebih cepat dari pada perkembangan teori. Apabila sain gagal menyelesaikan suatu masalah  yang diajukan kepadanya, maka sebaiknya masalah itu dihadapakan ke filsafat, mungin filsafat mampu menyelesaikannya. Tentu dengan cara filsafat atau mungkin pengetahuan mistik dapat membantu. Yang terbaik ialah setiap masalah diselesaikan secasa bersama-sama  oleh sain, fifsafat dan mistik yang bekerja secara terpadu[5].

Nilai-nilai kemanusiaan dalam perkembangan IPTEK
Ilmu pengetahuan yang baru saja kita bahas tentang manfaatnya untuk kebaikan hidup manusia, kadang-kadang dapat digunakan oleh orang yang tidak bermoral (jahat) untuk melakukan tindakan destruktif. Secara faktual ilmu digunakan secara destuktif oleh manusi, yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan, ilmu bukan saja digunakan untuk menguasai alam melainkan juga untuk memerangi sesama manusia dan menguasai mereka[6]. Itulah sebabnya, setiap ilmu harus dikaitkan dengan nilai-nilai kehidupan manusia dan kesimbangan ekosistem alam. Pengembangan dan penerapan ilmu mesti membutuhkan dimensi etis. Dalam hal ini berarti ilmuwan dalam mengembangkan ilmu pengetahun dan teknologi harus memperhatikan kodrat dan martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggungjawab pada kepentingan umum, dan generasi mendatang, serta bersifat universal karena pada dasarnya ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia, bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia. Tanggung jawab etis tidak hanya menyangkut mengupayakan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi secara tepat dalam kehidupan manusia. Akan tetapi, menyadari juga apa yang seharusnya dikerjakan atau tidak dikerjakan untuk memperkokoh kedudukan serta martabat manusia, baik dalam hubungannya sebagai pribadi, dengan lingkungannya maupun sebagai makhluk yang bertanggung jawab terhadap Khaliknya[7]. Karena pertimbangan etis inilah, maka ilmu pengetahuan tidak bebas nilai atau tidak netral.
Pertanyaan selanjutnya, benarkah ilmu itu tidak bebas nilai ? Sebelum memutuskan netral atau tidak suatu ilmu, perlu kita pahami dulu apa yang dimaksud dengan netralitas ilmu. Secara detail, Ahmad Tafsir (2009) menjelaskan netralitas sain sebagai berikut. Ilmu (sain) yang netral artinya tidak memihak pada kebaikan dan tidak juga pada kejahatan. Istilah sain netral juga sering diganti dengan dengan istilah bebas nilai (Value free). Sedangkan lawannya ialah sain terikat, yaitu terikat nilai (value bound).  Lebih lanjut, dijelaskan pula mengenai keuntungan bila sain netral. Bila sain itu kita anggap netral, atau kita mengatakan bahwa sain sebaiknya netral keuntungannya ialah perkembangan sain akan cepat terjadi. Karena tidak ada yang menghambat atau menghalangi tatkala peneliti memilih dan menetapkan objek yang hendak diteliti, cara meneliti, dan tatkala menggunakan produk penelitian. Orang yang menganggap sain tidak netral akan dibatasi oleh nilai dalam memilih objek, cara meneliti, dan menggunakan hasil penelitian[8]. Misalnya, dalam penelitian tentang ekstrak tanaman Melaleuca Alternifolia untuk pengobatan DBD yang telah disebutkan sebelumnya. Bagi orang yang beraliran sain tidak netral –seperti yang dilakukan oleh peneliti di LPT Unair- akan melakukan percobaan dulu pada hewan coba yang mirip dengan manusia, hingga pada tahap III telah dinyatakan efektif mengurangi virus dengue dan tidak berdampak negatif pada manusia, khususnya fungsi hati dan ginjal. Orang yang beraliran sain netral, bisa saja tanpa peduli langsung menggunakan ekstrak tanaman tersebut tanpa memikirkan dampaknya. Asal diberikan saja, tidak melalui tahap-tahap yang seharusnya demi keamanan manusia sebagai pengguna.
Atas dasar konsep di atas, hemat penulis, benar adanya jika ilmu itu tidak bebas nilai atau tidak netral. Ilmu mengandung nilai yang perlu dianut, sehingga kegunaan suatu ilmu benar-benar  untuk kemaslahatan hidup manusia. Bukan untuk kegiatan destruktif. Pendapat ini selaras dengan aturan metode ilmiah yang diadopsi oleh ilmuwan, maupun akademisi yang sedang belajar menggunakan metode ilmiah dalam pengembangan ilmu, dimana dalam melakukan penelitian harus mendapat ethical clearance dari komite etik penelitian. Apabila tidak mengikuti aturan atau nilai etik, maka peneltian itu tidak layak dilaksanakan.

