Pileg VS Program KB

Pemilu legislatif (Pileg) baru saja kita lewati 9 April lalu. Pendulang suara terbanyak dan memenuhi kuota minimal  untuk memperoleh "kursi" tentunya bersyukur. Lalu, bagaimana dengan caleg yang kemenangannya masih tertunda ?

Saya pikir, hal tersebut bergantung mekanisme koping yang digunakan oleh caleg tersebut. Mekanisme koping yang efektif dipengaruhi oleh pengalaman sebelumnya, pengetahuan/pemahaman, usia, dan masih banyak faktor lainnya.

Memang, ada beberapa pihak yang sebelum pemilu telah memprediksi akan banyak caleg gagal yang mengalami depresi hingga jauh-jauh hari disiapkan tempat pelayanan kesehatan khusus (Rumah Sakit Jiwa atau klinik konsultasi). Mungkin karena melihat fenomena tahun 2009 lalu.

Hingga kini, sejauh yang saya tahu, Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya telah menyiapkan ruangan khusus (VIP) untuk mengantisipasi caleg depresi. Pihak Fakultas Psikologi UNAIR juga siap melayani konsultasi psikologis bagi yang membutuhkan. (Jawa Pos, edisi Minggu 13 April 2014).

Korelasi dengan Program KB ?

Sejak hari pemilihan 9 April lalu, tiba-tiba saya teringat akan kejadian saat kuliah pada jenjang D3 dulu yang berkaitan dengan pemilihan legislatif. Saat itu, kami melakukan praktik keperawatan komunitas di salah satu dusun tempat kami berpraktik. Meski tidak signifikan permasalahan jumlah penduduk di sana, namun dengan alasan memberi pemahaman dasar bagi masyarakat terkait progam KB sangatlah penting, maka kami memasukan sebagai salah satu materi dalam penyuluhan.

Acara penyuluhan berjalan dengan lancar. Teman-teman menyajikan materi dengan baik dan menarik. Kelihatannya masyarakat yang hadir cukup antusias. Banyak yang bertanya. Kami sebagai mahasiswa pun berusaha memberi jawaban sebaik-baiknya, dan cukup serius agar lebih meyakinkan dan dipercaya.

Setelah diskusi berakhir, moderator pun telah memberikan kesimpulan, tiba-tiba seorang tokoh masyarakat mengakat tangan ingin berbicara. Kami pun memberi kesempatan untuk bicara. Perlu diketahui, beliau adalah seorang yang sangat disegani oleh warga se-dusun. Apalagi masyarakat yang mendiami dusun tersebut adalah penduduk asli yang berasal dari satu suku, sehingga apa yang disampaikan oleh tetua adat sangat diyakini dan diikuti.

“Mohon maaf sebelumnya karena berbicara diluar waktu yang ditentukan”, begitu lah dia memulai pembicaraannya. “Pada prinsipnya, kami sebagi masyarakat setuju-setuju dengan program KB dari pemerintah demi kesehatan dan kesejahteraan”. Dia pun mengambil jedah sebentar untuk membuang sirih pinang yang mengganggu saat bicara.  “Tetapi kalau dipikir-pikir, saya kurang setuju adanya program KB. Begini, dusun yang kami tempati sekarang masih jauh dikatakan maju. Masih terbelakang. Maka dari itu, kami punya keinginan, suatu saat nanti ada salah satu warga kami yang menjadi anggota legislatif sehingga bisa memperjuangkan kebutuhan masyarakat secara langsung oleh putra daerah. Nah, salah satu cara untuk mensukseskan keinginan tersebut adalah semua warga tidak perlu mengikuti program KB. Biarlah keturunannya banyak. Dengan banyaknya jumlah penduduk di sini, maka peluang untuk menang, atau memenuhi kuota satu kursi di DPRD bisa terwujud”, begitulah dia berargumen panjang, mematahkan saran kami saat penyuluhan.

Kami yang mendengar penjelasan tersebut langsung tertawa. Dia pun ikut tertawa. Walau kesannya hanya guyon, tapi cukup logis pemikiran tersebut. Sejak saat itu saya pun terus berpikir bahwa salah penyebab tidak berjalannya program KB adalah akibat adalah pemilu legislatif (Pileg). Benarkah ??? Bisa jadi....

Jadi, selain menyebabkan depresi bagi caleg gagal (meski tidak semuanya), pemilu legislatif juga bisa menimbulkan lonjakan petumbuhan jumlah penduduk pada suatu wilayah. Saya belum ada solusi untuk masalah ini, mungkin Anda mau berkomentar ?


Posting Komentar

0 Komentar