Makna Doa (Rosario) Bersama


 
Gua Maria Lourdes Kota Kupang (Ilustrasi)

Membaca berita penyerangan terhadap  umat yang sedang beribadat Rosario di Sleman-DIY oleh sekelompok orang (entah siapa ?), saya.... "Ahh...Tuhan", lirih dalam benak.

Dari kejadian tersebut, saya kemudian mengenang kebiasaan ibadat rosario dulu di kampung asal. Nama kampungnya Pela, di pulau Flores-NTT. Kebetulan, hampir 100% warganya beragama Katolik. Sebagaimana tradisi umat Katolik, setiap bulan Mei dan Oktober ditetapkan sebagai "Bulan Maria", dimana dianjurkan setiap umat di kelompok atau lingkungan tempat tinggal berdoa rosario bersama. Begitupun kami, selama "Bulan Maria" setiap malam berdoa rosario secara begiliran dari rumah ke rumah. Setiap umat saling mmengunjungi dan mendoakan.

Sejauh saya mengamati, kebiasan doa rosario ini berbeda tiap daerah. Sangat bergantung kebiasaan dan adat setempat. Dan sampai saat ini, saya menilai, mengikuti ibadat rosario saat itu dulu sangat indah.

Kalau tidak salah, biasanya doa dimulai sekitar pukul 19.00. Petugas ibadat, mulai dari pemimpin doa, pemimpin lagu, pembaca kitab suci, dll ditentukan secara bergantian. Semua orang akan dilibatkan, dari anak-anak hingga dewasa, tentunya yang dianggap mampu dan bersedia. Tempat ibadat pun berpindah-pindah tiap malamnya. Semua rumah umat dikunjungi secara bergantian.

Setelah ibadat berakhir, biasanya tuan rumah akan menyuguhkan kopi dan jajanan ringan (Kue, ubi, pisang rebus, dll). Bagi saya, tradisi inilah yang agak berbeda dengan tempat yang lain. Selama menikmati hidangan tersebut, akan ada topik pembicaraan yang akan didiskusikan bersama dalam suasana keakraban. Bisa soal masalah bercocok tanam, sharing penggunan obat-obat pertanian, masalah pendidikan anak-anak, kesehatan, hingga masalah politik dan lain sebagainya. Durasinya tidak tentu, berkisar 30 menit hingga 1 jam, bahkan kadang-kadang bisa lebih dari itu.

Dan satu hal lagi. Mestinya saya tidak perlu sampaikan di sini karena bertentangan dengan kegiatan keagamaan (berdoa) tadi. Tapi, saya pikir ini fakta dan tidak perlu berpura-pura atau munafik. Semenjak judi “kupon putih” atau “togel” ramai beredar di masyarakat, kadang-kadang setelah ibadat, sekali-sekali membicarakan topik tersebut. Bahkan, biasanya pengedar atau penyedia layanan togel tersebut langsung mengunjungi rumah tempat ibadat berlangsung untuk menginformasikan angka yang keluar saat itu. Kami juga sangat menanti kehadirannya. Kebetulan alat komunikasi (HP) belum ada di kampung saya saat itu. Hal ini membuat pengedar togel terpaksa harus hadir menyampaikan informasi secara langsung dari agen pusat di kota kecamatan hingga ke kampung, walau hanya dengan berjalan kaki.

Dari kebiasaan di atas -tentuntunya tentang kebiasaan kupon putih atau togel tidak termasuk-, ada beberapa nilai yang bisa kita petik dari kebiasaan doa rosario tersebut. Pertama, disinilah umat membangun hubungan baik dengan Tuhan, lewat perantaraan atau berdoa bersama Bunda Maria. Manusia membangung hubungan vertikal antar dirinya dengan Tuhan sebagai sumber kehidupan. Sangat terlihat bagaimana umat menyadari betul akan pentingnya campur tangan Tuhan dalam seluruh proses kehidupannya di dunia. Secara sadar berkumpul, memohon ampun atas dosa yang pernah dibuat, mengucap syukur atas berkat-Nya, serta meminta “sesuatu” permohonan khusus kepada Tuhan. Kegiatan ini diyaniki memberi rasa tentram dan mendatangkan hasil yang baik dalam setiap usaha.

Kedua, kebiasaan saling mengunjungi rumah tetangga untuk saling mendoakan, makan dan minum kopi bersama setelah ibadat dibarengi ngobrol tentang kehidupan sehari-hari dengan penuh keakraban. Sangatlah indah, cukup sulit saya mendeskripsikannya. Pada bagian inilah ditunjukkan bahwa manusia butuh membangun hubungan horizontal yang baik, minmal seperti cerita di atas. Hubungan horizontal tentunya memiliki makna yang luas, tapi minimal dengan sesama manusia perlu diperbaiki kualitasnya sehingga bisa lebih baik dalam membina hubungan dengan lingkungan di luarnya (tumbuhan dan makhluk hidup lainnya).

Semestinya masih banyak pelajaran lain yang bisa diambil dari kegitan tersebut. Tapi, cukup seperti itu saya menganalisanya secara sederhana.  Tidak ada pengutipan atau teori dari ahli tertentu yang saya masukan untuk mendukung pendapat ini. Tulisan ini hasil perenungan saya atas kejahatan intoleransi di Sleman-Jogja. Di kampung saya, tidak ada seorang yang mengganggu kenyaman saat beribadat. Apalagi sampai mencedarai secara fisik. Sungguh ter...la...lu ( Rhoma Irama mode on). Ternyata di kota berbeda dengan desa saya. Meski secara geografis tinggal di desa atau kampung yang masih jauh dari kemajuan, namun pemikirannya mengglobal, cinta damai dan menghargai kebersamaan.

Menyikapi kejadian intoleransi di jogja tersebut, selain dengan tulisan sederhana ini, saya hanya bisa bilang: “Ahh...Tuhan”.

Posting Komentar

0 Komentar