Fenomenologi: menjembatani objektivitas dan subjketivitas
Metode fenomenologi yang dikembangkan oleh Edmund Husserl (1859-1938), merupakan terlahir dari pembedaan yang dilakukan oleh Immanuel Kant antara noumenal (alam yang sesungguhnya) dan phenomenal (yang tampak/terlihat) dan juga merupakan pengembangan dari phenomenology of spirit-nya Hegel. Bagi Husserl metode yang bena-benar ilmih adalah metode yang sanggup membuat fenomena menampakkan diri sesuai dengan realitas yang sesungguhnya tanpa memanipulasinya[9]. Dalam metode tersebut, perhatian haruslah terpusat kepada fenomena itu tanpa praduga apa pun. Inilah yang menjamin objektivitas suatu pengamatan. Benda atau objek yang diamati/diteliti, dibiarkan untuk mengungkapkan hakikat dirinya sendiri secara normal.
Karena suatu pengamatan dilakukan oleh manusia, bisa saja subjektivitas akan mempengaruhi hasil pengamatan. Mungkin hal inilah yang menyebabkan Husserl menyadari betapa sulitnya membiarkan benda-benda itu sendiri mengungkapkan hakikat dirinya yang murni, sesuai realitas yang sesungguhnya. Langkah-langkah pemahaman fenomenologi terhadap objek dilakukan melalui pengamatan pertama (first look) –tapi dianggap belum sanggup membuat fenomena itu mengungkapkan hakikat dirinya- sehingga perlu juga melakukan pengamatan kedua (second look) atau yang disebut sebagai pengamatan intuitif. Pengamatan intuitif tersebut harus melewati tiga tahap reduksi, yaitu: Pertama Reduksi fenomenologis, ditempuh dengan menyisihkan atau menyaring pengalaman pengamatan pertama yang terarah kepada eksistensi fenomena. Pengamatan pertama itu tidak ditolak, tetapi perlu menyingkirkan subjektivitas-subjektivitas yang menghambat fenomena mengungkapkan hakikat dirinya seperti prasangka, praanggapan, dan pra-teori, baik yang berdasarkan keyakinan tradisional, maupun yang keyakinan agamais, bahkan seluruh keyakinan dan pandangan yang telah dimiliki sebelumnya. Kedua reduksi eiditis, yaitu upaya menemukan eidos atau hakikat fenomena yang tersembunyi. Perhatian pengamat harus senantiasa terarah pada isi yang paling fundamental dan segala sesuatu yang bersifat paling hakiki. Ketiga reduksi transendental, menyisihkan dan menyaring semua hubungan antara fenomena yang diamati dan fenomena lainnya. Itulah beberapa langkah metode fenomenologi dalam mempertahankan nilai objektivitas suatu pengamatan yang dilakukan subjek (peneliti) tertentu dengan mereduksi semua sifat subjektivitas yang mempegaruhi objek dalam mengungkapkan hakikat dirinya.

