Kata Pak Satpam, Kumpu-kumpul Lagi!*

 

Kata Pak Satpam, Kumpu-kumpul Lagi!
Daftar tulisan yang pernah terbit di media massa


Seminggu terakhir ini, saya sibuk mendokumentasikan tulisan yang pernah terbit di media massa dan buku antologi selama setahun (September 2017-September 2018). Lumayan, ada 28 tulisan yang terdiri dari opini, cerpen dan kisah pengalaman hidup.

Saya cukup puas dengan pencapaian ini. Dulunya saya hanya beriktiar untuk terus berlatih menulis, orang mau terbit atau tidak, yang tidak apa-apa. Hasilnya di luar dugaan, sebagian besar sudah diterbitkan.

Tulisan bisa terbit dan dibaca banyak orang saja sudah bahagia. Eh, tiba-tiba ada kabar kalau salah satu media yang pernah menerbitkan tulisan saya itu juga menyediakan honorarium sekadarnya.

Hari Sabtu kemarin saya coba menyelisik kabar tersebut. Saya berangkat dengan perasaan berdebar ke kantor redaksi.

Tiba di pintu gerbangnya, saya perhatikan suasana sepi. Saya letakkan sepeda motor dipinggir jalan, buka helm dan menggantungkannya di kaca spion. Saya toleh kiri-kanan, oh, ada orang di pos satpam.

Dari jauh saya perhatikan, Pak Satpam sedang bersandar di kursi empuk. Matanya melakat pada layar tv di depannya. Saya melangah dengan ragu, "Permisi, Pak..."

Pak Satpam akhirnya menoleh setelah saya sapa tiga kali. "Bagimana?" Nada tanya seperti membentak.

Saya tetap menjaga senyuman, "Pak, saya mau tanya, kalau mau tanya honor tulisan, itu tanyanya di bagian mana?"

"Opini?"

"Iya, Pak"

"Datang lagi hari Senin saja, petugas sudah pulang."

"Oh..., berarti memang ada honor untuk opini?" Saya semakin tidak sabaran.

"Ada...," ekspresinya kurang yang meyakinkan.

"Betul ko, Pak?"

"Hari Senin bawa bukti tulisan yang dimuat, ditambah dengan fotocopy KTP," Pak Satpam terus menjelaskan.

"Kalau cerpen, ada honornya juga?"

Pak Satpam kelihatannya mulai tidak senang dengan pertanyaan saya. "Pokoknya bawa saja hari Senin pagi, kebetulan saya lagi yang tugas piket nanti."

***

Selepas makan siang tadi, saya kembali ke kantor redaksi. Saya meletakkan sepeda motor di tempat yang sama seperti hari Sabtu lalu. Setelah menyimpan helm, saya mengambil sebuah map di jok. Isinya daftar tulisan yang pernah terbit di media itu. Totalnya ada 11 tulisan.

Saat memasuki gerbang, saya perhatikan Pak Satpam yang pernah saya temui hari Sabtu lalu melambai-lambaikan tangannya.

Saya melangkah lebih percaya diri, "Ini bukti-bukti tulisannya, Pak."

Pak Satpam berlagak memeriksa terlebih dahulu. Kemudian dia bilang, "Tunggu di sini e? Tenang sah, kalo beta yang urus pasti aman," katanya kemudian sambil memainkan mimik muka penuh arti.

Saya menganggu saja. Tapi, sebelum dia melangkah ke ruang kantor, dia sempat berbisik: "Jangan lupa uang rokok, ooo?"

"Tenang saja," kata saya meyakinkan, "yang penting ada uangnya dulu."

Dia masuk. Saya duduk di pos satpam yang sempit. Tv yang terus menyala sejak tadi menampilkan sinetron. Saya heran, Pak Satpam yang seram ini sukanya nonton sinetron. Hmmm...

Sekitar lima menit kemudian, dia muncul bersama seorang wanita berseragam rapi. Keduanya melambaikan tangan. Saya langsung mendekat.

Map yang saya serahkan tadi sudah berada di tangan wanita berseragam rapi. Dia langsung menjelaskan kalau yang ada honornya hanya opini saja.

Saya langsung bilang, tidak apa-apa. Asalkan ada saja. Wanita berseragam rapi itu mengajak saya ke ruangannya, sedangkan Pak Satpam kembali ke pos.

Di dalam ruangan, wanita itu menulis kuitansi. Saya menandatanginya. Kemudian dia langsung menyerahkan sejumlah uang yang tidak perlu saya sebutkan nominalnya. Saya dekap sejepit uang itu ke dada, lalu dalam berkata dalam benak: Ada gunanya juga latihan menulis selama ini...

Saat keluar dari ruangan tadi, saya langsung menyisihkan satu lembar uang 50 ribu rupiah. Uang itu saya lipat kecil-kecil, kemudian genggam kuat-kuat.

Saat keluar dari pintu kantor utama, saya langsung menoleh ke arah pos. Dari tatapan matanya yang saýu, saya bisa pastikan dia sedang menantikan pembuktian janji uang rokok tadi. Saya paham betul. Makanya saya langsung menghampirinya, kemudian salam tempel. Uang yang saya lipat kecil-kecil tadi berpindah ke tangannya. "Untuk beli rokok," kata saya sambil mengedipkan mata.

Dia langsung merangkul saya dengan satu tangannya, "Kaka kumpul-kumpul lagi (tulisan), nanti saya bantu urus."

Saya menggangguk-anggguk saja, biar dia senang. Tapi, sepulang dari sana, saya berpikir nasehat Pak Satpam ada benarnya juga. Harus kumpul-kumpul lagi. Kata lainnya, lanjut latihan menulis terus-menerus. Terima kasih Pak Satpam...

(*Tulisan ini sebelumnya tayang di Facebook tanggal 1 Oktober 2018)



Posting Komentar

0 Komentar