Ketika tidak ada foto lagi yang sesuai dengan tulisan, terpaksa pakai yang ini saja |
Setelah membaca berita tentang
suatu kejadian yang terjadi berulang-ulang, benak saya menampilkan sebuah
adegan yang agak buram. Saking terlalu lama kisah itu berlalu. Saya berusaha
menjernihkannya kembali, meski tidak begitu yakin juga, apakah yang akan saya
narasikan berikut ini masih persis peristiwa aslinya atau tidak.
Pada suatu kesempatan,
-sebut saja begitu karena saya tidak sanggup mengingat lagi kapan persisnya,
saya duduk di antara anak-anak muda yang antusias berdiskusi.
Seorang
perempuan tampaknya lebih mendominasi. Selain suaranya santer, dia juga
dianugerahi apa yang sering ditulis dalam informasi lowongan kerja:
Berpenampilan menarik. Yah, paling tidak menurut saya lah...
Dari sekian
banyak kata yang meluncur dari mulutnya, saya lumayan tersentak ketika dia
mengatakan, "Kenapa sih negara terlalu suka mengurusi hal privat?"
Tepat di saat
itu, saya baru menyadari orang yang sedang saya perhatikan isi bicaranya,
ternyata menggunakan baju yang bagian dadanya mudah melorot.
Sebelum dia dan
orang-orang di sekitar menyadari mata saya menyorot tepat pada panorama itu,
saya buru-buru menengadahkan kepala, lalu mengangguk-angguk. Sesekali menoleh
kiri-kanan, lalu kembali fokus padanya. Nah, dia sudah membenarkan posisi
bajunya.
Dia terus
melanjutkan pendapatnya. Intinya dia tidak setuju kalau pemerintah membuat
aturan yang berkaitan dengan orang berpacaran, menikah, termasuk urusan
hubungan seks.
Kemudian dia
bercerita tentang pengalamannya. Pernah suatu kali, dia dan pacarnya mejeng di
pinggir pantai. Saat itu katanya menjelang matahari terbenam, suasana sudah
tampak remang-remang.
Saat mereka
asyik bincang berdua, seorang polisi datang. Menurutnya, polisi itu sangat
mengganggu. Datang bertanya ini-itu seperti sedang menginterogasi, lalu
menyarankan agar mereka segera pulang saja.
Menurut gadis
yang baju area dadanya sering memberosot itu, polisi sebagai representasi
pemerintah/negara terlalu merepoti urusan privat orang lain. Dia menambahkan,
saat itu, dia dan pacarnya hanya berbincang biasa, hanya sesekali bersandaran
di bahu dan saling mencolek di pinggang.
"Pemerintah
sebaiknya tidak perlu repot dengan urusan selangkangan orang," itu salah
satu kalimat yang terus saya ingat sampai sekarang. Saya makin mengingat
kalimat itu, tatakala demo mahasiswa baru-baru ini. Kalau tidak salah ingat,
ada salah seorang mahasiswi yang membentang spanduk yang isinya sama: tentang
selangkangannya yang eksklusif untuk orang yang dia sayang saja. Tidak harus
diurus negara.
Saat diskusi
itu, saya keseringan mengangguk-angguk, sehingga orang menganggap saya setuju
dengan kosep tersebut. Padahal, saya sejatinya bingung. Tidak punya pendirian
tegas apakah setuju atau menegasinya.
Sore ini saya
mulai menalarnya kembali, tentu saja dengan kapasitas piranti berpikir yang
pas-pasan saja.
Satu sisi saya
setuju, urusan yang disebut sebagai "selangkangan" tadi, memang
sebaiknya diatur mendetail. Saya bayangkan betapa repotnya kalau cara berciuman
diatur. Cara meletakan tangan pada tempat yang tepat. Cara melucuti bagian
penutup hingga tak sehelai benang pun mengganggu..., dan seterusnya.
Kalau hal itu
diatur, betapa kreativitas dalam bidang tersebut langsung lumpuh. Padahal,
aktivitas tersebut akan semakin hidup bila diberi nafas kreativitas, tiap saat
bisa bervariasi caranya. Kalau tidak begitu, betapa garingnya hidup ini. Sangat
tidak layak untuk dihidupi.
Tapi, pada sisi
lain saya tetap setuju adanya beberapa bagian yang perlu diatur. Kita boleh
saja menganggap hal itu urusan privat, tapi dampak dari urusan privat itu pada
gilirannya menjadi urusan publik juga. Kalau masyarakat umum mulai merasa
terganggu, salahkah negara yang berinisiatif untuk mengaturnya?
Misalnya
kejadian seperti ini:
Seorang
perempuan A, melakukan hubungan seksual pra-nikah yang disebut urusan privat
tadi dengan pacarnya yang bernama B.
Urusan privat
antara A dan B, berujung pada masa di mama si A mengadu hamil. Eh, sialnya si B
belum begitu siap menjadi ayah. Tidak bertanggung jawab dengan apa yang telah
dibuat.
Selanjutnya, B
pergi menjauh. A sendirian. Stress mengahdapi masalahnya sendiri. Mau lapor ke
ortu, takut dianggap aib keluarga. Serba salah. Kadang sampai depresi.
Pada situasi
kalut seperti itu, kadang bisa muncul pikiran untuk menggugurkan kandungan atau
bahkan bunuh diri.
Intinya A terus
berupaya menyembunyikan kehamilan itu. Pada kondisi demikian, dia tidak mungkin
ke posyandu untuk memeriksa kehamilan. Perkembangan janin tidak dikontrol,
tidak mendapat vitamin dan zat nutrisi penting lainnya. Belum lagi dia mengikat
perutnya dengan kain agar tidak terlau kentara membesar, makin tercepit lah
aliran darah menuju janin.
Dampak akhirnya,
anak itu bisa lahir dengan kondisi kurang nutrisi (stunting). Atau, bisa juga
seperti yang sering kita dengar, setelah bayinya lahir, bayinya dibungkus dalam
kantong plastik, lalu dibuang ke tempat sampah.
Hal itu saja
sudah memengaruhi data statistik pemerintah. Angka stunting tidak pernah turun
dari 20% sesuai target WHO. Atau angka kematian anak tidak pernah turun,
padahal punya program bagus seperti revolusi KIA.
Angka-angkan
tersebut, menjadi indikator keberhasilan pemerintah dalam menjalankan perannya.
Kalau sudah demikian, masihkah kita menganggap itu hal privat yang tidak perlu
diurusi orang lain?
Benar itu
privat, tapi pada akhirnya tetap menjadi urusan publik. Urusan dalam kamar bisa
saja berdua, tapi dampak apa yang dilakukan berdua tadi, tetap akan disaksikan
publik.
Sampai saat ini,
saya masih bimbang membedakan mana urusan privat dan mana urusan publik. Bagi
saya, sebagai makhluk sosial, urusan privat kita sebagai manusia selalu
bergesekan dengan urusan publik.
Catatan yang
panjang ini, tadi bermula dari sebuah berita tentag seorang gadis yang membuang
bayinya. Disebutkan kalau pacar yang harusnya jadi ayah bagi bayi malang itu
sudah lama meninggalkannya. Sesuai aturan hukum, gadis itu sudah pasti bisa
dihukum kurungan sekitar 20 tahun. Sedangkan status mantan pacarnya itu, belum
jelas apakah bersalah secara hukum atau tidak? Dia mungkin sedang berleha-leha
di kota lain, meninggal seorang wanita yang terluka sangat dalam.
0 Komentar