Fungsi paradigma Kuhn vs Popper
Thomas S. Khun berpendapat bahwa perkembangan atau kemajuan ilmiah bersifat revolusioner, bukan kumulatif sebagamana anggapan sebelumnya. Revolusi ilmiah pertama-tama menyentuh wilayah paradigma, yaitu cara pandang terhadap dunia dan contoh prestasi atau praktik ilmiah konkret[10]
 Secara singkat, cara kerja paradigama dan terjadinya revolusi ilmiah dapat dijelaskan seperti berikut. Paradigma yaitu suatu pijakan dari seorang pakar. Dalam perkembangannya, paradigma menghadapi fenomena yang tidak dapat diterangkan oleh teori yang ada. Hal ini disebut sebagai anomali. Selanjutnya anomali ini menimbulkan krisis (ketidakpercayaan para pakar terhadap teori tersebut) sehingga akan timbul paradigma baru atau pijakkan baru. Dengan demikian, hemat penulis, fungsi paradigma Khun adalah sebagai roh dalam pengembangan ilmu (penelitian). Seperti yang kita ketahui, dasar orang melakukan penelitian adalah adanya masalah. Masalah adalah ketidaksesuaian antara harapan dan keyataan; ketidaksesuaian antara teori dan praktik, yang mana disebut sebagai anomali oleh Khun dalam revolusi ilmiah. Manfaatnya, kita menemukan teori, paradigma, atau pijakan baru yang paling benar, terkini, bisa mendatang solusi bagi masalah. Semangat revolusi ilmiah inilah yang menjamin terlaksananya kegiatan pengembangan ilmu demi kemaslahatan hidup umat manusia.
Lalu bagaimana dengan pemikiran Karl Popper ? Bagi penulis, pemikiran Propper memiliki fungsi sama dengan pemikiran Khun dalam tataran pengembangan ilmu. Bagi Popper, ilmu pengetahuan manusia dapat dikelompokan ke dalam tiga dunia. Dunia 1 merupakan kenyataan fisis dunia, sedangkan dunia 2 adalah kejadian dan kenyataan psikis dalam diri manusia, dan dunia 3 yaitu segala hipotesia, hukum, dan teori ciptaan manusia dan hasil kerja sama antara dunia 1, dan dunia 2, serta seluruh bidang kebudayaan, seni, metafisik, agama, dan lain sebagainya. Menurut popper, dunia 3 itu hanya ada selama dihayati, yaitu dalam karya dan penelitian ilmiah, dalam studi yang sedang berlangsung, membaca buku, dalam ilham yang sedang mengalir dalam diri para seniman, dan penggemar seni yang mengandaikan adanya suatu kerangka. Sesudah penghayatan itu, semuanya langsung ‘mengendap’ dalam bentuk fisik alat-alat ilmiah, buku-buku, karya seni, dan lain sebagainya. Semua itu merupakan bagian dari dunia 1. Dalam pergaulan manusia dengan sisa dunia 3 dalam dunia 1 itu, maka dunia 2 lah yang membuat manusia bisa membangkitkan kembali dan mengembangkan dunia 3 tersebut[11].






Daftar Pustaka

Fautanu, Idzam. (2012). Filsafat ilmu: Teori & aplikasi. Jakarta: Referensi
Rapar, H. Jan. (1996). Pengantar filsafat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Sudarsono. (2001). Ilmu filsafat: Suatu pengantar. Jakarta: Rineka Cipta
Surajiyo. (2005). Ilmu filsafat: Suatu pengantar. Jakarta: Bumi Aksara
Tafsir, Ahmad. (2009). Filsafat ilmu: Mengurai ontologi, epistemologi, dan aksiologi pengetahuan. Bandung: Remaja Rosdakarya
Universitas Airlangga Ukir Sejarah Kefarmasian Dunia: Temukan Obat DB, Pertama di Dunia. (No. 98 Desember 2013). Warta Unair, hlm. 16
Wiramihardja, A. Sutardjo. (2009). Pengantar filsafat: Sistematikan dan sejarah filsafat, logika dan filsafat ilmu (epistemologi), metafisika dan filsafat manusia, aksiologi. Bandung: Refika Aditama




[1] Sudarsono, Ilmu Filsafat: suatu pengantar (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hlm. 316
[2] Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu: Mengurai ontologi, epistemologi, dan aksiologi pengetahuan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 7
[3] Sutardjo A. Wiramihardja, Pengantar Filsafat: sistematika dan sejarah filsafat, logika dan filsafat ilmu (epistemologi), metafisika dan fisafat manusia, aksiologi (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 103
[4] Ahmad Tafsir,..., hlm. 37

[5] Ahmad Tafsir,..., hlm. 43-45

[6] Idzam Fautanu, Filsafat Ilmu: Teori dan aplikasi, (jakarta: Referensi, 2012), hlm. 243
[7] Surajiyo, Ilmu Filsafat: suatu pengantar (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hlm. 83
[8] Ahmad Tafsir,..., hlm. 46-47
[9] Jan H. Rapar, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1996), hlm. 118-119
[10] Surajiyo,..., hlm. 75

[11] Surajiyo,..., hlm. 74-75

Posting Komentar

4 Komentar

  1. itu khan filsafat emang empunya ilmu, tp yakinlah anak2 yg masuk Fkp unair adalah anak2 yg hebat, siap ditempah untuk handal dalam segala musim ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sekali Ka Uddin... FKp bisa....,Makasih sudah baca.

      Hapus